PERTEMUAN puncak tujuh negara industri akan berlangsung lagi di
Bonn per tengahan Juli ini. Itu merupakan keempat kalinya --
sesudah pertemuan Paris, Puerto Rico, dan London -- untuk
mengatasi resesi ekonomi dunia yang nampaknya makin terus
berlarut. Setahun sudah berlalu sejak pertemuan terakhir di
London, namun keadaan ekonomi makin tak menentu. Nampaknya makin
sulit kali ini bagi kepala pemerintahan dari AS, Jerman Barat,
Jepang, Inggeris, Perancis, Italia dan Kanada yang akan bertemu
di Bonn untuk mengatasinya.
Tapi itu tak berarti mereka masingmasing tak berusaha. Presiden
Carter sedang berusaha keras untuk menertibkan kembali neraca
perdagangannya untuk menjamin stabilitas nilai dollar. AS
dikecam keras terutama oleh Jerman Barat karena kegagalannya
dalam menjamin nilai dollar. Impor minyak AS, yang merupakan
faktor utama di belahang defisit perdagangan AS nampaknya ingin
dibenahi oleh Carter. Tapi posisi Carter dalam hal RUU Energi
telah mandeg di Kongres.
Kalau Korigres sampai menolaknya, Carter mengancam akan
melakukan tindakan kenaikan harga minyak secara administratip
atau menaikkan pajak penjualan minyak dalam negeri. Sekalipun
nasibnya belum menentu di Kongres, Carter sekurangnya sudah
menunjukkan kesungguhannya, dan ini merupakal modal utamanya
sebelum kedatangannya di Bonn. Sekurangnya negara-negara lain
jadi kehilangan peluru untuk menyerang AS.
Trauma Pra Hitler
Dengan demikian persoalan beralih pada apa yang akan
dilaksanakan negara lain. Jerman Barat tempo hari sudah didesak
untuk berperan sebagai "lokomotip": menarik ekonomi negara lain
dari resesi. Jerman Barat memang bermaksud melakukan tindakan
fiskal yang cukup ekspansif untuk mengembangkan pertumbuhan
ekonomi. Pajak akan diturunkannya hingga mengurangi penerimaan
pemerintah dengan DM 12 milyar dan APBN-nya akan mengalami
defisit DM 20 milyar. Uang yang dibiarkan beredar di masyarakat
ini diharapkan akan merupakan tambahan pendapatan yang mendorong
permintaan akan barang dan jasa, hingga mendorong pula industri
untuk menambah produksinya.
Tapi tindakan reflasi Jerman Barat ini rupanya dianggap belum
cukup. Namun oleh Kanselir Helmut Schmidt rupanya dirasakan
sudah maksimal yang bisa dilakukan Jerman. Para penjabat Jerman
Barat berpendirian bahwa reflasi yang lebih jauh hanya akan
mendorong inflasi lebih parah lagi, terutama karena awal tahun
ini industri Jerman baru saja menyetujui kenaikan gaji dan upah
rata-rata 7% untuk buruhnya. Inflasi memang merupakan hal yang
sensitif bagi Jerman. Dan bagi negara yang mengalami ribuan
persen inflasi pada zaman pra-Hitler inflasi masih memberi
trauma bagi rakyat Jerman.
Di bidang perdagangan luar negeri Jerman Barat masih dianggap
protektif, belum "seberani" Jepang dalam memberikan konsesi bagi
barang-barang yang dibelinya dari negara lain. Tapi Jerman
memang punya alasan: gara-gara kekacauan nilai dollar, industri
ekspor Jerman juga ikut tak menentu. Apresiasi Mark terhadap
dollar belakangan ini jelas sedikit memperlemah ekspor
Jerman.
Dengan besarnya surplus neraca pembayaran, Jepang ternyata
juga belum bisa memberi banyak, kecuali tindakan untuk menambah
pembeliannya dari luar negeri. Jepang sudah menurunkan tarip
impor untuk sekitar 300 macam barang, dan penurunan tarip ini
berkisar antara 23%. Tapi karena tindakan ini hanya menyangkut
barang senilai US$2 milyar, atau 3% nilai impor Jepang
seluruhnya, maka konsesi Jepang itu pun dianggap belum cukup.
Pada akhirnya yang akan terjadi di prtenluan puncak Bonn adalah
sampai berapa jauh negara-negara peserta tersebut bersedia
melakukan tindakan berikutnya. Ini tak akan mudah bagi mereka
untuk menentukannya, karena menjelang pertemuan Bonn, situasi
sudah berkembang begitu cepat. Tahun depan harga minyak hampir
pasti naik dengan 5%. Sheik Zaki Yamani, sekalipun belum tegas
suaranya, terhadap usul kenaikan harga 5% ini sekurangnya sudah
mengangguk dan bersuara merdu (TEMPO 1 Juli). Ini memberi satu
komplikasi lagi bagi usaha mengatasi resesi, dan bisa mewarnai
pembicaraan di Bonn.
"Fed" Khawatir
Sementara itu tindakan Bank Sentral Amerika (Federal Reserve
Bank) yang menaikkan tingkat bunga baru-baru ini dari 7,5%
menjadi 7,75%, merupakan berita yang kurang enak, karena itu
berarti tindakan yang bisa mengerem pertumbuhan ekonomi AS yang
baru saja bergerak. Rupanya "Fed" lebih prihatin terhadap
inflasi yang masih terus merayap daripada resesi itu sendiri.
Dan kekhawatiran "Fed" ini juga dirasakan oleh mayoritas ekonom
di Washington yang merasa bahwa apabila inflasi tidak dicek, ia
akan bisa menghambat pertumbuhan ekonomi. Mereka berpendapat
inflasi harus diatasi dulu sebelum semua pihak berbicara tentang
pertumbuhan.
Tanpa disadari, para ekonom itu sudah mendengungkan sentimen
golongan moneteris yang dipelopori nabi ekonomi Universitas
Chicago, Prof. Milton Friedman, yang selalu mendengungkan bahwa
kebijaksanaan moneter lebih ampuh dari pada kebijaksanaan
fiskal. Tapi para pengambil keputusan di negara-negara industri
masih belum habis terpesona oleh petunjuk Keynes yang memang
memberi keajaiban dalam penanggulangan depresi tahun 1930.
Mereka terpesona bahwa reflasi lewat tindakan fiskal begitu
manjur. Tapi sebenarnya kini mereka pun sadar bahwa reflasi juga
ada batasnya. Begitu batas itu dilewati, inflasi akan meledak,
ketika pertambahan pendapatan yang diperoleh masyarakat lewat
penurunan pajak dibelanjakan untuk memborong barang dan jasa,
sementara kapasitas produksi tak bertambah secepat pertambahan
permintaan.
Jerman dan Jepang sangat menyadari hal ini. Tapi apakah suara
mereka akan mendominir pembicaraan di Bonn akan tergantung dari
keuletan para pembicaranya. Di lain pihak rekan seperti Perancis
dan Inggeris juga tak akan pasip begitu saja. Bisa diperkirakan
konperensi puncak kali ini, seperti halnya tiga konperensi
puncak sebelumnya, kembali akan merupakan tambahan forum
diskusi tak lebih dan tak kurang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini