MERAPI masih suka batuk. Lalu, kepundannya memancarkan debu, gulungan asap, atau percikan api. Gunung setinggi 2.968 m di utara Yogya itu, memang, terhitung paling aktif di antara 129 gunung berapi di Indonesia. "Merapi masih punya potensi untuk terus meletus," kata M. Subroto Modjo, Kepala Direktorat Vulkanologi, Bandung. Maka, sejak 10 November lalu, di puncak Merapi, 200 m dari kepundannya yang galak, ditempatkan "petugas khusus". Tugas pokok dia ialah membuat laporan pandangan mata tentang segala aktivitas di kepundan, lewat kamera zoom 16-160 mm. Hasil liputannya bisa diterima sebagai gambar hidup di Stasiun Pengamatan Gunung Berapi, Yogya. "Petugas khusus" itu adalah sebuah robot yang dibuat oleh Laboratory Electronic Technology Instrument (LETI), Prancis. Robot itu merupakan petugas lapangan dari perangkat yang bernama ROVS (Remote Operated Vision System). Peralatan seharga Rp 100 juta itu boleh disebut barang langka. "Sistem ini baru diterapkan di Indonesia," tutur Subroto. Negeri lain kebanyakan masih menggunakan remote observation, yang tak mengirim data visual. Robot ROVS itu punya dua tangan. Yang kanan mencekal kamera zoom itu tadi, sedangkan lengan kiri mestinya memegang kamera infrared, untuk tugas peliputan di malam hari. "Berhubung mahal, kamera infrared itu belum bisa dipasang," kata Marcel Bof, teknisi LETI yang diperbantukan ke Yogya. Alhasil, ROVS hanya bisa siaran siang hari. Bukan itu saja "kekurangan" robot Merapi ini. Pirometer, pengindera suhu jarak jauh, belum pula terpasang. Alasannya sama, soal keterbatasan dana. Maka, tayangan suasana kepundan itu masih belum dilengkapi data suhu. Kendati begitu, robot ROVS itu tak kurang memberikan manfaat. "Semua gejala di kepundan Merapi bisa terlihat jelas dari sini," tutur Marcel. Gerak arah kamera dan diafragmanya bisa dikendalikan pula dari Yogya. Hubungan Yogya -- Puncak Merapi itu dijalin lewat gelombang ultra tinggi (UHF). Lewat sinyal gelombang itu, gerakan gulungan asap, atau pertumbuhan kubah lava gunung bisa diamati dari detik ke detik. "Kami pun bisa memperkirakan berapa besar lava yang tersembur dan ke mana larinya," kata vulkanolog muda Prancis, Piere Bergey, 24 tahun, yang mengawal alat ROVS itu ke Yogya. Lewat data visual itu, prakiraan letusan bisa lebih gampang dilakukan. "Jika kubah lava tumbuh makin membesar, itu tandanya letusan akan terjadi," tutur Bergey. Hasilnya pun, menurut Bergey, bisa lebih akurat dibandingkan dengan metode peramalan dengan data seismograf, misalnya, yang cuma mengolah data gempa. Selama ini, pengamatan visual atas puncak Merapi dilakukan oleh petugas Direktorat Vulkanologi, lawat pos pengamatan di Plawangan, di dekat daerah wisata Kaliurang, Yogya. Tapi, pengamatan dengan teropong itu kurang memadai. Bila kabut datang, gambar kepundan pun kontan menghilang. Sementara itu, ROVS bekerja tak kenal cuaca. Hubungan jarak jauh itu dimungkinkan, lantaran robot ROVS itu memiliki komponen transmitter (pengirim) dan receiver (penerima) gelombang. Untuk itu, pada robot seberat 200 kg, dengan tinggi 110 cm dan lebar 80 cm ini, dipasang 2 buah batere berkekuatan 24 volt. Tak jauh dari robot itu dipasang panil surya, yang bertugas mencatu batere itu manakala tenaganya menipis. Pada hari-hari cerah, sel surya di situ bisa menangkap energi matahari 70 watt. Cukup. Sebab robot ini hanya butuh catu 1,4 ampere. Gunung Merapi memang sengaja dipilih untuk uji coba ROVS. Sebab, selain gunung itu perlu dijaga, pun untuk melengkapi alat-alat yang telah tersedia sebelumnya. "Merapi merupakan sekolah bagi kami," kata Subroto Modjo. PTH, Hedy Lugito, dan Ida Farida
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini