UNTUK SEA Games, saya butuh pemain yang berapi-api (on fire),"
kata Bernd Fischer. Pelatih kepala tim PSSI Utama yang baru itu
dalam percakapan dengan TEMPO menerangkan mengapa ia memulangkan
Hadi Ismanto, Dede Sulaiman dan Bambang Nurdiansyah.
Dede dan Bambang sudah berbulanbulan ikut pelatnas PSSI Utama.
Keduanya dilihatnya mulai kehilangan rasa percaya diri karena
terus-menerus dipasang pada bangku cadangan. Sedangkan top
scorer Galatama 1978-1979, Hadi Ismanto, justru telah
memfrustrasikan pemain-pemain PSSI Utama, terutama dalam
turnamen Anni Cup Jakarta (Agustus) dan Merdeka Games
(September).
Hadi sebenarnya tak mau ke Kualalumpur September lalu, "karena
sudah lama menyimpan persoalan keluarga," kata kapten Ronny
Patty. "Hanya karena sadar ia pemain baik yang dibutuhkan, ia
memenuhi panggilan PSSI," kata Fischer. Dan ternyata Hadi
membawa problem pribadinya ke lapangan. Fischer tidak mencoret
ketiga pemain itu, tapi dipulangkan sementara waktu sampai
mereka menemukan diri kembali.
Para pemain inti PSSI Utama lainnya juga, dalam rencana Fischer,
"akan segera dibebaskan dari diri masing-masing." Maksudnya, ia
akan menempa stamina mereka. "Lihat saja waktu melawan Khairat
Rusia, mereka cuma tahan 20 menit dalam babak pertama," katanya.
Pada pertandingan 22 Oktober itu, PSSI Utama sempat unggul lebih
dulu 1-0. Fischer berteriak-teriak dari pinggir lapangan, tapi
pemain-pemain PSSI Utama itu selanjutnya tak bisa berbuat banyak
lagi dan kalah 1-2.
Faktor teknik dan taktik secara umum juga masih jelek. Tapi
Fischer dalam waktu 10 hari sejak awal pekan ini menekankan
latihan stamina 100%. Pekan lalu ia baru memberi latihan
pemanasan seimbang, 50% latihan fisik dan 50% teknik dan uktik.
Latihan pemanasan itu cukup berat. Misalnya beberapa kali pemain
itu disuruhnya lari cepat. Ternyata mereka yang dari Warna
Agung--Ronny Patty, Stephanus Surey, Simson Rumahpasal dan Rully
Nere unggul. "Percuma dong sudah setahun lebih ikut PSSI Utama,
lalu saya tidak siap," kata Ronny sambil tertawa.
Barbados
Pelatih impor itu memang membuat pemain-pemain itu bersemangat.
Sejak berada di Indonesia (Juli) Fischer banyak berusaha
mendekati mereka. Waktu ke Merdeka Games pun ia menemani mereka.
Tapi ia tidak pernah mau mengamati (bekas coacb nasional) Ehdang
Wiursa dalam latihan. "Hanya setiap selesai suatu pertandingan,
saya dan Endang melakukan evaluasi bersama," katanya.
Selama Endang masih menjadi coacb PSSI Utama, Fischer lebih
banyak melakukan talent-scouting ke daerah. Ia sedang berada di
Ujungpandang ketika manajer PSSI Uuma Syarnubi Said
menelegramnya supaya segera kembali ke Jakarta. Endang tak mau
menangani PSSI Utama lagi karena asisten fisik pilihannya
Lelyana ditolak pengurus PSSI, dan ia sendiri tak mau menerima
Jopie Timisela yang ditawarkan pengurus sebagai pelatih fisik.
Fischer melihat tugasnya di Indonesia tidak seperti di Barbados
dan Bermuda (1969-1978). Di kedua negara kecil wilayah Lautan
Atlantik itu, ia digaji juga tapi harus mencari dana dan harus
membangun klub-klub dulu sebelum menyusun tim nasional. "Di
Indonesia, saya tinggal berkonsentrasi mengembangkan tim
nasional, sebab sepakbola sudah sangat populer di antara 150
juta penduduk," katanya.
Justru di sini tanungan dan tanggungjawab yang diterimanya cukup
riskan, khususnya menyiapkan tim ke SEA Games dalam waktu dua
bulan. Publik Indonesia, katanya, menginginkan tim nasional
segera menampilkan diri "sama hebatnya seperti kesebelasan yang
mereka lihat di televisi." Padahal untuk mencapai standar
kesebelasan internasional dibutuhkan waktu puluhan tahun.
Organisasi persepakbolaan di Indonesia dilihatnya belum bisa
segera menghasilkan kesebelasan seperti yang diharapkan publik
Indonesia. Administrasi klub, misalnya, belum beres. Belum ada
klub atau perserikatan yang secara konsisten membina pemain yang
tetap Standar coach belum merata. Liga (Galatama) sudah mengarah
ke sistem pembinaan itu tapi selain masih baru dan perlu
dimantapkan, masih ada klub yan bongkar pasang pemain pinggir
jalan Kompetisi belum lancar.
Dengan segala tantangan itu, Fischer menganjurkan "menyusun tim
mosaic yang terdiri dari pemain inti (nucleus) yang ada." Dan
Syarnubi Said setuju dengan istilah tim mosaic ini. "Bukan
bongkar pasang seperti istilah pers,' kata Syarnubi pada
selamatan Senin lalu di Restoran Lembur Kuring setelah ada
pemberian tiket KONI untuk PSSI Utama ke SEA Games.
Salah Tompat
Untuk menyusun kesebelasan mosaic yang indah itu, Fischer
membutuhkan 25 pemain. Yaitu tiga penjaga gawang (1 muda), 8
pemain belakang (3 muda) 7 pemain gelandang (minimum 2 muda) dan
7 penyerang (minimum 3 pemain muda). Ia merasa perlu PSSI Utama
dilengkapi pemain muda. Sudah terlalu sulit rupanya untuk
memperoleh bintang seperti Ronny Patty.
Juga ia membutuhkan pemain muda seperti Kasyadi, Metu Duaramuri,
Spiek Pulanda, Ricky Jacob yang masih bersemangat, "supaya
pemain senior seperti Risdianto atau Rully Nere yang sudah baik
akan lebih berusaha untuk tidak duduk di bangku cadangan." Segi
psikologis lebih banyak tampak dari rencana Fischer ini,
demikian komentar Alexander Titaleluw, administrator PSSI Utama.
Fischer melihat bahwa dalam PSSI Utama pemain inti masih salah
ditempatkan atau salah melakukan fungsinya. Misalnya Rully Nere,
katanya, bukan pemain gelandang tapi tipe (pengumpan) penyerang.
Rusdin Lacanda seharusnya pemain belakang (seperti biasa
ditempatkan coach Sinyo Aliandu di Tunas Inti) tapi oleh Endang
Witarsa dijadikan gelandang. Robby Binur waktu melawan
kesebelasan Khairat tidak melakukan tugasnya sebagai sayap
penyerang, "tapi ia juga benar membela pertahanan karena Ronny
Patty tidak ada." Ronny memang tidak diturunkan hari itu karena
cedera.
Untuk merekrut Herry Kiswanto, semula ada ganjalan. Pardedetex
tak mengizinkannya masuk tim mosaic. Tapi Sabtu lalu Pardede
berubah pendirian, setelah Benny Mulyono yang diutus PSSI
berhasil membujuknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini