IA bukan anak ajaib. Kendati dalam usia 11 telah membuat debut
yang mengesankan. Dialah, Caroline Albertus, pelari 3.000 m
puteri dari Nusa Tenggara Timur yang bersaing untuk
memperebutkan medali dalam Kejuaraan Nasional Atletik di stadion
utama Senayan, Jakarta pekan lalu.
Penampilan Caroline yang mengesankan itu bukanlah terletak pada
ukuran medali. Karena ia gagal dalam meraih itu. Mengingat
lawannya adalah pelari-pelari tangguh yang sudah berulang kali
terjun di lintasan perlombaan. Di antaranya adalah K. Jayamani,
pelari tamu dari Singapura, saingan imbang juara nasional,
Lelyana Tjandrawidjaja. Juga Yeanny Astuti dari Jawa Timur. Tapi
ia telah mengorbitkan diri sebagai pelari yang berbakat.
Dipanggil
Lahir sebagai anak kelima dari enam bersaudara, dunia atletik
dijamah Caroline lewat perlombaan lari 3.000 m dalam
memperingati Hari Pendidikan Nasional di Kupang, 2 Mei lampau.
Ia merenggut medali perunggu untuk tingkat SD. Catatan waktu
tempuhnya tak lagi diingatnya. Tapi di balik urutan ke-3 yang
diraihnya itu, guru olahraga August Parera melihat sesuatu yang
lain dari Caroline yang tak terdapat pada 2 pemenang di atasnya.
Ia pun dipanggil untuk memperkuat kontingen atlit NTT.
Dipersiapkan dalam tempo 2 minggu dengan 8 kali latihan
menjelang keberangkatan ke Jakarta, dosis persiapan itu ternyata
tak cukup kuat menunjang pemunculannya di tingkat nasional. 600
m sebelum finish, ia tampak mulai diserang kelelahan. "Capek",
kata Caroline ketika para suporter NTT meminta ia menaikkan
tempo. Ia mengakhiri perlombaan di urutan ke-6 dalam waktu 12
menit 08,2 detik. Juaranya adalah Jayamani yang mencatat angka
10 menit 33,6 detik.
Kelebihan Caroline, mungkin hal ini juga yang dilihat pelatih
Parera, terletak pada sistim kardio-vaskuler yang kuat. 1 menit
seusai perlombaan denyut nadinya tercatat 120. Kira-kira 60
detik kemudian turun di bawah 100. Kalau saja keunggulan itu
ditopang oleh sistim ototnya yang memadai, ia tak ayal akan bisa
menekan waktu tempuhnya. Kekurangannya dalam faktor terakhir ini
dapat dimaklumi. Di samping usianya masih muda sekali, juga
persiapannya pendek. "Dalam kejuaraan yang akan datang, saya
berusaha untuk berbuat lebih baik," janji Caroline.
Tekad Caroline, pelari kaki ayam yang kini duduk di kelas VI SD
Oetona Kupang agaknya tak terlalu berlebihan. Lingkungan alam
tempat tinggalnya membantu banyak untuk melangkah ke arah
tersebut. Ia selalu berjalan kaki, kadang-kadang berlari-lari
kecil, setiap hari menuju sekolah yang berjarak hampir 1
kilometer dari rumahnya. Di samping itu dibutuhkan pengarahan
yang tepat dari pembina atletik NTT, tentunya.
Menitikkan Air Mata
Dalam pertarungan atletik nasionnl kemarin masalah pengarahan
yang mengenai sasaran tak kurang mendapat sorotan tajam,
terutama dari pembina di daerah yang atlitnya terpilih memasuki
pelatnas Asian Games VIII. Di antara penyorot, dan mau disebut
nama, adalah Ule Latumahina, pelatih dari Irian Jaya. Ule
mengecam sistim pelatnas yang gagal mengantar 2 atlitnya, Leo
Kapisa dan Melly Moffu, ke tempat terhormat dalam perlombaan.
"Semula kami berharap dengan ditariknya Leo dan Melly ke
pelatnas, prestasinya akan lebih baik," kata Ule. "Kenyataannya,
lain dari itu."
Menurut pelatih pelatnas, Askar, seperti yang dituturkan kembali
oleh Ule, bahwa ketidak-berhasilan Leo maupun Melly mencapai
prestasi yang baik adalah dikarenakan target untuk mereka
bukanlah Kejurnas. Melainkan Asian Games VIII. "Sebagai orang
daerah, kami 'kan punya kepentingan dengan mereka untuk Kejurnas
ini," lanjut Ule. "Minimal dari mereka diharapkan 3 medali
emas." Perkiraan itu didasarkan atas prestasi mereka waktu
dilatih di Irian Jaya. Ule pun memberi contoh, dari Melly untuk
nomor 400 m gawang diharapkan medali emas. Sebab ia adalah
pemegang rekor nasional. "Nyatanya cuma dapat perunggu,"
katanya.
Gagalnya Melly mempertahankan prestasinya tak kurang membuat
Sekretaris KONI Irian Jaya, Fabanyo menitikkan air mata.
Demikian kecewanya ia melihat penampilan Melly setelah di
pelatnas, ia langsung kembali ke hotel Asri, tempat ia menginap,
untuk meredakan kekecewaannya. "Kalau saja Melly tetap kami yang
melatih prestasinya tak akan jatuh begitu," kata Fabanyo. Untuk
nomor 400 m gawang kemarin Melly mencatat waktu 53,4 detik
(rekor nasional 52,9 detik). "Padahal sarana latihan di Irian
Jaya serba minim," tambahnya.
Kasus seperti yang dialami Leo dan Melly bukanlah cerita baru
pelatnas. Hal yang sama juga pernah merundung Suwignvo, peloncat
tinggi Jawa Timur, tahun lalu. Suwignyo, setelah memecahkan
rekor Indonesia dengan loncatan setinggi 1,98 m, dipanggil ke
Jakarta. Tapi selama di pelatnas, loncatan ternyata tak lebih
dari 1,80 m. Ia lalu menarik diri, dan kembali ke Jawa Timur.
Sabtu, 8 Juli lalu ia melompat pada ketinggian 1,90 m.
Tapi Kejuaraan Nasional Atletik kemarm tah seluruhnya
menampilkan kekecewaan. Ada 3 atlit (Irawati, Poppy Timurason,
dan Komot Heruwatno) yang mencatat 4 rekor nasional baru untuk
100 m gawang, panca lomba, lempar cakram, dan lontar martil.
Akan di luar lapangan, yang tak kurang menarik, adalah tampilnya
Letjen Sayidiman Suryohadiprojo di pucuk pimpinan PASI
menggantikan Letjen Sugih Arto. "Mudah-mudahan dengan pengurus
baru sekarang ini, kekecewaan yang saya alami dengan pembinaan
atlit-atlit saya di pelatnas, tak 'kan terulang lagi," ujar
Fabanyo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini