KETIKA atlit loncat tinggi puteri, Sukesti melampaui mistar pada
ketinggian 156 cm, tahun 1963 silam, tak seorang pun menyangka
rekor tersebut akan berusia panjang. Mengingat masa itu
merupakan zaman prestasi dunia atletik. Kenyataannya, empat
belas musim lamanya, rekor itu tetap tak tergoyahkan. Yang mampu
mendekatinya cuma peloncat tinggi Jakarta, Judi Karmani. Ia
mencatat loncatan setinggi 155 cm.
Meski prestasi itu merupakan ketrampilan Judi sehari-hari, namun
batas rekor nasional masih tetap di luar jangkauannya.
Penghujung tahun 1976 lalu, ia bertolak ke Amerika Serikat guna
mengikuti program latihan atletik selama 9 bulul di salla. Tapi
hasil yang dibawahya pulang juga tak banyak. Kecuali lipatan
lemak yang makin menebal.
Sewaktu Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI) mengadakan
dwilomba dengan tim Chung Hsin Track and Field dari Taiwan.
Juni lampau penggemar atletik berharap Judi akan membuat kejutan
dengan pemecahan rekor nasional. Tapi harapan itu sia-sia
belaka. Ia hanya mampu mengulang prestasi lamanya.
Bahkan menjelang PON IX, optimisme tentang penumbangan rekor
nasional itu pun belum tercermin pada diri Judi. Kepada TEMPO
yang menemui di pemondokan Hotel Hasta dua pekan lalu ia
mengatakan bahwa paha kanannya masih sakit. Adakah prestasi
mungkin lahir dari seorang atlit yang turun dalam kondisi fisik
terganggu? Yang tersisa pada Judi adalah perimbangan normal
tubuhnya - tinggi badan 171 cm dan berat baan 59 kg (bobot
tubuhnya sewaktu kembali dari Amerika Serikat 65 kg). "Pokoknya
saya bertekad untuk memecahkan rekor tersebut," kata Judi.
Jungkir Balik
Di stadion utama, Senayan, Jumat 28 Juli petang tekad
penumbangan rekor nasional itu diawali Judi, 18 tahun, pada
angka loncatan 145 cm. Pada ketinggian 155 cm, ia tinggal
sendirian atlit terakhir yang masih bersama Judi sampai batas
151 cm adalah Oltje Rumaropen dari kontingen Sulawesi Selatan.
Meski angka tersebut merupakan prestasi rutin Judi, namun
ketinggian tersebut baru berhasil dilewatinya pada loncatan
ulangan.
Lepas itu Judi minta tambahan ketinggian 2 cm pada wasit -- 1 cm
di atas rekor Sukesti. Tapi masih 21 cm di bawah rekor Asian
Games yang dipegang Mikio Sone dari Jepang. Dua loncatan
pertamanya gagal. Pinggulnya menyentuh mistar. Judi meloncat
dengan gaya flop. Tiga ribu penggemar atletik biasanya jumlah
mereka cuma ratusan -yang menyaksikan ketrampilan Judi kelihatan
mulai tak berharap banyak lagi dengan tekad pelajar kelas II STM
jurusan Elektro tersebut. Tapi rasa pesimis itu segera
dijungkir-balikan Judi dengan loncatan terakhirnya yang mulus.
Janjinya tentang perbaikan rekor akhirnya menemui bentuk yang
pasti. "Malu, dong," komentar Judi. "Masak sudah diongkosi ke
Amerika, pulangnya tidak membawa kemajuan."
Atlit yang juga menyullt perbaikan rekor adalah Lelyana
Tjandrawidjaja. Ia kembali mempertajam waktu tempuh lari 1.500 m
atas namanya sendiri menjadi 4 menit 49.9 detik (rekor lama 4
menit 50,1 detik). Rekor baru lain dicatat pula oleh Mujiono
dalam mata lomba 400 meter putcra. Ia memperbaiki rekornya
sendiri pula dari 48,0 detik melljadi 47,9 detik.
Tapi prestasi lama yang tak terhampiri juga banyak. Terutama
pada nomor lari putera. Tempo yang dicatat oleh Sarengat,
Jootje Oroh dalam nomor lari jarak pendek maupun pada
rekor-rekor jarak menengah Charanyit Singh tetap belum
terdekati. Misalnya, waktu tempuh Jeffry Mathehamual yang meraih
medali emas PON IX untuk Jawa Barat dalam lomba lari 100 m
tampak masih ketinggalan panjang. Ia mencapai finish pada tempo
yang cukup tinggi untuk ukuran masa kini: 10,8 detik -- rekor
nasional 10,4 detik sementara rekor Asia terekam 10 detik flat.
Akankah rekor lama yang tajam itu maupun 'kejutan' kecil-kecilan
yang diciptakan Judi akan bertahan sampai belasan tahun
mendatang? Biasanya sekali tumbang akan bertumbangan lagi dalam
waktu dekat. Tapi melihat pembinaan PASI yang berjalan seret,
tak seorangpun agaknya yang mampu meramalkan hari esok dunia
atletik Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini