Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Seorang Pengagum Bung Karno

Supeni, tokoh nasionalis dan tokoh pergerakan perempuan pada masa kemerdekaan, tutup usia. Meninggalkan catatan sejarah pergolakan politik Indonesia.

28 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LUKISAN Bung Karno memegang tongkat komando di ruang tamu rumah Jalan Sriwijaya II/19, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan itu menjadi saksi bisu kepergian Supeni. Tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) ini mengembuskan napas terakhir pada usia 87 tahun di Rumah Sakit Pelni, Petamburan, Jakarta, Jumat pagi pekan lalu. Perempuan yang tetap bugar pada usia senja itu tak kuasa melawan stroke sejak tiga hari sebelumnya. Setelah terbaring lemah di rumah sakit, Supeni pergi menghadap Sang Pencipta dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet, Jakarta, pada hari kepergiannya.

Supeni tak hanya meninggalkan empat orang anak, tapi juga politik dan dunia pergerakan yang dia tekuni sedari muda. Nenek delapan cucu ini saksi penting sekaligus pelaku sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Supeni lahir di Tuban, 17 Agustus 1917, dari pasangan Imam Supeno dan Musripah. Ia mengawali aktivitasnya sebagai Wakil Ketua Indonesia Muda (IM) Cabang Blitar, organisasi yang menganjurkan kemerdekaan Indonesia. Gara-gara terjun ke pergerakan, ia dan Ketua IM Sukarni dikeluarkan dari HIK (sekolah menengah guru).

Kisah kisruh di sekolah itu bukan akhir dari segalanya. Sosoknya kian berkibar di kancah pergerakan politik. Pada Pemilu 1955, ia terpilih menjadi anggota DPR dan Konstituante dari PNI. Kiprahnya di partai ibarat air bah yang tak bisa dibendung. Saat PNI difusikan ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 1972, Supeni seperti lenyap ditelan bumi. "Saya dilarang aktif di kepartaian oleh Orde Baru," kata Duta Besar Keliling RI 1961-1966 ini saat deklarasi Persatuan Nasional Indonesia, sebuah organisasi masyarakat yang dikenal sebagai PNI Baru, pada Agustus 1995.

Saat Orde Baru tumbang, ormas itu berubah sifat menjadi partai politik lewat konferensi di Yogyakarta pada 17 Juni 1998. Supeni dipercayai memegang tampuk pimpinan partai yang dikenal dengan nama PNI Supeni itu. Sayang, perolehan suaranya pada Pemilu 1999 jeblok dan tidak memenuhi batas minimal. Namun perjuangan tak pernah surut. PNI Supeni akhirnya berganti nama menjadi PNI Marhaenisme. Kendaraan baru ini dikomandoi Sukmawati Soekarnoputri, anak tokoh yang dikagumi dan disebut sebagai guru politik Supeni.

Supeni memang tak tampil di depan publik layaknya pada Pemilu 1999. Di tengah riuhnya politik, tiba-tiba ia kembali hadir ke tengah publik lewat buku Napak Tilas Bapak-Bapak Pejuang Menuju Indonesia Merdeka Adil dan Makmur (2001) setebal 676 halaman. Di sinilah Supeni menyodorkan kisah perbedaan pendapat antara Bung Karno dan Bung Hatta, Bung Karno dan Bung Sjahrir, serta antara Bung Karno dan K.H. Agus Salim. Buku ini melengkapi karyanya berjudul Politik Ketahanan Nasional Indonesia, yang diterbitkan pada 1999.

Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Amerika Serikat pada 1960 ini memang dekat dengan Bung Karno. "Beliau guru politik saya," katanya berkali-kali. Suatu ketika, setelah menghadiri Sidang Majelis PBB tentang Irian Barat, Supeni mendapat teror dan fitnah. Ia ingin mundur dari jabatan Duta Besar Keliling. Saat diterima Presiden Sukarno di Bina Graha, Supeni terenyak. Sukarno menyeduh sendiri kopi yang hendak disajikan dan menanyakan takaran gula yang diinginkannya.

Kekaguman kepada Sukarno dia wujudkan dalam pilihan politik dan lukisan Sukarno yang terus menemaninya di ruang tamu rumahnya. Supeni rupanya "mewarisi" cara Bung Karno berbusana, yang rapi, elegan, dan necis. Saat perayaan ulang tahunnya yang ke-85 dua tahun silam di rumahnya, Supeni bergaun batik merah berhias bunga-bunga kecil. Ia ditanyai resep bugarnya hingga usia senja. "Rajin senam dan rutin main bridge sama ibu-ibu," katanya.

Keceriaan itu mulai redup sejak stroke menyerang. "Tapi masih berusaha ngajak bicara dengan keluarga," kata Sarita, cucu pertamanya. Semangat tokoh pergerakan perempuan ini memang tak pernah padam. Pahit getir perjuangan adalah menu harian yang membuatnya terus tegar. Sampai suatu saat Sang Pencipta memanggilnya pulang pada Jumat pagi itu. Selamat jalan, Bu Peni.

Arif Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus