Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Kutuk Uskup Dan Sukma Yang Merana

Bupati Manggarai dengan SK nya menarik 1227 orang guru dan 17 pegawai administrasi dari 265 SD yayasan persekolahan umat katolik manggarai. Ada selisih pendapat antara bupati dan uskup.

6 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Kutuk Uskup Dan Sukma Yang Merana
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
45 ribu siswa SD Katolik di kabupaten Manggarai, Flores Barat, sudah dua bulan tak tentu nasibnya. Soalnya, dengan sepucuk SK Bupati, 1227 orang guru dan 17 pegawai administrasi yang berstatus pegawai negeri sipil. ditarik kembali oleh Pemerintah Daerah. Dengan demikian, 265 sekolah dasar yang dilola oleh Yayasan Persekolahan Umat Katolik Manggarai (SUKMA) praktis merana. Ditutup juga tak bisa. Sebab 32 SD Negeri yang ada di kabupaten itu tak akan mampu menampung itu 45 ribu siswa. Demikian juga memindahkan ke1227 guru berstatus 'pegawai negeri sipil' ke SD-SD negeri. Perkara SD-SD SUKMA yang merana itu dilaporkan oleh Uskup Ruteng, Mgr Vitalis Djebarus, dalam suratnya kepada Kantor Waligereja Indonesia di Jakarta 29 Juni lalu. Pihak MAWI sudah meneruskannya pula kepada Menpan Sumarlin. Ini menyusul laporan lain soal kasus 194 guru di Ende yang dibekukan gaji & berasnya sesudah Pemilu 1977 (TEMPO, 30 Juli). Tapi apa pasalnya sampai Bupati Frans Lega (yang pernah mclarang penempelan poster Aksi-Puasa Pembangunan bertema 'Kejujuran' di Manggarai) menjatuhkan palu godam? Pada "Berebut Tulang" Menurut laporan Uskup Djebarus yang juga dibeberkan di majalah dwipekan Dian, 10 Juli lalu - masalahnya berkisar di seputar tulang kerangka Almarhum Pastor Frans Eickmann SVD, seorang misionaris yang dianggap setengah santo bagi orang Manggarai. Makanya orang Ruteng, ibukota Manggarai, bilang: "Bupati dan Uskup berebutan tulang." Frans Lega, yang mungkin mau memperbaiki image-nya di kalangan umat Katolik Manggarai, punya hajat memindahkan kerangka santo Manggarai itu dari kuburannya di Mataloko, Kabupaten Ngada, ke Ruteng. Tujuannya mungkin supaya relikwi itu (sisa jenazah orang suci) dapat disimpan di rongga dasar altar Gereja Ruteng. Atau disemayamkan di Kantor Bupati. Mungkin. Tanpa berkonsultasi dengan Uskup Ruteng, Lega yang telah mendapat lampu hijau dari Muspida Manggarai pun menyusun acara pemindahan. Seluruh proses akan berlangsung 3 - 11 Juni. Maklumlah, perjalanan dari Mataloko ke Ruteng sendiri makah waktu 5 hari 5 malam karena kondisi jalannya yan parah. Lagi pula. setiap kerangka misionaris Jerman itu diajak bermalam di kapel-kapel sepanjang jalan, perlu diadakan seremoni penghormatan secara khusus (adorasi) oleh pastor, guru agama dan pemuka awam Katolik setempat. Namun acara yang sudah disusun rapi di kertas itu akhirnya dibatalkan begitu saja - akibat surat 12 biarawan dan biarawati Manggarai kepada Muspida Manggarai, yang ditandatangani sang uskup sendiri. Surat tertanggal 3 Juni 1977 itu dalah hasil rapat kilat Uskup Djebarus dan stafnya sehari sebelumnya. Rapat diadakan atas permintaan Sekwilda Manggarai sendiri, yang menghendaki jawaban pihak Keuskupan dalam waktu satu jam. Dalam rapat kilat itu Uskup 10 orang pastor dan seorang suster yang bertugas di Manggarai. sepakat menolak reneana Bupati Lega. Menurut mereka, waktunya belum tepat. Alasan fomlilnya: belum ada surat-menyurat resmi antara Frans Lega dengan pemilik tulang itu, yakni SVD (Societas Verbi Divini - Serikat Sabda Suci), kongregasi pastor dan bruder yang bertugas di seluruh Bali dan Nusa Tenggara (d/h Sunda Kecil). Selain itu alasan yang lebih prinsipiil adalah: suasana di antara umat Katolik di Manggarai masih keruh akibat luka-luka Pemilu. Dalam surat para rohaniwan itu bah kan terang-terangan disebut bahwa: "tindakan tak berperikemanusiaan yang masih berlangsung sampai saat ini, sama sekali tak merupakan hormat terhadap Almarhum Pater Eickmann." Makanya mereka bertanya: "Apakah dengan pemindahan tulang-tulang ini bukannya hanya menimbulkan kutuk untuk perbuatan kita itu? Sebab Pater Eickmann tak ingin disalami dengan tindakan yang tidak berperikemanusiaan itu?" Mereka mohon, supaya segala ekses pra dan purna Pemilu itu diselesaikan dulu (TEMPO 21 dan 28 Mei). Sehingga nantinya seluruh umat dapat ambil bagian dalam yesta dan upacara pemindahan kerangka missionaris yang meninggal di Mataloko di masa pendudukan Jepang tersebut. Orang menduga-duga: barangkali saja, kata 'kutuk' yang terdapat dalam surat itu ditafsirkan Lega sebagai"kutuk dari Uskup" terhadap dirinya. Harap dimengerti: dalam alam fikiran sebagian rakyat Flores, yang sudah hidup lebih dari « abad dalam pengayoman Gereja Katolik, kutuk dari seorang rohaniawan paling ditakuti. Makanya, kontan acara pemindahan tulang Pater Eickmann dibatalkan. Namun sebagai gantinya, tanggal 16 Juni Bupati Lega memerintahkan semua kepala dinasnya memutuskan segala hubungan kerja dengan Gereja Katolik di Manggarai. Sebelumnya, dengan SK bernomor Up. 021.5/877, tanggal 7 Juni 1977, sang bupati membatalkan seluruh subsidi pemerintah kepada SUKMA. Nah. Mereka Diam Saja Palu godam Frans Sales Lega itu, tekas Kepala Dinas Olahraga Propinsi NTT yang kini memegang dua lencana pembangunan, memang boleh disebut musibah paling parah yang dialami pendidikan dasar Katolik di Flores. Toh bukan satu-satunya. Musibah lainnya, adalah penghentian gaji dan tunjangan beras bagi 194 guru Yayasan Umat Katolik Ende-Lio (Yasukel) yang sudah disebut tadi, yang terpaksa ditangani sendiri oleh Menpan Sumarlin (lihat Daerah). Masih ada lagi. Pada ulang tahun ke11 penumpasan G-30-S/PKI, Bupati Flores Timur, drs A.B. Langoday, di Larantuka mengeluarkan SK tentang "penataan kembali jumlah dan status sekolah dasar" di daerahnya. Hasil SK No. 49/1976 bertanggal 30 September 1976 yang dikeluarkannya itu adalah 188 sekolah dasar Katolik di Flores Tim sebagian besar diciutkan, dua, di-SD Inpres-kan, sebagian lagi dinegerikan dan sisanya masih tetap berstatus "swasta bersubsidi." Uskup Larantuka Dr. Darius Nggawa SVD memprotes ke Kupang dari Jakarta. Sebab: "Bupati tak berwewenang menentukan atau merubah status sekolah dasar, karena itu wewenang Mendagri. Atau Gubernur, tapi hanya kala mendapat delegasi wewenang Mendagri." Namun Gubernur El Tari dan Mendagri diam saja. Juga mereka di saja setelah musibah di Manggarai itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus