LLEYTON Hewitt memang sudah menjadi nomor satu. Namun, itu belum cukup. Masih ada tugas yang harus segera dituntaskannya, yakni merebut Piala Davis—dalam final melawan tim Prancis. Di Rod Laver Arena, Melbourne, Australia, Jumat sampai Ahad pekan inilah publik Australia menunggu aksi pahlawan barunya itu.
Dalam final Piala Davis kali ini, selain mengandalkan Hewitt, Australia menurunkan Patrick Rafter, Wayne Arthurs, dan Todd Woodbridge. Sedangkan Prancis akan diperkuat Sebastien Grosjean, peringkat keenam dunia, Arnaud Clement, Nicolas Escude, dan Fabrice Santoro. Menilik formasi kedua tim, yang masing-masing diperkuat petenis papan atas, dipastikan pertarungan akan berlangsung menarik.
Piala Davis kali ini memang teramat penting bagi Hewitt. Bukan saja untuk menyempurnakan gelarnya, inilah kesempatan yang paling pas untuk mempersembahkan Piala Davis kepada negerinya. Tahun lalu, Hewitt, yang juga menjadi anggota tim Australia, gagal membawa negerinya mempertahankan gelar setelah dipeloroti tim Spanyol, 1-3, di Barcelona.
Dengan bekalnya sebagai petenis nomor satu, dia bersumpah akan merebut piala ini. Katanya, semua gelar yang diperoleh selama tahun ini tidak berarti bila ia gagal meraih Piala Davis. ”Sukses tahun ini akan lengkap dengan kemenangan di Piala Davis,” katanya (baca Hewitt pun Melejit).
Secara statistik, Australia memang lebih unggul. Pertemuan Australia-Prancis di Piala Davis sudah berlangsung 14 kali. Australia memimpin dengan skor 11-3. Terakhir, mereka bertemu di final Piala Davis dua tahun silam, yang diakhiri dengan kemenangan tim Kanguru, di Nice, Prancis.
Kemenangan itu pula yang menggenapkan gelar ke-27 yang diraih Australia. Sedangkan Prancis baru merebut piala ini 8 kali. Di ajang ini, Australia memang pernah menjadi jagoan, terutama pada 1950-1960. Dalam final kali ini pun Australia relatif lebih unggul. Pertama, mereka tampil sebagai tuan rumah.
Selain itu, dilihat dari materi pemain yang berlaga, praktis Australia sedikit lebih unggul. Dari tujuh kali pertemuan dengan Hewitt, Grosjean memang relatif lebih unggul. Ia baru dua kali kalah. Tapi jangan lupa, kali ini mereka bertempur di lapangan rumput, yang sangat disenangi Hewitt. ”Saya bisa main di lapangan rumput dengan baik,” kata Hewitt.
Satu hal yang tak boleh dilupakan, dalam pertemuan mereka terakhir di Piala Masters, Hewitt mengalahkan Sebastien Grosjean. Ini akan menjadi bekal penting dalam pertandingan di Melbourne. Begitu pula ketika turun melawan tunggal kedua, Arnaud Clement. Hewitt berhasil memenangi dua pertandingan sebelumnya.
Yang agak mengkhawatirkan adalah kondisi Patrick Rafter, tunggal kedua Australia. Ia baru saja pulih dari tendonitis pada lengan kanannya. Dan peradangan pada tangan yang dialami Rafter, bagaimanapun, akan mempengaruhinya saat melakukan servis voli dan menyulitkannnya ketika memukul bola-bola atas. Untuk kesembuhannya, Rafter sempat menjalani beberapa teknik pengobatan, termasuk akupunktur, kompres dengan es, dan pemijatan. Pemilihan Rafter sendiri lebih karena dia merupakan andalan bagi Australia di lapangan rumput, yang menjadi spesialisasinya. Rafter sempat dua kali menjadi juara Wimbledon.
Australia memang berada di atas angin. Tapi jangan lupa, seperti kejuaraan beregu lainnya, Piala Davis menyimpan misteri. Meski diperkuat petenis papan atas, itu bukan berarti langkah Australia akan mulus. Kenyataan pahit seperti itulah yang dialami tim Piala Davis Swedia saat tampil di final pada 1988 melawan Jerman Barat.
Swedia kala itu diperkuat petenis nomor satu Mats Wilander. Di luar dugaan, ia tak bisa berbuat banyak di tangan Carl-Uwe Steeb, peringkat 73 dunia. Wilander kalah. Bak petasan renceng, kemenangan Steeb itu kemudian melecut Boris Becker, yang turun di partai kedua, untuk memukul Stefan Edberg. Hasil akhirnya, Jerman Barat membalikkan keadaan. Mereka berhasil merebut Piala Davis.
Peristiwa semacam itu terjadi empat tahun sebelumnya. Saat itu, giliran Amerika Serikat yang apes. Padahal mereka memiliki materi pemain yang hebat: John McEnroe, peringkat satu dunia, dan Jimmy Connors, petenis peringkat dua. Toh, mereka tumbang di tangan Swedia. Nah, bila tak hati-hati, bukan mustahil impian Hewitt untuk melengkapi gelarnya tahun ini tak kesampaian.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini