JIKA hari-hari ini perhatian pengamat dan para olahragawan tumpah ke Senayan, itu tak berarti urusannya adalah sepak bola -- bagaimanapun ricuhnya. Ada yang lebih besar magnetnya. Yakni Musyawarah Olahraga Nasional (Musornas), yang tugasnya antara lain menetapkan kepengurusan baru KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) Pusat, periode 1990-1994. Musornas berlangsung Selasa dan Rabu pekan ini. Pimpinan puncak KONI agaknya tak bergeser dari ketua umum yang lama, Surono Reksodimedjo, 66 tahun. Ketua Dewan Harian Angkatan 45 ini cukup disegani pimpinan induk organisasi yang kini hampir semua terdiri dari para pejabat tinggi: menteri, Panglima ABRI, Kepala Staf Angkatan Darat, dan Wakasad. Hanya anggar, bridge, balap sepeda, senam, angkat besi, catur, dan atletik yang dipimpin bukan pejabat. Tiga yang terakhir tadi diborong pengusaha Bob Hasan. Melihat peta ini, tentu riskan kalau pimpinan puncak KONI bukan tokoh senior di negeri ini. Sebelumnya nama Mensesneg Moerdiono sempat beredar sebagai tokoh yang layak memimpin KONI. Ia kini memimpin induk organisasi tenis, yang kabarnya juga akan dilepas pada Munas PB Pelti di Samarinda, 30 November mendatang. Belakangan Moerdiono menolak dicalonkan sebagai Ketua Umum KONI, dengan alasan tak punya waktu. Menko Kesra Soepardjo Rustam juga disebut-sebut. Juga nama Mendagri Rudini. Namun, Rudini, selaku pimpinan organisasi karate, justru mencalonkan Surono, sesepuh karate Indonesia. Gongnya tentu saja isyarat yang disampaikan Menpora Akbar Tandjung seusai diterima Presiden Soeharto, yang menyatakan bahwa kepemimpinan KONI selama ini sudah berjalan baik. Maka, hampir pasti Surono yang terpilih. Masalahnya, siapakah yang akan mendampingi bekas Menko Polkam ini. Tampaknya seru. Terutama posisi ketua harian yang kini dijabat bekas Pangkostrad Letjen. (Purn.) Soeweno dan Sekjen yang dijabat Sarengat. Apakah trio Surono-Soeweno-Sarengat ini (dikenal dengan julukan Tripel S) bertahan, terlalu pagi untuk menebak. Beredar nama calon sekjen selain Sarengat, yakni Dr. Harsuki, yang kini Asisten II Bidang Keolahragaan Menpora. Pengurus KONI di masa mendatang harus makin menyadari bahwa dunia olahraga Indonesia menuntut penanganan serius dan profesional. Artinya, diperlukan orang yang punya waktu. Pengurus KONI periode 1986-1990 kebanyakan orang sibuk. Misalnya, Wakil Ketua Umum adalah Ketua Mahkamah Agung Ali Said. Bendahara dijabat oleh Direktur Utama Pertamina Faisal Abda'oe, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dipegang bekas Dirut Bank Bumi Daya Omar Abdalla, Ketua Bidang Dana adalah Direktur Perkapalan Pertamina Indra Kartasasmita. Kalau enam bulan sekali saja pengurus lengkap KONI bertemu, menurut sumber TEMPO, itu sudah bagus. "Memang sudah saatnya pengurus KONI dan induk organisasi olahraga bekerja penuh. Namun, kalau bekerja full tanpa gaji, siapa yang mau," ujar Sarengat. Sekjen KONI periode 1986-1990 ini mendapat izin Direktorat Kesehatan Angkatan Darat untuk aktif penuh di KONI. Namun, ada baiknya mengevaluasi kegiatan KONI di masa kepengurusan Surono empat tahun ini. Pada awalnya, untuk menjawab tantangan prestasi, bidang pembinaan dan bidang daerah sudah diputuskan akan lebih digenjot. Di samping lebih mengaktifkan tiga bidang lainnya, organisasi, luar negeri, dan dana. Untuk bidang pembinaan, yang akan ditingkatkan adalah fungsi pemusatan latihan nasional (pelatnas). Badan ini, konon, akan ditangani oleh seorang direktur yang juga sekaligus mengawasi pemusatan latihan daerah (pelatda). Pelatda itu akan diawasi dan dipimpin oleh seorang manajer profesional. Apa yang terjadi? Pelatnas memang jalan, tetapi pelatda praktis lumpuh. Ide bahwa atlet tak harus tinggal bertahun-tahun di Jakarta, karena sistem latihan daerah sudah jalan, tinggal impian. Kenyataannya, masih saja harus ada pelatnas jangka panjang. Semua pelatih terbaik, termasuk yang didatangkan dari luar negeri, tetap saja mangkal di Jakarta. Akibatnya, menurut beberapa pengamat, pembinaan prestasi di daerah tersendat-sendat. Malah ada kesan, pelatnas terlalu dominan dan memaksa daerah jadi "pelengkap penderita". Contoh yang paling hangat adalah kasus petinju Pino Bahari. Pelatnas memaksa Pino ke Jakarta untuk bergabung dengan pelatih asal Jerman Helmut Kruger. Padahal, di Sasana Cakti Bali, Pino lebih terarah karena, selain Sasana Cakti punya fasilitas lengkap, ada Daniel Bahari yang mengawasi Pino 24 jam. Dominannya pelatnas membuat tak banyak klub tangguh tumbuh di daerah. Bahkan klub atletik Dragon Salatiga, yang berprestasi bagus, belakangan pelatihnya juga menangani pelatnas. Padahal, pelatnas itu biayanya mahal. Untuk satu peristiwa, misalnya SEA Games Kuala Lumpur, bisa habis lebih dari Rp 1 milyar, dan akhirnya KONI bisa "keteter" untuk menyiapkan dana sebesar ini. Di bidang luar negeri, seperti diketahui, Indonesia gagal menjadi tuan rumah AG 1998 -- dikalahkan Muangthai. Ketua Bidang Luar Negeri Bob Hasan menilai, situasi Teluk yang tak menentu dimanfaatkan beberapa negara untuk bermain politik. Ini merugikan Indonesia. Sebelumnya, pada rapat Olympic Committee of Asia (OCA) di Bali menjelang AG Beijing, "Indonesia sudah 50 persen menang. Syeikh Fahd sebagai Ketua OCA sudah setuju. Namun, kemudian Kuwait diserbu dan Fahd meninggal, jadi situasi lain lagi," tutur Surono pada sejumlah wartawan di Gedung KONI, Kamis pekan lalu. Di Beijing, ketika pemungutan suara untuk mendepak Irak, Indonesia konon memilih abstain. Karena sikap ini, antara lain, Indonesia tak jadi dipilih. Namun, Sarengat membantah Indonesia abstain. "Suara Indonesia bukan abstain, kita memilih suara mayoritas," ujar bekas dokter pribadi Wapres ini. Toh Surono menilai kegagalan ini ada hikmahnya. "Kalau terpilih, apa kita bisa mencapai kedudukan dua terbaik seperti tahun 1962?" ujar Surono. Di bidang dana, nah, di sini boleh dikatakan KONI paling berhasil. "Kami tak mewariskan utang pada kepengurusan berikutnya. Malah, kami harus membayar utang masa kepengurusan sebelumnya," kata Surono. Pada Pekan Olahraga Nasional lalu, untuk pertama kalinya KONI menjual paket-paket PON pada sponsor, bekerja sama dengan Matari Advertising, yang ternyata bisa untung. Apa lagi yang perlu diperbaiki? M.F. Siregar, bekas Sekjer KONI dan bekas Staf Ahli Menpora, menunjuk kurang harmonisnya KONI-Menpora sebagai salah satu unsur macetnya pembinaan. Padahal Menpora, sesuai dengan keputusan Presiden, adalah aparat yang mengkoordinasikan peningkatan prestasi, dan KONI adalah alatnya. "Sekarang ini dialog antara kedua lembaga itu tak kedengaran," kata Siregar, dalam Seminar Olahraga Nasional yang diselenggarakan Siwo-PWI di Jakarta, Sabtu lalu. Siregar juga melihat KONI belum maksimal dalam menggali potensi, terutama di daerah. "Tugas pokok KONI adalah meningkatkan pembinaan olahraga, tak cuma menyusun rencana strategis saja," ujar Ketua Bidang Pembinaan PBSI ini menyindir. Sebagai salah satu bagian pembinaan, KONI harus membuat hubungan lebih serasi dengan induk organisasi, KONI daerah, dan perkumpulan. "Kantor Menpora juga harus lebih aktif bekerja, agar semua yang mendukung pembinaan bisa jalan," kata Siregar lagi. Untuk meningkatkan prestasi, Siregar melihat sudah saatnya lahir Pusat Pengembangan Prestasi Olahraga Indonesia. Badan ini nantinya akan mengkaji secara ilmiah prestasi olahraga. Untuk menambah tenaga pelatih, Siregar mengusulkan adanya Lembaga Pendidikan Olahraga. Ini semua bisa jalan, kalau pemerintah mau. "Kalau perlu, lahirkan Undang-Undang Pokok Olahraga," kata bekas Ketua PRSI ini. Toriq Hadad dan Liston P. Siregar (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini