NIAT Kejaksaan Agung untuk menuntaskan perkara dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 40 miliar yang diterima Akbar Tandjung semakin diragukan orang banyak.
Jangankan menjadikan Akbar sebagi tersangka, kejaksaan malah terkesan berputar-putar memeriksa saksi-saksi yang kurang prioritasnya dalam upaya pembongkaran kasus ini.
B.J. Habibie, mantan Presiden RI, boleh-boleh saja diperiksa, tapi bukankah sekarang ini lebih penting memeriksa mereka yang pernah melihat langsung Akbar menerima cek Bulog? Bukankah lebih penting memanggil mereka yang melihat adanya kuitansi asli tanda terima dari bendahara dan wakil bendahara Golkar?
Seperti telah diberitakan, pada 2 Maret 1999—tiga bulan sebelum pemilu—Ahmad Ruskandar, Deputi Keuangan Bulog, atas perintah Kepala Bulog Rahardi Ramelan, menyerahkan dua lembar cek bernilai total Rp 20 miliar kepada Akbar Tandjung, Menteri-Sekretaris Negara waktu itu. Ruskandar datang bersama seorang pengusaha rekanan Bulog yang belakangan disebut-sebut bernama Ishadi. Dana itu kabarnya dipinjam pemerintah dari Bulog untuk berbagai proyek pengentasan kemiskinan, misalnya bantuan sembilan bahan pokok (sembako), dan akan dibayar pemerintah dalam anggaran tahun berikutnya.
Itu tahap pertama. Pada tahap kedua, Ruskandar datang lagi pada 20 April 1999 bersama seorang staf Bulog untuk menyerahkan Rp 20 miliar dalam bentuk delapan lembar cek.
Sampai di sini, cerita bercabang dua. Akbar Tandjung mulanya mengaku lupa tentang ke mana larinya dana. Kemudian ia "mendadak ingat" sudah menyalurkannya kepada sebuah yayasan yang ia lupa namanya karena "sukar diingat". Di kejaksaan, Akbar baru menyebut bahwa yayasan itu adalah Raudatul Jannah. Bahkan Akbar mengaku tak pernah menyentuh cek Bulog yang diletakkan di atas meja kerjanya sebelum "diterima" pengurus Yayasan Raudatul Jannah. Pengurus Raudatul-lah yang mengeluarkan tanda terima.
Tapi investigasi TEMPO menemukan fotokopi kuitansi yang diteken Fadel Muhammad dan M.S. Hidayat sebagai bendahara dan wakil bendahara Golkar. Artinya, dana itu masuk kas Golkar dan bukan ke yayasan. Ini mengindikasikan bahwa cerita yayasan itu hanyalah upaya untuk mengalihkan mata publik dari Golkar. Upaya menabur "asap pekat" itu harus Golkar lakukan karena undang-undang bisa melarang partai bentukan Orde Baru ini ikut Pemilu 2004 atau bahkan dibubarkan bila terbukti menerima sumbangan sebuah institusi di atas Rp 150 juta.
Indikasi bahwa dana Rp 40 miliar itu dipakai Golkar makin meyakinkan ketika tak satu pun daerah yang ditunjuk sebagai sasaran operasi sembako Raudatul Jannah mengetahui adanya yayasan itu. Di Jakarta, di perumahan tempat Dadang Sukandar, pemimpin Raudatul, pernah tinggal, memang ada Yayasan Raudatul Jannah. Tapi ini hanya sebuah yayasan yang mengurus kematian, yang asetnya cuma ambulans tua dan beberapa kursi lipat.
Intinya: belum ada bukti yang meyakinkan bahwa yayasan ini pernah menyalurkan sembako yang jumlahnya luar biasa besar itu.
Maka seharusnya fokus kerja Kejaksaan Agung sekarang ini adalah mencari tahu siapa saja yang pernah melihat kuitansi asli yang ditandatangani bendahara Golkar tadi.
Kalau mau, seharusnya ini sederhana sekali. Sebab, setidaknya ada lebih dari satu orang di luar Ahmad Ruskandar yang pernah menyaksikan kuitansi asli itu. Salah satunya tentulah pengusaha rekanan Bulog yang datang bersama Ruskandar pada 2 Maret 1999 tadi. Yang juga pasti tahu adalah para staf Bulog yang kabarnya lama menyimpan kuitansi asli itu
Pada titik inilah Kejaksaan Agung diuji: apakah lembaga yang banyak disorot itu mau menggulirkan perkara ini atau malah menyetopnya. Seandainya kejaksaan berhasil menemukan dua orang saja yang pernah melihat kuitansi asli tanda terima dana Bulog, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dua orang itu bisa menjadi "bukti permulaan yang cukup" untuk menduga Akbar Tandjung melakukan tindak pidana. Dua orang itu cukup untuk menetapkan Akbar sebagai tersangka.
Kalaupun mencari saksi itu sulit, Kejaksaan Agung punya cara yang lain: telusuri saja aliran dana dari cek cash Bulog yang dikeluarkan oleh Bank Exim dan Bank Bukopin. Kejaksaan dimungkinkan oleh undang-undang perbankan untuk mengharuskan Bank Indonesia (memerintahkan kepada Exim dan Bukopin) membuka aliran dana ini. Bukankah langsung ketahuan ditransfer ke mana dan kepada siapa uang itu?
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Bachtiar Fachri Nasution mengatakan duit seraksasa itu diambil cash dari bank dengan KTP palsu. Yang percaya "skenario KTP palsu" ini pasti sangat melecehkan sistem pengamanan di kedua bank tadi. Bank-bank itu dianggap begitu bobroknya sampai mudah saja melepas uang begitu besar dan dikibuli pula dengan KTP palsu. Dan mereka yang percaya skenario ini juga sangat yakin bahwa otak kita semua begitu tumpulnya untuk percaya saja kepada "igauan" semacam ini.
Dengan penyelesaian jalur hukum "serawan" ini, penyelesaian jalur politik mutlak dibutuhkan. Pembentukan panitia khusus Buloggate II—tentu yang bekerja secara transparan—sudah menjadi keharusan bila kita tak ingin masyarakat makin tidak percaya kepada hukum di negeri ini. Pekan lalu, pansus Buloggate II gagal diagendakan DPR, tapi semoga benar bahwa itu cuma urusan "teknis administrasi".
Pekan ini, soal pansus dibicarakan lagi di DPR. Seharusnya Partai Golkarlah yang menjadi motor dibentuknya pansus. Bukankah itu penting untuk membuktikan bahwa Partai Golkar sekarang ini benar-benar berbeda dengan Golkar yang dibesarkan Soeharto dulu? Apalagi jika diingat bahwa PDI Perjuangan, pemilik kursi terbanyak, menurut Wakil Sekjen PDIP Pramono Anung, mayoritas anggotanya di Senayan sudah setuju pansus Buloggate II dibentuk.
Lagi pula, jika Akbar Tandjung memang berkata benar selama ini, namanya akan "dibersihkan" di sana. Jadi, mengapa Partai Golkar menolak terbentuknya pansus?
Mudah-mudahan bukan karena merasa tak yakin terhadap kejujuran ketua umumnya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini