REGU Bangau dari TC nasional Ciloto memang tangguh. Berintikan
pejudo-pejudo junior terbaik dari seluruh Indonesia, regu ini
mengalahkan klub JIB (Judo Institut Bandung) Bandung di final
kejuaraan judo antarklub se-Indonesia I. Pertandingan tanpa
istirahat sejak pukul 09.00 - pukul 22.00, 6-7 Maret berlangsung
di gedung Pusat Olahraga Pajajaran, Bandung.
Kekuatan regu TC Ciloto memang sudah diduga sebelumnya. Sejak
]anuari mereka digembleng untuk diseleksi dan kelak akan dilatih
di Jepang. Di Ciloto gemblengan dilakukan pagi, sore dan malam
masing-masing 2 jam selama 5 hari dalam seminggu. Sedang
gemblengan yang dilakukan oleh klub-klub, hanya 2 jam sehari, 2
- 3 kali seminggu. Karena latihan kurang, "menyebabkan lemahnya
prestasi daerah," kata Atang M. Noor, Ketua JIB yang juga ketua
panitia penyelenggara kejuaraan ini.
Kejuaraan yang diikuti 21 klub dari berbagai daerah
(masing-masing mengirimkan 5 pejudo) ini bukan semata-mata
mencari pejudo terbaik yang dimiliki klub-klub di daerah. Juga,
"untuk menghidupkan kegairahan klub dan pembinaan klub yang
selama ini terbengkalai," kata Atang M. Noor. Dengan kejuaraan
ini, seperti kata Ir. A.R. oehoed, Ketua Umum PB PJSI,
frekuensi pertandingan dapat lebih ditingkatkan. Dan klub-klub
itu dapat membina pejudonya "lebih baik dan serius."
PB PJSI (Persatuan Judo Seluruh Indonesia) sudah sejak 1'h tahun
lalu gencar menekankan pembinaan prestasi. Tapi 'suntikan'
prestasi PB PJSI belum menemui sasaran dengan merata. Karena
itu, menurut Ketua Bidang Pembinaan PB PJSI, Tonny Atmajaya,
"pejudo daerah yang berbakat akan dilatih di Ciloto mengikuti
peningkatan teknik 2-3 bulan kemudian dipulangkan ke daerah
asal."
Di daerah-daerah sendiri selama ini dinilai pertandingan kurang
diadakan. Yang ada selama ini kejuaraan daerah setahun sekali,
kejuaraan nasional dua tahun sekali dan PON empat tahun sekali.
Di samping itu, menurut Atang M. Noor, mendapatkan pelatih yang
baik cukup sulit di daerah. Klub JIB, misalnya, dengan
anggotanya 350 orangselama ini terpaksa berlatih seadanya.
Klub BJC Bandung yang menjadi juara 111 di kejuaraan pekan lalu
itu, punya masalah hampir sama. Klub yang sudah berumur 14 tahun
ini mempunyai dojo (tempat latihan) di rumah pembinanya, Aep
Aedy seluas 10 x 10 m. Ada delapan pelatih untuk menangani 200
anggota. Bantuan uang Rp 6 ribu/bulan dari KONI Kodya Bandung
tak bisa membantu banyak. "Untuk bayar listrik saja susah," kata
Aep.
Prawoko, pejudo nasional yang membawa regunya dari Lanudal
Juanda Surabaya ke kejuaraan ini juga belum merasakan pembinaan
PB PJSI. Klubnya berdiri 4 tahun lalu dengan fasilitas cukup.
Tapi mencari pelatih dirasakan sulit. Itulah sebabnya ia tak
banyak menuntut prestasi pada anak asuhannya. "Bagaimana mau
berprestasi kalau pelatihnya tak punya teknik yang baik," kata
Prawoko polos.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini