EMPAT dari lima gelar disikat Indonesia. Joko Supriyanto, pemain muda miskin pengalaman, memang kandas. Tapi, Susi Susanti, pemain muda yang lain, berjaya. Namun, empat gelar yang direbut di GOR Pangsuma, Pontianak, dalam arena Kejuaraan Bulu Tangkis Indonesia Terbuka Pelita Khatulistiwa 1989 ini sulit dijadikan "bukti" bahwa Indonesia masih yang terkuat di dunia. Alasan: beberapa pemain terbaik dunia tak hadir. Morten Frost Hansen (Denmark), Park Joo Bong (Kor-Sel), dan runner-up Indonesia Terbuka tahun lalu, Zhao Jian Hua (Cina), absen. Di bagian putri, tidak tampak Li Lingwei (Cina), juara Indonesia Terbuka tahun lalu, dan Chung Myung Hee (Kor-Sel), runner-up tahun lalu. Di nomor ganda putra, juara dunia 1989 Tian Bingyi/Li Yongbo (Cina) juga tak nongol di Pontianak. Tapi, empat gelar yang direbut pada final Ahad lalu itu bukan lantas tak ada artinya. Apalagi, di final tunggal putra tampil bintang baru, Joko Supriyanto. Di semifinal, Joko bahkan menundukkan Yang Yang -- andalan Cina yang diunggulkan di tempat teratas. Sukses Joko bisa pertanda bahwa regenerasi bulu tangkis Indonesia tidak mandek. Anak Solo kelahiran 6 Oktober 1966 ini mulai mengayun raket sejak 12 tahun lalu di klub Purnama Solo. Ia kemudian hijrah ke Jakarta dan bergabung dengan klub Bimantara Tangkas. Di pelatnas, mulanya, Joko ditangani Rudy Hartono. Setelah Rudy istirahat karena penyakit jantungnya, Joko ditangani Tong Sin Fu alias Fuad Nurhadi. Di final, Joko dikalahkan Xiong Guobao -- ini kekalahan Joko yang keenam dari pemain yang sama. Toh, Joko tak putus asa dan tekadnya tetap setinggi bintang: "Jadi juara dunia." Permainannya bervariasi, overhead smash-nya juga cepat dan arahnya sukar ditebak. Hanya saja, Joko, yang pernah kena sakit kuning, perlu lebih ngotot. Tiga kali bertemu dengan Yang Yang sebelum ini -- Malaysia Terbuka 1988, Silver Bowl 1988, Hong Kong Terbuka 1989 -- ia selalu kalah. Namun, di Pontianak, Joko bisa menang straight set. Memang harus dicatat, Yang Yang agak kesulitan dengan suhu Pontianak yang 32 derajat Celsius. Di mata Fuad Nurhadi, Joko lebih diharapkan bicara di Olimpiade Barcelona (1992) ketimbang di Piala Thomas (Mei 1990) atau Asian Games Beijing (1990). "Dia masih perlu dipoles lebih banyak, terutama karena mentalnya belum stabil," ujar Fuad. Penampilan pemain senior, seperti Icuk Sugiarto dan Eddy Kurniawan, agak mengecewakan. Icuk dan Eddy, menurut pelatih pelatnas Triaji, sudah masuk ke "masa senja". Di Pontianak, Icuk dibabat Xiong Guobao di semifinal dan Eddy Kurniawan juga menyerah dari Yang Yang di babak yang sama. Ardy, juara Cina Terbuka 1989, dan Alan Budikusuma juga menurun. Ardy kalah dari Bambang Supriyanto dan Alan tersangkut di tangan Wu Wenkai. "Mereka terlalu diforsir setelah SEA Games Kuala Lumpur dan PON XII," kata Triaji. Ini memprihatinkan, kalau diingat bahwa perebutan Piala Thomas akan berlangsung Mei 1990 nanti. Bagaimanapun, andalan Indonesia masih pada Icuk, Eddy, Alan, atau Ardy. "Untuk Thomas Cup masih berat melawan Cina," ujar Triaji lagi. Cina dengan Xiong Guobao, Yang Yang, Zhao Jian Hua di atas kertas masih lebih kuat ketimbang Icuk, Eddy, Ardy, dan Alan. Sedangkan di ganda, Cina punya Tian Bingyi/Li Yongbo yang kalah-menang dengan Eddy Hartono/Gunawan di berbagai kejuaraan. Tak heran jika pelatih kepala Cina, Wang Wenjiao, sudah optimistis bahwa anak asuhnya akan menghajar Indonesia di Piala Thomas nanti. "Lihat saja nanti. Kami akan tampil lengkap. Yang Yang saja sekarang sudah turun jadi kelas dua. Pemain utama akan kami terjunkan di Thomas Cup nanti," sesumbar Wenjiao. Boleh jadi, ini cuma gertak sambal. Sebab, tampaknya, belum muncul pemain Cina yang layak disebut bintang baru. Paling cuma Wu Wenkai, juara yunior Cina. Di Pontianak, Wenkai menyerah dari Guobao. Di bagian putri, yang melegakan cuma Susi Susanti. Di final, Susi menghantam Huang Hua dan merenggut gelar juara tunggal putri. Namun, juara tahun lalu, Li Lingwei (Cina), tak ikut ke Pontianak. Di final ganda putri, Verawaty/Yanti Kusmiati, tampaknya, sengaja mengalah pada Rosiana Tendean/Erma Suliastianingsih agar Rosi/Erma maju ke seri antarmaster grand prix di Singapura, awal Desember nanti. Di ganda putra, Eddy Hartono/Gunawan menumbangkan ganda kuat Malaysia, Razif/Jailani Sidek, dan meraih gelar juara. Eddy Hartono masih menambah satu gelar di Pontianak di ganda campuran. Berpasangan dengan Verawaty, ia menumbangkan Gunawan/Rosiana Tendean di final. Walhasil, di kejuaraan dengan hadiah total US$ 135.000 ini, empat gelar diboyong Indonesia. Asal diingat bahwa tantangan masih banyak. Pertengahan November ini Piala Dunia di Guangzhou, Cina. Lalu, ada seri antarmaster grand prix di Singapura, awal Desember nanti. Toriq Hadad (Jakarta), dan Djunaini K. (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini