SEMENTARA 24 kesebelasan sibuk berbenah diri ke Piala Dunia 1990, Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) masih saja berkutat membenahi "borok-borok". Kamis pekan lalu, setelah sidang maraton sampai larut malam, Komisi Disiplin Liga PSSI menskors Ronny Pattinasarani, bekas pemain nasional dan pelatih Petrokimia Putra Gresik, dengan 6 bulan tak boleh melakukan kegiatan di lingkungan PSSI. Anak buah Ronny di Petrokimia, Ferril Hattu, Uut Kuswendi, dan Eric Ibrahim, diganjar 6 bulan. Liga bersandar pada laporan wasit Aksi Siswanto, bahwa ia dianiaya dan dihina pemain-pemain dan pelatih Petro. Sementara itu, inspektur pertandingan di Stadion Mandala Krida, Yogyakarta -- tempat lahirnya kasus itu -- hanya mencatat adanya pemukulan wasit, tapi entah oleh siapa. Ini merupakan buntut pertandingan Grup TV Piala Liga antara Petrokimia Putra dan Perkesa Mataram, 7 November lalu. Ketika itu, pada menit ke-62, libero Petrokimia, Ferril Hattu, melakukan sliding tackle terhadap pemain depan Perkesa, Guntur, di pinggir kotak penalti Petro. Guntur terjatuh. Padahal, kata Ferril kemudian kepada TEMPO, "Saya tak menyentuh tubuh Guntur." Wasit Aksi Siswanto dari Semarang segera meniup peluit: penalti! Kontan saja Siswanto diserbu pemain-pemain Petro. Protes. Anehnya, setelah protes itu, putusan menghukum penalti pada Petrokimia diubah wasit jadi tendangan sudut. Nah, ganti pemain Perkesa Mataram yang mengerubungi Siswanto. Seolah ingin menenangkan pemain Perkesa Mataram, Aksi Siswanto memanggil kapten kesebelasan Petro, Ferril Hattu, dan menghadiahkan kartu merah. Ronny masuk lapangan. Eh, di tengah keributan itu Ronny mendengar kata-kata tak sedap, "Pemain Petro memang bajingan." Anak Ujungpandang ini pun naik darah. "Yang bangsat adalah wasit," umpat Ronny keras. Ucapan inilah yang membuat ia di hukum. Kenapa Ferril Hattu diberi kartu merah? Ketika protes-protes terjadi, wasit memang kena tendang. Mungkin Siswanto mengira itu ulah Ferril. Namun, Ferril Hattu kepada TEMPO tegas-tegas membantah menendang wasit. Apa komentar Ronny? "Keputusan Liga tak didukung data obyektif," ujarnya pada TEMPO. Ia menilai, wajah sepak bola Indonesia memang masih ruwet. "Dan Komisi Displin Liga membuat wajah sepak bola kita makin ruwet," kata Ronny tegas. Sidartha Pratidina (Jakarta) dan Zed Abidien (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini