Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sepulang badruddin dari hong kong

Pabrik Cambric di Plumbon dan Medari kesulitan modal kerja, th 1983, pabrik cambric di plumbon harus mencicil utang 2,6 milyar. sasaran penjualan Rp 35 milyar pada th '82, tercapai Rp 24 milyar. (eb)

19 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MANAJEMEN Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) sedang payah. Dua unit usaha utama miliknya: pabrik cambric dan pemintalan benang Plumbon (Cirebon), dan Medari (Yogya), mengeluh kekurangan dana untuk modal kerja. Pabrik di Plumbon, misalnya, ditaksir membutuhkan biaya produksi Rp 4,1 milyar tahun ini. Jika kesulitan itu tak cepat ditanggulangi, kelancaran produksi kedua pabrik itu dikhawatirkan akan terganggu. Haji Badruddin, Ketua GKBI Pusat, menurut sebuah sumber yang mengetahui terbang ke Hongkong untuk "mencari pinjaman". Tapi pekan lalu ketika tiba kembali di' Jakaru, Badruddin yang tampaknya sedang "tidak enak badan" mengangkat bahu. "Saya pergi ke Hongkong hanya untuk melihat pameran batik," katanya datar. Tak begitu jelas kenapa orang tekstil itu sampai perlu menonton pameran batik ke Hongkong. Tapi Badruddin mengakui pemasukan uang dari pabrik cambric Plumbon, dan Medari belakangan ini tidak lancar karena pasar sedang lesu. Kain prima, dan benang, produksi utama kedua unit usaha itu banyak menumpuk di gudang. Membekunya modal di barang itu, kata Badruddin jelas telah menyebabkan "perputaran modal jadi tidak berjalan normal." Lesunya permintaan akan kedua produk itu menyebabkan sasaran penjualan tahun lalu jadi tidak tercapai. Jika tahun lalu penjualan kain prima, misalnya disasarkan akan mencapai 451 ribu pis lebih dengan nilai Rp 7,5 milyar, maka realisasinya (Januari-September) hanya 327 ribu pis dengan nilai Rp 5 milyar. Hasil penjualan kain primissima dan benang pun juga tak mencapai sasaran. Rencana penjualan sejumlah produk milik GKBI yang disasarkan tahun lalu akan bernilai Rp 33 milyar, terakhir dikabarkan hanya mencapai Rp 24 milyar. Jadi dana macet berupa hasil produksi yang terutama berada di Plumbon dan Medari diperkirakan mencapai Rp 9 milyar. GKBI juga punya bagian tak terjual yang terdapat di Primatexco Pekalongan (patungan dengan swasta asing) dan Primissima Yogya (patungan dengan pemerintah. Sulit memang bagi manajemen menjual produk itu kendati dijual di bawah harga pasar. Kesulitan terbesar tampaknya akan dihadapi pabrik cambric Plumbon. Didirikan (1980) dengan investasi sekitar Rp 18 milyar -- di antaranya Rp 12 milyar dari kredit bank, dan berupa barang modal -- pabrik itu direncanakan menghasilkan benang tipe 32 S, 40 S, dan 42 S. Jika permintaan akan benang masih juga lesu, Plumbon tampaknya akan sulit mencicil pinjaman pokok berikut bunga sebesar Rp 2,6 milyar yang jatuh tempo tahun ini. Untuk mencicil utang pokok dan bunga atas pembelian mesin Nichimen (barang modal) saja, pabrik itu harus menyisihkan Rp 1,7 milyar. Masa sulit yang akan dihadapi Plumbon rupanya juga sudah dilihat Dirut BNI 1946 Somala Wiria, yang menyalurkan kredit investasi Rp 8,4 milyar. Ketika permohonan kredit itu dikabulkan, katanya, pendirian pabrik itu masih dianggap layak. Tapi di luar dugaan, pasar tekstil lesu, permintaan dan harga benang pun jatuh. Toh sejauh itu pula, menurut dia, GKBI belum mengajukan permintaan penundaan cicilan atas utang pokok. Tahun ini GKBI atas nama pabrik cambric Plumbon harus mulai mencicil utang pokok Rp 769 juta kepada BNI 1946 Kantor Pusat Jakarta Kota. Sanggupkah? "Bisa, karena kreditnya jangka panjang, dan cicilannya sedikit," sahut Badruddin. Kalapun GKBI tak sanggup "kami akan minta penangguhan," sambungnya. Karena beban itulah harga pokok benang 40 S eks-Plumbon, misalnya mencapai Rp 430 ribu per bal (181 kg) -- atau lebih mahal 17% jika dibandingkan eks-Medari. Dalam keadaan koperasi primer anggota GKBI yang menyerap benang itu sedang loyo, sulit tampaknya harga benang itu dijual di atas harga pokok. Kain primissima eks-GKBI dijual Rp 18.000 -- sedang di pasar bebas Rp 15.000 per pis. Itu pun sulit lakunya. Selain dianggap mahal, GKBI hanya berani memberi kredit barang itu kepada anggota selama jangka sebulan, sedang penjual di pasar bebas (koperasi primer yang juga anggota GKBI) berani sampai 3 bulan. Ketidakseragaman dalam menentukan harga itu seharusnya tidak terjadi jika manajemen GKBI benar-benar melaksanakan tugas pemasarannya seperti yang diwajibkan dalam Anggaran Dasar dan Rumah Tangga 1982. Di situ dijelaskan GKBI diharuskan membantu pengadaan bahan baku, menyalurkan, dan memasarkan produksi koperasi primer dari anggotanya. Tapi sudah beberapa tahun ini sebagian besar dari 40 koperasi primer anggota GKBI berusaha memasarkan sendiri produksinya. Dalam keadaan pasar lesu, persaingan semakin keras. Tindakan koperasi primer itu bisa dipaharni KeNa GKBI Badruddin. Usaha semacam itu, katanya, semata-mata dilakukan untuk mempertahankan agar usaha koperasi tetap berjalan tanpa perlu memberhentikan karyawan. Bagi mereka "saat ini memang bukanlah saat untuk mendatangkan keuntungan," katanya. Tapi yang agaknya mengherankan, pengurus GKBI dalam rapat anggota Desember 1982 masih berani memproyeksikan keuntungan Rp 346 juta dari hasil penjualan 344 ribu pis primissima tahun ini. Ke mana GKBI akan menjual kain itu dengan harga baik, entahlah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus