Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Wadah buat pembangkang?

Bertolak dari kasus yustejo tarik, para atlet menganggap perlu adanya wadah persatuan bagi para atlet. pernah dibentuk koraga, 1976, yang kemudian di bubarkan oleh bakin dan kapolri. (or)

10 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KASUS Yustedjo Tarik bagaikan bola masih terus menggelinding. Petenis yang ringan lidah dan kocak itu membuka mulut lagi begitu mendengar Tim Piala Davis Indonesia rontok 1-4 di tangan Pakistan, dalam penyisihan zone Asia yang berakhir di Rawalpindi 4 Maret. "Saya sunguh malu mendengar kekalahan itu. Sebab, selama ini kita tidak pernah dikalahkan Pakistan," ujarnya kepada wartawan. Dengan ngledek dia menyebutkan, kalau pertandingan bisa diulang, dia berduaan dengan Atet Wiyono saja sudah cukup untuk menyisihkan Pakistan. Atet adalah teman sepenanggungannya ketika ia dihadang di Halim dan dilarang terbang ke Bangkok pertengahan Februari. Larangan Pelti untuk melatih di-smash Yustedjo dengan terus ngeloyor melatih di lapangan tenis Pulomas dan Senayan. Belum terdengar suara protes ataupun simpati dari atlet cabang olah raga lain terhadap nasib Yustedjo yang dibanting induk organisasinya itu. Tetapi kecemasan bukan tak ada. "Apa yang dialami Yustedjo pasti bisa terjadi juga pada atlet cabang lain," ujar Ronny Pattinasarani, kepada Kompas. Ronny adalah gelandang tangguh yang pernah kena skors tahun 1977. Menurut otak serangan Tunas Inti itu, kasus Yustedjo menjadi hingar-bingar karena tidak adanya wadah persatuan para atlet, baik di tiap-tiap cabang maupun secara keseluruhan. "Akibatnya, kalau ada atlet yang merasa dirugikan, paling-paling mereka lari ke wartawan. Nah, kalau sudah begitu, mana bisa ditahan untuk tidak ribut di luar dari rumahtangga organisasi sendiri," tuturnya. Ronny menganggap bahwa wadah persatuan itu penting, terutama dalam menghadapi perlakuan tidak semena-mena. Sebab, dia memperoleh kesan, selama ini kalau ada ribut-ribut soal atlet, KONI langsung cenderung berpihak pada pengurus besar suatu cabang olah raga. Karena itu, Ronny ingin memancing sambutan rekan-rekannya untuk membentuk wadah atlet. Wadah yang dicita-citakan Ronny Pattinasarani itu sebenarnya sudah pernah tampil tahun 1976. Koraga (Korps Olahragawan Seluruh Indonesia) - yang diprakarsai Tinton Suprapto (balap mobil), Syamsul Anwar (tinju), Guus Tirajoh (atletik), Usman Nasution (angkat besi), dan Wahyu Wahdini (balap sepeda) - ketika itu dibentuk sebagai wadah atlet melakukan tukar pendapat. Tetapi waktu itu, sebagaimana diceritakan Tinton Suprapto, organisasi itu dituduh menjadi organisasi bayangan KONI. "Dan pada waktu itu juga KONI meminta kepada Bakin dan Kapolri untuk membubarkan Koraga," kata Syamsul Anwar kepada wartawan TEMPO, Rudy Novrianto. Menurut petinju yang pernah disegani di Asia itu, KONI menentang berdirinya Koraga karena "terlalu memikirkan masa depan atlet. Jadi, sudah menuju profesionalisme." Syamsul mengakui, wadah atlet itu memang akan membicarakan kehidupan sosial para atlet. Tapi tujuannya bukan itu saja, melainkan juga membicarakan masalah pembinaan. Dia menyebutkan, pembangkangan Yustedjo terhadap seleksi nasional merupakan salah satu bentuk protes terhadap sistem pembinaan yang tidak mau menggubris pandangan si atlet. Menurut Tinton, "Kasus Yustedjo ini ibarat bisul yang sudah masak dan meledak." Syamsul bertekad untuk membangun wadah atlet itu kembali. Dan itu sebenarnya sesuatu yang sah. Sebab, sebagaimana yang diutarakan P. Soemarsono, Ketua Bidang Organisasi dan Hubungan Luar Negeri KONI Pusat, IOC sendiri memperkenankan terbentuknya players association. Di sini organisasi seperti itu boleh saja berdiri. Dan, menurut dia, satu-satunya kesalahan pemrakarsa Koraga tempo hari, "tidak pernah mengajukannya secara resmi ke KONI". Sementara itu, D. Suprayogi, Ketua Harian KONI Pusat mengatakan, "Saya sih setuju saja kalau ada ide untuk membentuk wadah bagi atlet nasional. Tapi wadah itu benar-benar dipergunakan untuk tempat bertukar pikiran. Dan tidak untuk memikirkan kesejahteraan sosial atlet." Kalau begitu, alan sudah terbuka untuk Syamsul dan kawan-kawan. Dan yang paling menari-nari menyambut itu adalah para atlet sendiri. "Tidak ada jeleknya kalau dibentuk wadah atlet nasional. Apalagi kalau dalam wadah itu juga akan diperhatikan masa depan sang atlet. Sebab, selama ini, pengurus besar saja tidak pernah bisa memikirkan hal itu," kata pemain bulu tangkis paling top sekarang ini, Liem Swie King. Barangkali yang agak sulit buat Ronny, Tinton, dan Syamsul untuk menggolkan harapan mereka adalah hampir semua atlet akan menjadikan wadah itu sebagai tempat membicarakan masalah periuk nasi. Hal yang tampaknya haram buat KONI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus