TIDAK semua fakta bisa dibeberkan di depan kelas, agaknya. Ini pengalaman Agus Salim, guru Ilmu Pendidikan di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri, Slawi, Jawa Tengah. Ia terpaksa berurusan dengan Pengadilan Negeri Slawi, dan 29 Februari lalu perkaranya disidangkan untuk keempat kalinya. Pak Guru dituduh melakukan tindak pidana penghinaan terhadap presiden, melanggar KUHP pasal 134. Kisah berawal dari Februari 1983, ketika Agus Salim datang di kota Teh Botol itu karena diangkat menjadi guru di SPG tadi. Sebagaimana biasanya, Agus, alumnus Jurusan Administrasi Pendidikan IKIP Negeri Jakarta, diminta Kepala SPG Slawi untuk memperkenalkan diri kepada semua murid. Di 18 kelas SPG itu, Agus, 29, tak hanya memperkenalkan nama, umur, dan pendidikan. Tapi, dan ini memang diminta para siswa, ia juga berkisah tentang pengalaman-pengalamannya. "Ya, saya ceritakan semasa saya mengalami gerakan mahasiswa pada tahun 1978 dulu," tutur Agus kepada TEMPO. Waktu itu, ia menjadi anggota Senat Mahasiswa IKIP Jakarta. Kebetulan, tahun Sidang Umum MPR itu memang ramai. Mahasiswa, tak hanya dari IKIP, memberikan tanggapan terhadap sidang MPR kala itu dengan pernyataan yang agak panas. Secara terus-terang, itu semua diceritakan Agus kepada murid-murid SPG Slawi. Antara lain dituturkannya bahwa waktu itu ada mahasiswa yang menjelek-jelekkan Presiden. Dan Sidang Umum MPR dicurigai para mahasiswa sebagai sidang sandiwara. "Tapi itu semua tak saya komentari apa-apa," katanya. Dengan kata lain, Agus sekadar menceritakan fakta. Itu pun, seingat dia, hanya diceritakan di dua kelas - III A dan III F - di kelas itulah ada siswa menanyakan pengalamannya semasa mahasiswa. Tapi di telinga Suhano, waktu itu duduk di kelas III A, cerita Agus ditangkapnya sebagai pendapat Pak Guru sendiri. "Pak Agus keterlaluan, menjelek-jelekkan Presiden Soeharto, dan Sidang Umum MPR disebutnya sandiwara," kata Suhano, yang kini guru SD Grobog Kulon III, Tegal. Siswa yang lain, Ratisno, di kelas III F, lain lagi ceritanya. Seingat dia, Pak Guru Agus mengatakan Pancasila itu baru merupakan teori. Baik Suhano maupun Ratisno, kepada TEMPO berpendapat bahwa Agus Salim, kelahiran Flores, tak pantas jadi guru. Kata kedua bekas siswa SPG itu, guru baru itu membolehkan siswa makan dan merokok di dalam kelas. Dan selain cerita gerakan mahasiswa 1978, ia pun bercerita soal pribadi yakni pacarannya dengan 20 gadis. Tapi waktu itu Suhano dan Ratisno hanya menyimpan dalam hati cerita yang mereka dengar itu. Mungkin karena mereka mencurahkan perhatian untuk EBTA yang memang sudah dekat. Begitu selesai EBTA. April 1983, kedua siswa itu menemui Suproni dan Karyoto - dua guru SPG Slawi pembina OSIS. Singkat kata, kedua siswa menceritakan semua yang dituturkan Agus Salim sewaktu perkenalan Februari 1983 itu. Kemudian, Suproni dan Karyoto mengumpulkan informasi tak hanya dari dua siswa itu, untuk mengecek kebenaran cerita dua siswa tadi. Secara acak diambil tujuh siswa dari tiap kelas. Mereka diminta menjawab pernyataan yang disusun kedua guru itu, yang mereka buat berdasarkan penuturan Suhano dan Ratisno. Melihat hasilnya yang senada, Mohari, Kepala SPG itu, melaporkan ikhwal Agus Salim ke Kantor Departemen P & K Tegal. Lalu, tanpa mengecek seberapa jauh kebenaran laporan kepala SPG itu, Imam Sudjaki, Kepala Kantor Departemen P & K Tegal, meneruskan laporan itu ke Kanwil Departemen P & K Jawa Tengah. Akhirnya, Laksusda Jawa Tengah turun tangan. Agus, 13 Mei 1983 malam, dijemput petugas. Tapi setelah ia ditahan 8 bulan, baru Januari 1984 perkaranya dibawa ke Pengadilan Negeri Tegal di Slawi. "Saya tidak habis mengerti, akhirnya sampai menjadi perkara," kata Agus Salim sebelum sidang pekan lalu dimulai. Tentang Pancasila itu, ia memberikan komentar. "Justru, waktu itu saya berpesan kepada murid-murid, amalkan Pancasila dengan konsekuen," katanya. Perkara merokok dan makan di dalam kelas, bapak seorang anak ini merasa tak pernah memberikan izin. Di depan majelis hakim, Agus yang didampingi pembela mengakui bahwa ia memang bercerita tentang peristiwa 1978. Tapi sekadar menceritakan fakta, tanpa maksud negatif. Ia kini tahu kekurangannya kala itu, yakni ia tidak memberikan kesimpulan atas peristiwa enam tahun lalu itu. "Saya mengaku salah, mohon maaf," katanya. Agaknya, seperti dinyatakan Agus, "Ada kekeliruan pemahaman dari siswa terhadap cerita saya." Bagi beberapa guru, terutama guru Pendidikan Moral Pancasila, soal seperti yang terjadi pada Agus sebenarnya dihadapinya sehari-hari. Yakni, seberapa jauh seorang guru boleh berterus-terang menceritakan peristiwa yang sedikit banyak menyangkut nama pemerintah. Menurut Wiyono, Wakil Kepala SPG Slawi, sebenarnya menceritakan fakta itu penting. "Tapi kepada siswa perlu di beritahu mana yang jelek, mana yang baik ditiru," katanya. Ia menolak ketika diminta memberikan komentar terhadap kasus Agus. Suroto, guru PMP SMA Negeri I Slawi, lain lagi sikapnya. "Saya membatasi pertanyaan," katanya. "Bisa repot berbicara kepada murid-murid satu kelas, 'kan pemahaman mereka berbeda-beda." Tampaknya, untuk membeberkan sekadar fakta pun harus pilih-pilih. Agus Salim, "guru yang baik, bisa menenangkan kelas tanpa siswa merasa takut kepadanya," tutur Suhano, mudah-mudahan tidak harus menanggung akibat kesalahpahaman muridnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini