Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Antara sekolah dan batu bata

Th 1984 akan dimulai diterapkan wajib belajar bagi anak usia 7-12 th, lebih dari 10% anak usia 7-12 th belum pernah sekolah. sebagai persiapan, sejak 1979 dibuka proyek peningkatan wajib belajar. (pdk)

19 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SISWANYA bikin gaduh di dalam kelas. Guru Jafar ternyata bersikap kalem -- tak langsung menggertak muridnya. Dan ini bukan karena Jafar, seorang guru SD Sompokan di Kecamatan Seyegan, Sleman, Yogyakarta, memang terlalu sabar. Siswa tersebut sebenarnya telah remaja, tak pantas lagi duduk di kelas III SD, "harus dihadapi secara khusus," katanya kepada TEMPO pekan lalu. Maklum siswa itu telah berusia 15 tahun, sementara kebanyakan temannya masih 11 atau 12 tahun. Contoh seperti itu antara lain disinggung dalam seminar Dep. P&K pekan lalu di Jakarta yang membicarakan rencana pendidikan dalam Repelita IV, mulai tahun depan. Yaitu akan mulai diterapkan: wajib belajar bagi anak usia 7-12 tahun. Dengan begitu akan ada sejumlah anak terlambat belajar bercampur dengan anak-anak biasa dalam satu kelas. Sebagai persiapan, sejak 1979 Direktorat Pendidikan Dasar membuka Proyek Peningkatan Wajib Belajar (PPWB), antara lain di Seyegan, Kabupaten Sleman. Proyek ini tidak hanya melibatkan Kanwil P&K setempat beserta aparatnya, tapi juga masyarakat. Menurut Subardi, Kepala Inspeksi Pendidikan Dasar (Ipda) Sleman, "aparat kelurahan, organisasi pemuda, para ibu yang tergabung dalam PKK, semua terlibat PPWB. " Tentu saja ini wajar. Soalnya warga masyarakat itu sendirilah yang tahu, siapa di antara anggotanya yang mempunyai anak usia sekolah belum masuk SD. Dan sebenarnya merekalah yang berjasa bila kini ada lebih dari 100 anak di Sleman yang terlambat belajar telah masuk sekolah. Sleman terpilih karena sarananya mencukupi. Ada 25 SD dengan guru-guru lengkap. Di kabupaten itu pula dulu banyak anak terlambat masuk sekolah. Kebanyakan warga Sleman mendapatkan nafkah dari membuat batu bata dan menganyam dinding bambu. Dua jenis pekerjaan ini sangat membutuhkan tenaga. Maka banyak anak Sleman, terpaksa atau tidak, menjauhi sekolah dan berlumur lumpur mencetak batu bata. Atau mereka ikut menganyam dinding bambu. Ketika 1979 PPWB dibuka, terdengar banyak geruNan. Bila seorang anak kemudian harus pergi ke sekolah, tentu saja orangtuanya kehilangan satu tenaga kerJa minimal selama jam sekolah. Toh tim PPWB di situ boleh dikata berhasil. Kala itu di SD Sompokan saja dari 60 siswa kelas I, sekitar 35 anak terlambat belajar -- usia mereka berkisar 9-12 tahun. Setelah itu menyusul pula masalah di sekolah dan di dalam kelas. Menurut Jafar, mula-mula para guru bersikap sama saja terhadap anak didik yang berusia 7 tahun dengan yang telah 9-12 tahun. Ternyata anak-anak yang terlambat itu mudah tersinggung. Bila sedikit kena marah, entah karena lupa mengerjakan PR (pekerjaan rumah), mereka lantas tak datang lagi ke sekolah. Lalu tim PPWB membujuknya kembali. Para guru akhirnya menyadari bahwa mereka harus diperlakukan sedikit lain. "Kami lantas tak lagi memarahi mereka di depan teman mereka, tapi menemuinya sendiri, memberi nasihat dan sebagainya," kata Jafar pula. Anak-anak yang di tahun 1979 berusia 12 tahun dan duduk di kelas I, kini telah kelas III dan berusia 15 tahun. "Ternyata beberapa anak mempunyai sikap bandel," kata Jafar. Mungkin merasa telah dewasa di antara teman-teman yang masih ingusan, mereka suka bikin onar di kelas. Dan bila dimarahi mereka tak lagi ngambek, tapi malah menantang guru berkelahi. Menurut Jafar, ada pula anak yang dulu suka minta uang gurunya untuk jajan waktu jam istirahat. Tapi semua itu, berkat kesabaran dan pengertian para guru, telah bisa diatasi. Tak hanya di kelas PPWB sukses. Masyarakat Sleman kini tak lagi menahan anak mereka yang hendak masuk SD. Tahun lalu, sewaktu ajaran baru dimulai, hanya 25% dari sekitar 40 murid kelas I yang termasuk terlambat belajar. Sementara di tahun 1979 lebih dari 50% anak yang terlambat. Kanwil P&K Yogyakarta sejak tahun 1981/1982 membuka pula PPWB di Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul. Hingga kini 128 SD terjaring lewat PPWB Bantul. Tapi, menurut Sumantri, Kepala Ipda setempat, di sini anak berusia paling banter 9 uhun secara resmi disebut terlambat sekolah. Di Bantul, anak-anak tidak dikerahkan bekerja. Sawah yang membentang hijau terihat hanya dikerjakan orang dewasa. Kehidupan di Bantul lebih mendingan daripada di Sleman. Sebagian besar guru SD berkendaraan sepeda motor misalnya. Baik di Sleman maupun di Bantul, SD yang paling banyak menampung anak terlambat sekolah ternyata punya kebanggaan juga. "Sekolah itu bisa dipastikan lantas menjadi juara dalam setiap pertandingan olah raga," tutur Subardi, Kepala Ipda Sleman. Masalah yang timbul di berbagai SD PPWB itu tampaknya dijadikan pegangan menghadapi wajib belajar tahun depan. Menurut hasil sensus 1980, anak usia 7-12 tahun yang belum masuk sekolah di Indonesia sekitar 10% dari 24,69 juta. Lumayan banyaknya. Sebuah tantangan yang bukan ringan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus