KINI giliran Susi Susanti yang berjaya di kandang Cina. Gadis 19 tahun, kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, yang seminggu sebelumnya merebut juara tunggal putri di Kejuaraan Indonesia Terbuka 1989, merebut gelar yang sama di Kejuaraan Bulu Tangkis Piala Dunia 555. Di final, Ahad malam lalu, dan disaksikan sekitar 4.500 pasang mata di Gimnasium Guangzhou, Cina, Susi menaklukkan pemain tuan rumah, Han Aiping, dengan dua set langsung: 11-5 dan 11-4. Partai Susi melawan pemain nomor dua Cina ini memang ditunggu-tunggu penggemar bulu tangkis di Kota Guangzhou yang lebih dikenal dengan nama Kanton. Sayangnya, pertarungan ini kurang ketat. Bahkan, Susi, yang pernah menjuarai kejuaraan dunia yunior 1987 dan 1988, hanya memerlukan waktu 27 menit untuk menundukkan Aiping. "Target saya memang ingin mengalahkan Han Aiping sebelum dia mengundurkan diri dari bulu tangkis," kata Susi seusai pertandingan. Gelar ini menempatkan Susi sebagai pemain kedua yang mampu merebut gelar di daratan Cina. Sebelumnya, Ardy B. Wiranata, pemain muda berbakat yang menjuarai tunggal putra Kejuaraan Cina Terbuka 1989 di Foshan, September lalu. Perjuangan Susi tidak gampang. Untuk maju ke bahak semifinal, ia harus menyisihkan pemain andalan Korea Selatan, Hwang Hye Young, dan Christine Magnusson dari Swedia. Di semifinal Susi memerlukan waktu 53 menit untuk mengalahkan pemain berbakat tuan rumah, Tan Juihong, dengan rubber set: 12-10 8-11 dan 12-11. Tapi, Han Aiping juga memeras keringat untuk maju ke final dengan mengalahkan rekan senegaranya, Hang Hua: 10-12 11-8 dan 11-4. Di final, Han Aiping menjadi bulan-bulanan Susi. Bahkan, Aiping kerap memegang pinggangnya karena kehabisan tenaga. "Tenaga saya sebenarnya juga sudah terkuras di semifinal, tetapi saya pikir untuk final harus habis-habisan," kata Susi, mahasiswi STIE Perbanas tingkat pertama ini. Ia memang pantas diberi acungan jempol. Mei lalu di Jakarta, Susi pula yang menghidupkan peluang tim Indonesia untuk merebut Piala Sudirman, lambang kejuaraan dunia beregu campuran. Bakat Susi dalam olahraga menepok bulu angsa ini sudah mulai tampak sejak 1986 lalu. Prestasinya terus melonjak. Baru setahun muncul di arena internasional, ia sudah mampu menundukkan juara All England 1987, Kirsten Larsen dari Denmark, pada babak ketiga Kejuaraan Dunia di Beijing, dua tahun silam. Dan masih di tahun yang sama, Susi merebut gelar juara tunggal putri Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis Yunior di Jakarta. Dan gelar itu dipertahankannya dalam kejuaraan serupa, 1988. Prestasinya terus melejit dengan menjadi finalis All England, Maret lalu. Ia dikenal gigih dan pantang menyerah. "Bola ke mana pun dia kejar, bahkan bola-bola yang susah pun masih dapat dikembalikannya. Keuletannya itu membuat musuhnya cepat putus asa," ujar Ciu Shia, pelatih yang menangani Susi di pelatnas. Menurut Ciu Shia, kelebihan Susi dibandingkan dengan pemain lainnya yang berada di pelatnas adalah: Susi lebih punya percaya diri dalam menghadapi pemain terkenal. Di samping itu, dia memiliki pertahanan yang bagus, pukulannya bervariasi. Dia bisa mengangkat bola, menaruh di depan net, serta menyilang. "Mudah-mudahan, dengan keberhasilan Susi, khususnya di nomor tunggal putri, membuat Indonesia diperhitungkan kembali di tingkat internasional," tambah Ciu Shia. Kemenangan Susi secara beruntun dalam kejuaraan yang cukup bergengsi ini membawa angin segar bagi pengurus PBSI (Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia). Apalagi para srikandi Indonesia ini dibebani mencapai babak final Piala Uber 1990, seperti prestasi mereka pada tahun 1986 lalu. Untuk Piala Uber ini, tentunya, Susi dkk. harus melewati babak penyisihan terlebih dahulu sebelum mimpi ke putaran final di Tokyo, Jepang. Ru Novrianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini