SISWANYA bikin gaduh di dalam kelas. Guru Jafar ternyata
bersikap kalem -- tak langsung menggertak muridnya. Dan ini
bukan karena Jafar, seorang guru SD Sompokan di Kecamatan
Seyegan, Sleman, Yogyakarta, memang terlalu sabar.
Siswa tersebut sebenarnya telah remaja, tak pantas lagi duduk di
kelas III SD, "harus dihadapi secara khusus," katanya kepada
TEMPO pekan lalu. Maklum siswa itu telah berusia 15 tahun,
sementara kebanyakan temannya masih 11 atau 12 tahun.
Contoh seperti itu antara lain disinggung dalam seminar Dep. P&K
pekan lalu di Jakarta yang membicarakan rencana pendidikan dalam
Repelita IV, mulai tahun depan. Yaitu akan mulai diterapkan:
wajib belajar bagi anak usia 7-12 tahun. Dengan begitu akan ada
sejumlah anak terlambat belajar bercampur dengan anak-anak biasa
dalam satu kelas.
Sebagai persiapan, sejak 1979 Direktorat Pendidikan Dasar
membuka Proyek Peningkatan Wajib Belajar (PPWB), antara lain di
Seyegan, Kabupaten Sleman. Proyek ini tidak hanya melibatkan
Kanwil P&K setempat beserta aparatnya, tapi juga masyarakat.
Menurut Subardi, Kepala Inspeksi Pendidikan Dasar (Ipda) Sleman,
"aparat kelurahan, organisasi pemuda, para ibu yang tergabung
dalam PKK, semua terlibat PPWB. " Tentu saja ini wajar. Soalnya
warga masyarakat itu sendirilah yang tahu, siapa di antara
anggotanya yang mempunyai anak usia sekolah belum masuk SD. Dan
sebenarnya merekalah yang berjasa bila kini ada lebih dari 100
anak di Sleman yang terlambat belajar telah masuk sekolah.
Sleman terpilih karena sarananya mencukupi. Ada 25 SD dengan
guru-guru lengkap. Di kabupaten itu pula dulu banyak anak
terlambat masuk sekolah.
Kebanyakan warga Sleman mendapatkan nafkah dari membuat batu
bata dan menganyam dinding bambu. Dua jenis pekerjaan ini sangat
membutuhkan tenaga. Maka banyak anak Sleman, terpaksa atau
tidak, menjauhi sekolah dan berlumur lumpur mencetak batu bata.
Atau mereka ikut menganyam dinding bambu.
Ketika 1979 PPWB dibuka, terdengar banyak geruNan. Bila seorang
anak kemudian harus pergi ke sekolah, tentu saja orangtuanya
kehilangan satu tenaga kerJa minimal selama jam sekolah. Toh
tim PPWB di situ boleh dikata berhasil. Kala itu di SD Sompokan
saja dari 60 siswa kelas I, sekitar 35 anak terlambat belajar --
usia mereka berkisar 9-12 tahun.
Setelah itu menyusul pula masalah di sekolah dan di dalam kelas.
Menurut Jafar, mula-mula para guru bersikap sama saja terhadap
anak didik yang berusia 7 tahun dengan yang telah 9-12 tahun.
Ternyata anak-anak yang terlambat itu mudah tersinggung. Bila
sedikit kena marah, entah karena lupa mengerjakan PR (pekerjaan
rumah), mereka lantas tak datang lagi ke sekolah. Lalu tim PPWB
membujuknya kembali.
Para guru akhirnya menyadari bahwa mereka harus diperlakukan
sedikit lain. "Kami lantas tak lagi memarahi mereka di depan
teman mereka, tapi menemuinya sendiri, memberi nasihat dan
sebagainya," kata Jafar pula.
Anak-anak yang di tahun 1979 berusia 12 tahun dan duduk di kelas
I, kini telah kelas III dan berusia 15 tahun. "Ternyata beberapa
anak mempunyai sikap bandel," kata Jafar. Mungkin merasa telah
dewasa di antara teman-teman yang masih ingusan, mereka suka
bikin onar di kelas. Dan bila dimarahi mereka tak lagi ngambek,
tapi malah menantang guru berkelahi.
Menurut Jafar, ada pula anak yang dulu suka minta uang gurunya
untuk jajan waktu jam istirahat. Tapi semua itu, berkat
kesabaran dan pengertian para guru, telah bisa diatasi.
Tak hanya di kelas PPWB sukses. Masyarakat Sleman kini tak lagi
menahan anak mereka yang hendak masuk SD. Tahun lalu, sewaktu
ajaran baru dimulai, hanya 25% dari sekitar 40 murid kelas I
yang termasuk terlambat belajar. Sementara di tahun 1979 lebih
dari 50% anak yang terlambat.
Kanwil P&K Yogyakarta sejak tahun 1981/1982 membuka pula PPWB di
Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul. Hingga kini 128 SD terjaring
lewat PPWB Bantul. Tapi, menurut Sumantri, Kepala Ipda setempat,
di sini anak berusia paling banter 9 uhun secara resmi disebut
terlambat sekolah.
Di Bantul, anak-anak tidak dikerahkan bekerja. Sawah yang
membentang hijau terihat hanya dikerjakan orang dewasa.
Kehidupan di Bantul lebih mendingan daripada di Sleman. Sebagian
besar guru SD berkendaraan sepeda motor misalnya.
Baik di Sleman maupun di Bantul, SD yang paling banyak menampung
anak terlambat sekolah ternyata punya kebanggaan juga. "Sekolah
itu bisa dipastikan lantas menjadi juara dalam setiap
pertandingan olah raga," tutur Subardi, Kepala Ipda Sleman.
Masalah yang timbul di berbagai SD PPWB itu tampaknya dijadikan
pegangan menghadapi wajib belajar tahun depan. Menurut hasil
sensus 1980, anak usia 7-12 tahun yang belum masuk sekolah di
Indonesia sekitar 10% dari 24,69 juta. Lumayan banyaknya. Sebuah
tantangan yang bukan ringan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini