Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Gugur Di Sarang Narkotik

Sertu. Fransiskus Asisi Saryanto, anggota Polda Metro Jaya, dibunuh kawanan penjahat ketika membekuk pengedar obat terlarang. 10 tersangka sipil & 2 oknum ABRI diringkus polisi. Motif pembunuhan kabur.

18 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH info dengan klasifikasi A-1 masuk ke Markas Kepolisian Daerah Ibu Kota Jakarta. Isinya: sedang terjadi transaksi obat terlarang di belakang Grand Theatre, Jalan Kramat Soka, kawasan Senen, Jakarta Pusat. Kepala Direktorat Serse Polda Metro Jaya, Kolonel Wagiman, segera memerintahkan Sertu. Fransiskus Asisi Saryanto dan Sertu. Samijo meluncur ke sasaran. Sekitar pukul sembilan, Minggu malam pekan lalu, kedua polisi berpakaian preman itu tiba di belakang Grand Theatre. Mereka melihat dua orang pemuda lagi asyik mengadakan transaksi pil BK -- yang banyak dipakai anak muda teler. Tanpa membuang waktu, kedua reserse itu segera membekuk kedua orang tersebut. Ketika itulah, tiba-tiba, entah dari mana, sekawanan bandit menyerbu kedua polisi itu. Dan creb... creb..., pisau penyerang gelap itu merobek perut Saryanto. Ayah tiga anak ini pun roboh bersimbah darah tanpa sempat mencabut revolver S & W-nya. Sementara itu, Samijo sempat melarikan diri ke Polsek Senen dengan luka di pelipisnya. Senjata apinya dan juga milik Saryanto berpindah ke tangan penjahat. Malam itu juga Saryanto dilarikan ke RSCM dalam keadaan kritis. Tapi nyawanya tak terselamatkan. Ia gugur dalam tugas. Bantuan pun segera datang. Polsek Senen dibantu Polres Jakarta Pusat segera melakukan pengejaran. Hanya tujuh jam setelah kejadian, sepuluh tersangka sipil dan dua oknum ABRI diringkus polisi di daerah Pondok Gede, Jakarta Timur. Mereka mengaku menusuk korban dalam keadaan mabuk. Hanya saja, sampai sekarang, motif pembunuhan polisi itu belum terungkap tuntas. Ada desas-desus, kawanan ini adalah anggota sindikat obat, yang memang malam itu sengaja menjebak Saryanto di kawasan kekuasaan mereka, Senen. Tapi Kapolda Jaya, Mayjen. Ritonga, yang ditemui TEMPO, pekan ini, membantah dugaan itu. "Mereka tidak merencanakan jebakan. Dan mereka juga bukan sindikat, hanya pengedar obat terlarang di beberapa tempat di Jakarta ini," kata Ritonga. Yang jelas, tewasnya Saryanto bagi jajaran Polda Jaya "Merupakan indikator bahwa penjahat mulai berani melakukan tindak kekerasan terhadap petugas," ujar Ritonga lagi. Almarhum Saryanto, 33 tahun, masuk di Direktorat Serse sejak 1986, setelah lulus dari sekolah bintara dua tahun sebelumnya. Ia memulai kariernya di kepolisian sejak 1975 dengan pangkat bharatu. Di Ditserse, anak Ungaran, Semarang, ini sering ditugasi dalam berbagai operasi khusus, seperti Operasi Jaran, menghantam pencurian ranmor, dan Operasi Jabus dengan sasaran penjahat di atas kendaraan umum. Tak kurang dari Kapolri Jenderal (Pol.) Sanoesi sendiri datang mengunjungi rumah duka, di asrama Brimob Kelapa Dua, Cimanggis. Ketika itu juga pangkat almarhum dinaikkan Kapolri dari sersan satu ke sersan kepala. Kapolri juga memberi santunan dan tunjangan Rp 7,5 juta kepada keluarga Saryanto. "Kaget sekali tiba-tiba Kapolri dan rombongan memberikan ucapan dukacita kepada keluarga kami," kata istri almarhum, Mimin Rukmini, 34 tahun. Sebelum suaminya berangkat tugas, Minggu malam itu, Mimin mengaku telah mendapat firasat buruk. "Mas Saryanto pergi dijemput temannya," ujar Mimin, menceritakan mimpinya. Dan sehari sebelum tewas, Saryanto tiba-tiba menghadiahkan setangkai bunga senggani kepadanya. "Sekarang baru saya tahu bahwa bunga itu banyak dipakai di kuburan," kata Mimin. Ibu tiga anak itu, kini merisaukan masa depannya tanpa Almarhum. Rumah 6 m x 10 m, berdinding kayu dan plafon gedek yang ditempatinya sekarang, milik negara. "Kalau rumah ini tak bisa saya cicil, lalu saya mesti pindah ke mana?" katanya cemas. Tapi yang lebih mengharukan adalah reaksi anak-anak almarhum setelah ditinggalkan ayahnya. Dua di antara tiga anaknya, si bungsu, Doni Widya Putra, 6 tahun, dan Ardani Kusuma Wijaya, 8 tahun, sampai kini masih "mogok" sekolah. "Pokoknya, Doni nggak mau sekolah kalau Bapak belum bangun lagi," kata Doni, yang belum mengerti bahwa ayahnya tak akan kembali lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus