"SAYA bisa bekerja sampai jam 9 malam," kata wanita itu. "Karena
kebetulan saya masih sendiri."
Rosita S. Noer yang memimpin PT Indra Pardana dan PT Saloka
Kusuma Utama, keduanya di bidang perdagangan, memang tidak ada
kebutuhan mendesak untuk pulang ke rumah sebelum matahari
terbenam. Tapi apakah itu pantas bagi wanita pengusaha? Soal apa
yang pantas ini menjadi bahan diskusi minggu lalu antara dr.
Rosita dan sesama rekannya dalam IPWI (Ikatan Wanita Pengusaha
Indonesia).
Kaum wanita Indonesia sebagai pekerja sudah biasa. Sepertiga
dari jumlah tenaga kerja di negeri ini adalah wanita. Tapi
wanita sebagai kepala, boss dan manajer masih sedikit. Dan
wanita pengusaha, khusus mereka yang menjadi anggota IPWI jauh
lebih sedikit jumlahnya. Maka dengan diskusi itu IPWI rupanya
ingin membina gambaran diri.
Para wanita penjual jamu tradisionil di kota-kota, atau membuka
warung di pedesaan, adalah juga pengusaha. Namun bukanlah potret
golongan wanita ini yang menjadi persoalan bagi diskusi IPWI.
Bagi IPWI, tentu saja, persoalan wanita berpendidikan yang punya
bakat dan ingin membentuk karir di dunia usaha.
"Sebagai wanita Timur," dra. Kemala Motik Amongpradja, tokoh
IPWI, mengakui bahwa mereka harus "tetap menghormati nilai dan
norma yang berlaku di masyarakat kita." Dia tegas menjunjung
sikap supaya wanita pengusaha "mengutamakan kewajiban utama
sebagai ibu dan isteri rumahtangga."
Maria Ulfah Soebadio SH, tokoh pergerakan wanita Indonesia,
mendukung sekali kaumnya terjun ke dunia usaha tapi menasehatkan
dalam diskusi itu: "Kaum wanita harus mengadakan pilihan yang
tepat untuk kebahagiaannya sendiri." Pilihan tepat itu, ya,
tergantung pada pribadi anggota IPWI. Tapi Ny. Soebadio mencatat
4 golongan wanita di masyarakat Indonesia:
Ia punya bakat, mengejar cita-cita, memilih untuk tidak
berumahtangga, artinya tetap single.
Ia berbahagia mengabdi pada keluarga, jadi 100% sebagai ibu
rumahtangga.
Ia cakap, punya ambisi, memberikan prioritas pada pekerjaannya
di atas keluarganya. Ini dapat menimbulkan konsekwensi seperti
perceraian.
Ia memilih jalan tengah, menerima peranan rangkap, mengadakan
kombinasi yang sebaik-baiknya. Ia mengerti apa yang menghambat
suksesnya dalam pekerjaan, tapi menyadari bahwa keluarga adalah
penting juga.
Paling ideal, jika diikuti jalan pikiran Ny. Soebadio, ialah hal
keempat. Tapi para anggota IPWI sendiri rupanya bertanya-tanya:
Mungkinkah sukses dalam bisnis bisa sejalan dengan sukses dalam
rumahtangga? "Di dunia, kita tidak dapat semuanya. Itu saja,"
demikian pendapat dr. Rosita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini