SELEMBAR surat yang ditandatangani beberapa anggota Kongres Amerika Serikat melayang ke Istana Merdeka, Jakarta, 21 November lalu. Surat yang diawali dengan "Dear President Megawati Sukarnoputri" ini berisi keprihatinan anggota parlemen AS itu atas meninggalnya Ketua Presidium Dewan Papua (PDP), Theys Hiyo Eluay. Tapi, yang lebih penting lagi, surat tersebut berisi kekhawatiran Kongres tentang cara meninggal Theys yang mencurigakan, yang bisa menjadi ancaman serius bagi upaya penyelesaian konflik damai di Papua.
Untuk itu, mereka menyarankan agar pemerintah Indonesia membentuk tim independen guna menyelidiki kematian Theys. Tim ter-sebut harus kredibel dan efektif, yang me-libatkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan ahli masalah hak asasi manusia dunia. "Kami paham bahwa Anda sudah menunjuk aparat untuk menyelesaikan masalah itu. Tapi, bila hasilnya ingin dinilai punya kredibilitas, tim independen dibutuhkan," demikian ditandaskan dalam surat tersebut.
Selain dari Kongres AS, tuntutan membentuk tim independen untuk menyelidiki kematian Theys juga datang dari berbagai kalangan di Papua, terutama dari para aktivis hak asasi manusia. "Tim independen ini vital karena secara de facto masyarakat Papua sudah tidak percaya pada aparat," kata Bruder Budi Hernawan, tokoh keagamaan dari Biara Santo Franciscus, Jayapura. Bruder yang sudah empat tahun tinggal di Papua ini sangat prihatin dengan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di sana.
Lalu, mengapa latar belakang kematian Theys penting benar untuk diungkap? Menurut Muridan S. Widjojo, pakar masalah Papua, Theys adalah sosok yang penting dalam gerakan Papua merdeka. Bendera Papua, Bintang Kejora, pertama kali dikibarkan secara terbuka di halaman rumah Theys di Sentani pada 1999. Dan Theys adalah tokoh yang bisa diterima oleh berbagai kelompok dalam Panel Papua, seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Tentara Pembebasan Papua.
Theys, yang juga kepala suku Sentani, ibarat seorang bapak sekaligus pemimpin bagi masyarakat Papua. Orang Papua sangat menghormati pemimpin mereka. "Apalagi, meskipun Theys bisa akrab dengan banyak pihak termasuk militer, prinsipnya tetap kukuh, yaitu Papua merdeka," kata Muridan, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Jadi, kejelasan kasus kematian Theys sangat signifikan untuk masa depan Papua. Bila tidak terungkap, itu akan semakin mengobarkan semangat perlawanan dari gerakan Papua merdeka. Tapi, menurut Muridan, karena gerakan Papua merdeka belum memiliki ideologi dan strategi yang jelas, yang lebih menjadi ancaman serius adalah hubungan Papua dengan Jakarta. "Kebuntuan politik itulah yang berbahaya."
Lagi pula, Theys jelas bukan satu-satunya korban di Papua yang belum jelas siapa yang harus bertanggung jawab atas kematiannya. Sejarah di Irianjaya sudah terlalu banyak diwarnai dengan pembunuhan dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Kasus ter-bunuhnya tokoh Papua seperti Willem Onde dan Hans Bonay juga masih gelap hingga kini.
Nah, mampukah pihak polisi menuntaskan penyelidikan atas kematian Theys sampai tuntas? Banyak pihak meragukan hal itu. Sebab, sejak Theys ditemukan meninggal di dalam mobil Kijang-nya di kawasan Koya Tengah—sekitar dua jam perjalanan bermobil dari Jayapura—dua pekan silam, belum ada hasil yang mengarah ke titik terang.
Polisi memang menyatakan ada sejumlah kemajuan dalam penyelidikan. Menurut Kapolda Papua, Irjen Pol. I Made Mangku Pastika, kejelasan identitas pelakunya sekitar 60 persen. Tapi tidak ada pengungkapan lebih lanjut.
"Polisi memang seperti terbentur tembok," kata seorang sumber TEMPO yang tahu kesulitan pihak kepolisan. Sebab, polisi tidak bisa meneruskan penyelidikan bila itu sudah memasuki wilayah TNI atau Kopassus.
Lalu, masih bermunculan sederet misteri baru. Pasca-meninggalnya Theys, telah terjadi teror atas orang-orang PDP dan aktivis hak asasi manusia yang punya perhatian terhadap masalah Theys. Menurut sumber TEMPO, telah terjadi penyadapan telepon dan penguntitan oleh pihak yang tidak jelas. Ancaman seperti itu juga menimpa para saksi penting kematian Theys. "Hingga pihak polisi merasa kesulitan dalam melindungi para saksi itu," kata sumber TEMPO tersebut.
Kasus ini seperti semakin masuk ke labirin dengan adanya pernyataan Kontras, Jumat lalu (23 November). Disebutkan bahwa kematian Theys adalah bagian dari operasi tertutup pemerintah pusat. Kesimpulan itu didasarkan pada sebuah dokumen yang ditemukan Kontras tiga pekan lalu. Dokumen dimaksud berisi hasil rapat koordinasi dari beberapa lembaga pemerintah yang khusus membahas masalah Papua pasca-Kongres Rakyat Papua. Intinya, orang-orang Papua yang loyal pada pemerintah pusat akan difasilitasi. Tapi yang dianggap berbahaya akan ditindak secara represif.
Menurut Ori Rahman dari Kontras, ada sekitar 20 nama dalam dokumen itu, yang antara lain terdiri dari orang-orang PDP. Dan nama Theys, Willem, serta Hans—ketiganya sudah meninggal—ada dalam dokumen itu. "Kami akan berkirim surat ke Departemen Dalam Negeri untuk mengonfirmasi dokumen ini," kata Ori.
Apabila benar dampak kematian Theys memiliki tentakel hingga ke pusat pemerintahan di Jakarta, penyelidikan yang dilakukan polisi tidak akan tuntas dan kredibel. Untuk itu, tim independen yang benar-benar kuat adalah satu-satunya cara untuk mengungkap kebenaran di balik kematian Theys.
Apalagi, Presiden Megawati berencana berkunjung ke Irianjaya pada Desember men-datang. Agak sulit membayangkan Mega hanya datang, tanpa memiliki jawaban dan membawa keadilan bagi Papua.
Bina Bektiati, Wenseslaus Manggut, Syarifuddin (Jayapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini