MANAJEMEN Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) sedang payah. Dua unit usaha utama miliknya: pabrik cambric dan pemintalan benang Plumbon (Cirebon), dan Medari (Yogya), mengeluh kekurangan dana untuk modal kerja. Pabrik di Plumbon, misalnya,
ditaksir membutuhkan biaya produksi Rp 4,1 milyar tahun ini.
Jika kesulitan itu tak cepat ditanggulangi, kelancaran produksi
kedua pabrik itu dikhawatirkan akan terganggu.
Haji Badruddin, Ketua GKBI Pusat, menurut sebuah sumber yang
mengetahui terbang ke Hongkong untuk "mencari pinjaman". Tapi
pekan lalu ketika tiba kembali di' Jakaru, Badruddin yang
tampaknya sedang "tidak enak badan" mengangkat bahu. "Saya pergi
ke Hongkong hanya untuk melihat pameran batik," katanya datar.
Tak begitu jelas kenapa orang tekstil itu sampai perlu menonton
pameran batik ke Hongkong. Tapi Badruddin mengakui pemasukan
uang dari pabrik cambric Plumbon, dan Medari belakangan ini
tidak lancar karena pasar sedang lesu. Kain prima, dan benang,
produksi utama kedua unit usaha itu banyak menumpuk di gudang.
Membekunya modal di barang itu, kata Badruddin jelas telah
menyebabkan "perputaran modal jadi tidak berjalan normal."
Lesunya permintaan akan kedua produk itu menyebabkan sasaran
penjualan tahun lalu jadi tidak tercapai.
Jika tahun lalu penjualan kain prima, misalnya disasarkan akan
mencapai 451 ribu pis lebih dengan nilai Rp 7,5 milyar, maka
realisasinya (Januari-September) hanya 327 ribu pis dengan nilai
Rp 5 milyar. Hasil penjualan kain primissima dan benang pun juga
tak mencapai sasaran. Rencana penjualan sejumlah produk milik
GKBI yang disasarkan tahun lalu akan bernilai Rp 33 milyar,
terakhir dikabarkan hanya mencapai Rp 24 milyar. Jadi dana macet
berupa hasil produksi yang terutama berada di Plumbon dan Medari
diperkirakan mencapai Rp 9 milyar. GKBI juga punya bagian tak
terjual yang terdapat di Primatexco Pekalongan (patungan dengan
swasta asing) dan Primissima Yogya (patungan dengan pemerintah.
Sulit memang bagi manajemen menjual produk itu kendati dijual di
bawah harga pasar.
Kesulitan terbesar tampaknya akan dihadapi pabrik cambric
Plumbon. Didirikan (1980) dengan investasi sekitar Rp 18 milyar
-- di antaranya Rp 12 milyar dari kredit bank, dan berupa barang
modal -- pabrik itu direncanakan menghasilkan benang tipe 32 S,
40 S, dan 42 S. Jika permintaan akan benang masih juga lesu,
Plumbon tampaknya akan sulit mencicil pinjaman pokok berikut
bunga sebesar Rp 2,6 milyar yang jatuh tempo tahun ini. Untuk
mencicil utang pokok dan bunga atas pembelian mesin Nichimen
(barang modal) saja, pabrik itu harus menyisihkan Rp 1,7 milyar.
Masa sulit yang akan dihadapi Plumbon rupanya juga sudah dilihat
Dirut BNI 1946 Somala Wiria, yang menyalurkan kredit investasi
Rp 8,4 milyar. Ketika permohonan kredit itu dikabulkan, katanya,
pendirian pabrik itu masih dianggap layak. Tapi di luar dugaan,
pasar tekstil lesu, permintaan dan harga benang pun jatuh. Toh
sejauh itu pula, menurut dia, GKBI belum mengajukan permintaan
penundaan cicilan atas utang pokok. Tahun ini GKBI atas nama
pabrik cambric Plumbon harus mulai mencicil utang pokok Rp 769
juta kepada BNI 1946 Kantor Pusat Jakarta Kota.
Sanggupkah? "Bisa, karena kreditnya jangka panjang, dan
cicilannya sedikit," sahut Badruddin. Kalapun GKBI tak sanggup
"kami akan minta penangguhan," sambungnya.
Karena beban itulah harga pokok benang 40 S eks-Plumbon,
misalnya mencapai Rp 430 ribu per bal (181 kg) -- atau lebih
mahal 17% jika dibandingkan eks-Medari. Dalam keadaan koperasi
primer anggota GKBI yang menyerap benang itu sedang loyo, sulit
tampaknya harga benang itu dijual di atas harga pokok. Kain
primissima eks-GKBI dijual Rp 18.000 -- sedang di pasar bebas Rp
15.000 per pis. Itu pun sulit lakunya. Selain dianggap mahal,
GKBI hanya berani memberi kredit barang itu kepada anggota
selama jangka sebulan, sedang penjual di pasar bebas (koperasi
primer yang juga anggota GKBI) berani sampai 3 bulan.
Ketidakseragaman dalam menentukan harga itu seharusnya tidak
terjadi jika manajemen GKBI benar-benar melaksanakan tugas
pemasarannya seperti yang diwajibkan dalam Anggaran Dasar dan
Rumah Tangga 1982. Di situ dijelaskan GKBI diharuskan membantu
pengadaan bahan baku, menyalurkan, dan memasarkan produksi
koperasi primer dari anggotanya. Tapi sudah beberapa tahun ini
sebagian besar dari 40 koperasi primer anggota GKBI berusaha
memasarkan sendiri produksinya. Dalam keadaan pasar lesu,
persaingan semakin keras.
Tindakan koperasi primer itu bisa dipaharni KeNa GKBI Badruddin.
Usaha semacam itu, katanya, semata-mata dilakukan untuk
mempertahankan agar usaha koperasi tetap berjalan tanpa perlu
memberhentikan karyawan. Bagi mereka "saat ini memang bukanlah
saat untuk mendatangkan keuntungan," katanya.
Tapi yang agaknya mengherankan, pengurus GKBI dalam rapat
anggota Desember 1982 masih berani memproyeksikan keuntungan Rp
346 juta dari hasil penjualan 344 ribu pis primissima tahun ini.
Ke mana GKBI akan menjual kain itu dengan harga baik, entahlah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini