MENIT ke-65, keajaiban itu terjadi. Theodoros Zagorakis menusuk sisi kiri pertahanan Prancis. Kapten tim Yunani itu lantas melambungkan bola dari kakinya, crossing melewati kiper Fabien Barthez. Tanpa menunggu waktu, kepala Angelos Charisteas menyambut bola. Gol tunggal itu lahir. Keajaiban datang mengikutinya.
Hari itu, Jumat waktu setempat, Stadion Jose Alvade jadi saksi tumbangnya sang juara bertahan Prancis. Pasukan ?anak bawang? Yunani menaklukkan mereka 1-0 pada perempat final Piala Eropa 2004. Zinedine Zidane harus pulang kampung lebih awal. Ramalan dan pasar taruhan jungkir balik.
Euro 2004 makin mengukuhkan diri sebagai kejuaraan paling kejam, bahkan dibandingkan dengan Piala Dunia Jepang-Korea. Para jawara hancur di babak penyisihan. Jerman, Italia, dan Spanyol, tak berhasil keluar dari babak penyisihan grup. Lalu di babak delapan besar, raksasa Inggris terusir oleh Portugal lewat adu penalti. Yang terbaru, ya, nasib Prancis. Mungkin negeri parfum dan anggur itu ?kualat? karena telah berani melawan negeri para dewa. Jelas saja Dewi Fortuna yang berasal dari Yunani itu tidak mau berpihak kepada lawannya.
Yunani tidak salah lagi merupakan tim yang paling mengejutkan kali ini. Di babak penyisihan Grup A, mereka menyingkirkan Spanyol. Keajaiban bahkan sudah terjadi sejak partai pembuka Piala Eropa 2004. Yunani mengalahkan tuan rumah sekaligus salah satu kandidat utama juara, Portugal, 2-1.
Jadi, saat menghadapi Prancis, amunisi kepercayaan diri Yunani sangat banyak. ?Kami turun bertanding untuk kenikmatan kami sendiri, bermain dengan gembira untuk menghasilkan yang terbaik, sehingga seluruh rakyat Yunani dapat mengatakan bahwa kami bertarung selayaknya seorang pahlawan,? pelatih Yunani Otto Rehhagel mengungkapkan falsafahnya sehari sebelum lawan Prancis.
Lolos dari penyisihan grup sebenarnya sudah anugerah bagi rakyat Yunani. Sekarang malah ditambah lolos ke semifinal, bahkan mungkin ke final. Ini catatan sejarah teramat penting bagi mereka. Bayangkan, sebelum ini Yunani hanya pernah dua kali ikut kejuaraan besar: Piala Eropa 1980 dan Piala Dunia 1994. Di kedua ajang itu mereka rontok pada babak pertama dan pulang tanpa satu kemenangan pun. Jangankan kemenangan, satu nilai pun tidak dapat mereka raih.
Pada tahun 2001, ?King Otto? datang dari Jerman untuk membangkitkan prestasi ?Negeri Dewa?. Rehhagel, yang telah beroleh banyak gelar di Liga Jerman bersama Werder Bremen dan Kaiserslautern itu, merombak mentalitas indisipliner bakat-bakat besar Yunani. Ia menyuntikkan kedisplinan ke dalam permainan dan perilaku para pemainnya. Dan sekarang prestasi mulai bisa dituai.
Denmark pernah melakukan hal luar biasa pada Piala Eropa 1992. Mereka sebenarnya tidak lolos pra-kualifikasi dan tak berhak ke putaran final di Swedia. Sungguh beruntung mereka, Yugoslavia yang berstatus juara pra-kualifikasi Grup 4 terlibat perang saudara. Panitia akhirnya menunjuk Denmark untuk menggantikan posisi Yugoslavia. Tanpa beban, Denmark malah juara dengan mengalahkan Jerman 2-0 di final.
Untuk bisa ?seajaib? Denmark, Yunani harus melewati dua ujian lagi: semifinal dan final. Yang pertama bakal digelar Kamis dini hari waktu Indonesia barat, yang kedua Senin depan. Calon lawan Yunani pada semifinal adalah pemenang pertandingan antara Republik Cek dan Denmark. Sampai tulisan ini dibuat, Cek-Denmark be-lum bertanding.
Siapa pun calon lawan Yunani di semifinal, keduanya tim berat. Cek satu-satunya kesebelasan yang beroleh nilai sempurna sepanjang babak penyisihan grup. Mereka tiga kali menang terus. Latvia digasak 2-1, Belanda dihantam 3-2, Jerman dipermalukan 2-1. Ketika melawan Jerman, Cek bahkan hanya turun dengan sebagian besar pemain cadangan.
Apa kiat kekuatan Cek? ?Saya malah tak tahu kalau dibilang kami punya rahasia sukses,? kata pelatih Cek, Karel Bruckner, heran sendiri. ?Ini bukan semacam resep membuat kue. Saya hanya sekadar membangun tim, itu saja.? Yang jelas, pilar-pilar utama Cek adalah alumni Piala Eropa 1996, saat itu mereka jadi runner up. Pavel Nedved, Karel Poborsky, atau Jan Koller masih selincah delapan tahun lalu. Belum lagi tambahan darah muda berbakat besar macam Milan Baros dan Tomas Rosicky.
Sementara itu, Denmark berisikan pemain yang menyebar di berbagai liga besar Eropa. Bintang-bintang mereka main di Liga Inggris, Jerman, Italia, dan Belanda. Tentu saja Liga Denmark sendiri. Ada Jon Dahl Tomasson, Jesper Gronkjaer, Ebbe Sand, pula Thomas Helveg. Dengan itu mereka menahan Italia 0-0, menggilas Bulgaria 2-0, dan seri 2-2 lawan Swedia.
Swedia adalah kekuatan yang harus dicermati oleh setiap lawannya. Mereka menggodam Bulgaria 5-0, menahan Italia 0-0, dan seri lawan Denmark. Peruntungan mereka lolos ke semifinal diuji Belanda, Ahad dini hari kemarin.
Bila Yunani membuat ?keajaiban?, Belanda bisa disebut penikmat dampak ?keajaiban?. Di babak penyisihan Grup D, Belanda berada dalam ?nerakanya? Piala Eropa 2004. Pada partai pertama sudah harus bertanding dengan musuh bebuyutan sekaligus negeri tetangga sendiri, Jerman. Lewat pertarungan ketat, partai itu berakhir 1-1. Selanjutnya, tim asuhan Dick Advocaat ini digulung Cek 2-3. Saat itu Cek sudah memastikan lolos dari Grup D dengan nilai empat. Jerman sudah punya nilai dua. Sisanya, Belanda dan Latvia sama-sama berpoin satu. Pada partai terakhir, Belanda menggulung Latvia 3-0. Kemenangan besar ini tak akan berpengaruh apa-apa bila Jerman menang lawan Cek. Di sinilah keajaiban Cek muncul. Dengan tim cadangan, mereka menang atas Jerman. Belanda pun lolos.
Media massa Belanda menggunakan kosakata bahasa Jerman untuk menyebut peristiwa itu: wunderbar. Kata pujian terhadap Cek sekaligus ejekan buat Jerman. Kata itu berarti ?keajaiban?.
Pemenang partai perempat final antara Swedia dan Denmark bakal bertemu Portugal di semifinal. Sebagai tuan rumah, Portugal punya cara tersendiri untuk membangkitkan semangat. Mereka punya suporter yang selalu bernyanyi, dan seorang pelatih bertangan dingin dari Brasil bernama Luiz Felipe Scolari.
Portugal mengalahkan Inggris di perempat final dengan susah payah. Sejak menit kelima, Ing-gris unggul 1-0 le-wat tendangan Mi-chael Owen. Hari itu Stadion da Luz, Lisabon, yang berarti ?Stadion Cahaya?, hampir menjadi ?Stadion Kematian? bagi tim nasional Portugal.
Scolari memunculkan tangan dinginnya. Pada pertengahan babak kedua ia memasukkan Helder Postiga, Rui Costa, dan Sabrosa Simao, menarik keluar pemain termasuk Cristiano Ronaldo dan Luis Figo. ?Big Phil??julukan Scolari?praktis mengubah pola 4-4-2 menjadi super-ofensif, 2-4-4. Hasilnya, Postiga mencetak gol untuk menyamakan kedudukan pada menit ke-83. Saat perpanjangan waktu, Costa mencetak gol tambahan, sayangnya Frank Lampard, gelandang Inggris, ganti menyamakan kedudukan. Adu penalti akhirnya dimenangkan Portugal 6-5.
?Anda boleh mengatakan saya beruntung, tapi dengan itu saya telah mengoleksi 16 gelar kejuaraan,? kata Scolari usai pertandingan tegang itu. Yang ia maksud adalah pialanya yang berjajar saat melatih Gremio, Palmeiras, dan yang jelas juara Piala Dunia 2002 bersama Brasil.
Cek mengaku tak punya rahasia sukses, Belanda memiliki wunderbar, dan Scolari selalu beruntung. Siapa juaranya? Itu akan ditentukan Senin depan di Stadion da Luz. Di tempat ini, Jumat lalu, Scolari telah membuktikan bahwa keberuntungannya lebih besar daripada Sven Goran Eriksson, pelatih Inggris. Namun jangan lupakan Yunani yang selalu gembira dan bermain layaknya pahlawan para dewa.
Andy Marhaendra (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini