45 ribu siswa SD Katolik di kabupaten Manggarai, Flores Barat,
sudah dua bulan tak tentu nasibnya. Soalnya, dengan sepucuk SK
Bupati, 1227 orang guru dan 17 pegawai administrasi yang
berstatus pegawai negeri sipil. ditarik kembali oleh Pemerintah
Daerah. Dengan demikian, 265 sekolah dasar yang dilola oleh
Yayasan Persekolahan Umat Katolik Manggarai (SUKMA) praktis
merana. Ditutup juga tak bisa. Sebab 32 SD Negeri yang ada di
kabupaten itu tak akan mampu menampung itu 45 ribu siswa.
Demikian juga memindahkan ke1227 guru berstatus 'pegawai negeri
sipil' ke SD-SD negeri.
Perkara SD-SD SUKMA yang merana itu dilaporkan oleh Uskup
Ruteng, Mgr Vitalis Djebarus, dalam suratnya kepada Kantor
Waligereja Indonesia di Jakarta 29 Juni lalu. Pihak MAWI sudah
meneruskannya pula kepada Menpan Sumarlin. Ini menyusul laporan
lain soal kasus 194 guru di Ende yang dibekukan gaji & berasnya
sesudah Pemilu 1977 (TEMPO, 30 Juli). Tapi apa pasalnya sampai
Bupati Frans Lega (yang pernah mclarang penempelan poster
Aksi-Puasa Pembangunan bertema 'Kejujuran' di Manggarai)
menjatuhkan palu godam?
Pada "Berebut Tulang"
Menurut laporan Uskup Djebarus yang juga dibeberkan di majalah
dwipekan Dian, 10 Juli lalu - masalahnya berkisar di seputar
tulang kerangka Almarhum Pastor Frans Eickmann SVD, seorang
misionaris yang dianggap setengah santo bagi orang Manggarai.
Makanya orang Ruteng, ibukota Manggarai, bilang: "Bupati dan
Uskup berebutan tulang." Frans Lega, yang mungkin mau
memperbaiki image-nya di kalangan umat Katolik Manggarai, punya
hajat memindahkan kerangka santo Manggarai itu dari kuburannya
di Mataloko, Kabupaten Ngada, ke Ruteng. Tujuannya mungkin
supaya relikwi itu (sisa jenazah orang suci) dapat disimpan di
rongga dasar altar Gereja Ruteng. Atau disemayamkan di Kantor
Bupati. Mungkin.
Tanpa berkonsultasi dengan Uskup Ruteng, Lega yang telah
mendapat lampu hijau dari Muspida Manggarai pun menyusun acara
pemindahan. Seluruh proses akan berlangsung 3 - 11 Juni.
Maklumlah, perjalanan dari Mataloko ke Ruteng sendiri makah
waktu 5 hari 5 malam karena kondisi jalannya yan parah. Lagi
pula. setiap kerangka misionaris Jerman itu diajak bermalam di
kapel-kapel sepanjang jalan, perlu diadakan seremoni
penghormatan secara khusus (adorasi) oleh pastor, guru agama dan
pemuka awam Katolik setempat.
Namun acara yang sudah disusun rapi di kertas itu akhirnya
dibatalkan begitu saja - akibat surat 12 biarawan dan biarawati
Manggarai kepada Muspida Manggarai, yang ditandatangani sang
uskup sendiri.
Surat tertanggal 3 Juni 1977 itu dalah hasil rapat kilat Uskup
Djebarus dan stafnya sehari sebelumnya. Rapat diadakan atas
permintaan Sekwilda Manggarai sendiri, yang menghendaki jawaban
pihak Keuskupan dalam waktu satu jam. Dalam rapat kilat itu
Uskup 10 orang pastor dan seorang suster yang bertugas di
Manggarai. sepakat menolak reneana Bupati Lega. Menurut mereka,
waktunya belum tepat. Alasan fomlilnya: belum ada surat-menyurat
resmi antara Frans Lega dengan pemilik tulang itu, yakni SVD
(Societas Verbi Divini - Serikat Sabda Suci), kongregasi pastor
dan bruder yang bertugas di seluruh Bali dan Nusa Tenggara (d/h
Sunda Kecil). Selain itu alasan yang lebih prinsipiil adalah:
suasana di antara umat Katolik di Manggarai masih keruh akibat
luka-luka Pemilu.
Dalam surat para rohaniwan itu bah kan terang-terangan disebut
bahwa: "tindakan tak berperikemanusiaan yang masih berlangsung
sampai saat ini, sama sekali tak merupakan hormat terhadap
Almarhum Pater Eickmann." Makanya mereka bertanya: "Apakah
dengan pemindahan tulang-tulang ini bukannya hanya menimbulkan
kutuk untuk perbuatan kita itu? Sebab Pater Eickmann tak ingin
disalami dengan tindakan yang tidak berperikemanusiaan itu?"
Mereka mohon, supaya segala ekses pra dan purna Pemilu itu
diselesaikan dulu (TEMPO 21 dan 28 Mei). Sehingga nantinya
seluruh umat dapat ambil bagian dalam yesta dan upacara
pemindahan kerangka missionaris yang meninggal di Mataloko di
masa pendudukan Jepang tersebut.
Orang menduga-duga: barangkali saja, kata 'kutuk' yang terdapat
dalam surat itu ditafsirkan Lega sebagai"kutuk dari Uskup"
terhadap dirinya. Harap dimengerti: dalam alam fikiran sebagian
rakyat Flores, yang sudah hidup lebih dari « abad dalam
pengayoman Gereja Katolik, kutuk dari seorang rohaniawan paling
ditakuti. Makanya, kontan acara pemindahan tulang Pater Eickmann
dibatalkan.
Namun sebagai gantinya, tanggal 16 Juni Bupati Lega
memerintahkan semua kepala dinasnya memutuskan segala hubungan
kerja dengan Gereja Katolik di Manggarai. Sebelumnya, dengan SK
bernomor Up. 021.5/877, tanggal 7 Juni 1977, sang bupati
membatalkan seluruh subsidi pemerintah kepada SUKMA. Nah.
Mereka Diam Saja
Palu godam Frans Sales Lega itu, tekas Kepala Dinas Olahraga
Propinsi NTT yang kini memegang dua lencana pembangunan, memang
boleh disebut musibah paling parah yang dialami pendidikan dasar
Katolik di Flores. Toh bukan satu-satunya. Musibah lainnya,
adalah penghentian gaji dan tunjangan beras bagi 194 guru
Yayasan Umat Katolik Ende-Lio (Yasukel) yang sudah disebut tadi,
yang terpaksa ditangani sendiri oleh Menpan Sumarlin (lihat
Daerah).
Masih ada lagi. Pada ulang tahun ke11 penumpasan G-30-S/PKI,
Bupati Flores Timur, drs A.B. Langoday, di Larantuka
mengeluarkan SK tentang "penataan kembali jumlah dan status
sekolah dasar" di daerahnya. Hasil SK No. 49/1976 bertanggal 30
September 1976 yang dikeluarkannya itu adalah 188 sekolah dasar
Katolik di Flores Tim sebagian besar diciutkan, dua, di-SD
Inpres-kan, sebagian lagi dinegerikan dan sisanya masih tetap
berstatus "swasta bersubsidi."
Uskup Larantuka Dr. Darius Nggawa SVD memprotes ke Kupang dari
Jakarta. Sebab: "Bupati tak berwewenang menentukan atau merubah
status sekolah dasar, karena itu wewenang Mendagri. Atau
Gubernur, tapi hanya kala mendapat delegasi wewenang Mendagri."
Namun Gubernur El Tari dan Mendagri diam saja. Juga mereka di
saja setelah musibah di Manggarai itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini