KIM HOCK, artinya "rezeki emas", dihukum Pengadilan Negeri Pematangsiantar: Perusahaan itu diminta memberangus bungkus-bungkus teh Cap Teko dan dilarang memasarkan teh yang diproduksikannya dengan merk itu. Masih lagi diharuskan membayar ganti rugi kepada lawannya, UD Hormat, sebesar Rp 25 juta. Perkara dua perusahaan bubuk teh itu yang diputus 28 Februari lalu, berpangkai dari persaingan dagang. Keduanya samasama menggunakan merk Cap Teko dan memasarkannya di daerah yang sama: Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Mula-mula, bersaing soal harga. Alex Zaminda, pemilik Hormat yang mengaku setiap bulan memasarkan 10 ton bubuk teh, menuduh Kim Hock menjegal harga dengan cara selalu menurunkan harga jual. Budi Costan, pemilik Kim Hock, menyatakan sebaliknya. Katanya, sejak Hormat muncul dengan Cap Teko, usahanya jadi mengkeret sampai tinggal 40%. Kedua-duanya lalu membawa perkara mereka ke pengadilan. Hakim Huzaifah Parlindungan, Ketua Pengadilan Negeri Pematangsiantar, yang berkenan memimpin sidang sendiri, mulai menelusuri perkara dengan pertanyaan: siapa pemakai pertama Cap Teko itu. Pengacara Umar Witarsa, wakil Kim Hock, kontan menyatakan keberatannya. Sengketa merk, katanya, menurut undang-undang, hanya boleh diurus Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hakim menolak bantahan itu. Perkara yang diurusnya, kata Parlindungan, bukan perkara penolakan hak paten. Sejarah Cap Teko tergelar - agak kisruh. Menurut yang satu, Cap Teko sudah dipakai Kim Hock sejak 1926, merupakan warisan Tan Tai Ke. Katanya, ada bukti pembayaran pajaknya. Kim Hock mengajukan saksi, Zainuddin Harahap, yang menyatakan bahwa percetakannya telah mencetak label bubuk teh Kim Hock dengan Cap Teko. Sedang Hormat, katanya, membeli Cap Teko seharga Rp 100.000 dari Tjan Tjan Boh, pengusaha teh dari Cirebon, pada 1980. Cap dan merk itu terdaftar pada Kantor Milik Perindustrian Kementerian Kehakiman 1948, di bawah no. 3703. Lalu, berturut-turut pendaftaran itu diperbarui pada 1968, 1976, dan paling akhir didaftarkan kembali oleh Alex setelah dia membelinya - pada Direktorat Paten & Hak Cipta. Ternyata, pengadilan meragukan keterangan Kim Hock, dengan berbagai pertimbangan, akhirnya, Majelis berkesimpulan bahwa Kim Hock melakukan persaingan curang. Kim Hock naik banding. Pengacaranya, Umar, tetap berpendapat bahwa untuk soal merk yang dianut adalah asas "siapa pemakai pertama". Memang begitu. Bahkan pernah terjadi, 1972, pemilik merk Tancho asli dari Jepang pun kalah beperkara. Soalnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat lebih percaya bahwa Wong A Kiong adalah pemakai pertama merk itu di Indonesia (TEMPO, 22 Juli 1972).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini