DIAM-DIAM Menteri Pertambangan dan Energi Prof. Subroto terbang
menuju Abu Dhabi, Kamis maghrib pekan lalu. Dari sana sesudah
beristirahat sekitar enam jam, Prof. Subroto disertai staf
terbatas melanjutkan perjalanan ke Kuwait. Di situ Menteri
Perminyakan Kuwait Sheik Ali Khalifa Al-Sabah telah menantinya.
Kedua menteri minyak itu berbincang-bincang selama beberapa jam.
Kemudian, menaiki pesawat pribadi Al-Sabah, Prof. Subroto
terbang menuju Doha, Qatar.
Jumat malam itu, Prof. Subroto dan Al-Sabah segera saja
bergabung dengan tujuh Menteri Perminyakan OPEC di Hotel
Sheraton yang baru 10 hari diresmikan pemakaiannya. Di hotel
berbentuk piramid itu, sembilan menteri OPEC tadi berembuk
hingga tengah malam. Kendati berhalangan hadir, Menteri
Perminyakan Venezuela, Gabon Iran, dan Ekuador setiap saat bisa
mengikuti perkembangan yang terjadi di forum itu lewat telepon.
Dalam suasana persaudaraan, pertemuan tak resmi tersebut
kemudian dilanjutkan pada Sabtu pagi. Segera sesudah dua kali
bertemu, sembilan Menteri Perminyakan OPEC itu memutuskan tetap
mempertahankan harga patokan--US$ 34 per barrel--sampai akhir
tahun ini.
Tambah Berat
Untuk menangkis tekanan pasar terhadap harga patokan itu, mereka
juga sepakat mengurangi produksi sebesar 1,5 juta barrel/hari.
Jika benar produksi OPEC kini 20 juta barrel, maka suplai
kelompok itu ke pasar dunia hanya akan tinggal 18,5 juta
barrel/hari. Semua keputusan tersebut rencananya akan disahkan
dalam suatu pertemuan istimewa di markas besar OPEC di Wina 19
Maret.
Mengejutkan? Tentu saja. Sebab banyak dugaan muncul, sesudah
harga minyak di pasar tunai (spot) anjlok, kemudian disusul
keputusan Iran (anggota OPEC) menurunkan harga minyak mereka
secara sepihak sampai US$ 30,20/barrel, harga patokan OPEC bakal
goyah. Tekanan terhadap harga patokan ()PEC itu makin tambah
berat setelah British National Oil Corp. (BNOC) menurunkan lagi
harga minyak ringannya sampai US$ 25,40/barrel.
Menghadapi pukulan beruntun itu, Nigeria (anggota OPEC) yang
neraca pembayarannya sudah defisit, nyaris menurunkan harga
minyak ringannya di bawah harga patokan. "Tenang saja dulu,
jangan terburu-buru," kata Presiden OPEC Sheik Mana Saeed
Al-Oteiba berusaha mencegah niat Nigeria. "OPEC akan mengambil
suatu sikap yang kelak akan membantu semua produsen minyak."
Al-Oteiba mungkin benar. Paling tidak dia mengharapkan harga di
pasar tunai untuk jenis Arabian Ligbt Crude akan berhenti pada
tingkat US$ 30.75 per barrel, sesudah OPEC mengurangi suplai
sebesar 1,5 juta barrel/hari. Tindakan OPEC itu juga diharaplan
akan mampu mengurangi kelebihan (glut) minyak yang kini
berjumlah 3 juta barrel/hari. Dengan demikian, jika pasar ketat
(suplai tidak berlebihan), harga minyak diharapkan tidak
sempoyongan terus-menerus.
Tapi mengapa OPEC harus mengurangi produksi? Sejumlah Menteri
Perminyakan OPEC itu melihat bahwa pada bulan Juni nanti
permintaan minyak negara industri akan meningkat lagi. Untuk
menekan harga minyak, mereka pada saat ini banyak menggunakan
cadangan. Tapi daya guna penggunaan cadangan yang sebesar 4 juta
barrel sehari akan menurun menjelang Juni. Sisi inilah, yang
antara lain, dilihat para menteri Perminyakan OPEC itu.
Menteri Yamani sendiri memang lebih suka memilih OPEC menurunkan
produksi minyak ketimbang menurunkan harga patokan. "Kalau hari
ini kita turunkan harga patokan, besok akan ada tekanan untuk
menurunkan harga patokan lebih besar lagi," katanya.
Tak Boleh Sesukanya
Apa artinya semua itu? Di luar dugaan, OPEC (terutama Menteri
Yamani) kini mulai mempersoalkan rencana produksi bersama --
suatu hal yang sebelumnya tabu untuk dibicarakan. Bagi OPEC soal
mengatur volume produksi merupakan kedaulatan masing-masing
anggota. Dan kalau kini OPEC sudah mulai berbicara mengenai
rencana produksi bersama "itu merupakan batu pertama (dasar)
menjadi suatu kartel," kata seorang anggota delegasi OPEC.
Langkah menjadi suatu kartel tampaknya akan membawa akibat baik
bagi setiap anggota OPEC. Dengan cara itu, setiap anggota tidak
boleh sesukanya berusaha menaikkan tingkat produksi dengan
membanting harga resmi di bawah harga patokan--seperti yang
dilakukan Iran kini. Dan pengalaman mengajarkan, usaha Iran
untuk mendongkrak produksinya di atas 600 ribu barrel/hari
ternyata tidak menghasilkan apa-apa--sebaliknya menjadi semacam
pukulan balik bagi OPEC. "Kelak tidak boleh anggota OPEC
menurunkan harga tanpa adanya kesepakatan bersama," kata Menteri
Subroto.
Bagi Indonesia soalnya memang tak sesederhana konsensus yang
dicapai sembilan negara OPEC di Doha. Menteri Pertambangan dan
Energi Subroto setelah melapor kepada Presiden di Bina Graha
Senin kemarin, mengatakan konsensus di Doha itu akan ditanggung
bersama oleh ke-13 anggota OPEC. Secara sederhana Indonesia
berarti kebagian jatah untuk mengurangi produksinya dengan
42.000 barrel sehari.
Produksi minyak Indonesia sendiri selama bulan Januari lalu,
rata-rata jatuh di sekitar 1,55 juta barrel sehari. Ini belum
termasuk jenis minyak Duri yang sulit untuk dijual. Dan jenis
Duri itu, yang disedot dari ladang-ladang Caltex di Sumatera,
menurut sebuah sumber TEMPO, sejak awal Maret untuk sementara
dihentikan produksinya.
Tadinya jenis minyak berat itu diproduksikan sebanyak kira-kira
25.000 barrel sehari. Maka kalau betul jenis Duri untuk
sementara dihentikan, produksi total minyak Indonesia sejak awal
Maret itu sudah turun sedikit menjadi 1,53 juta barrel sehari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini