Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Yang Istirahat & Yang Cemerlang ...

Suhartatiek, 23, atlit terjun payung kontingen PON IX Jawa Timur tewas dalam penerjunan. Ia meloncat dari ketinggian 854 m, payung utama maupun cadangan tak terbuka.

6 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI naas itu tiba pada saat dan tempat yang mungkin tidak dikehendakinya. Kamis, 28 Juli siang, Soehartatiek, 23 tahun, atlit terjun payung kontingen PON IX Jawa Timur dijemput sakratul maut dari jasad yang menyedihkan. Tubuhnya terkapar di pojok Utara lapangan aspal parkir Timur, Senayan setelah meloncat dari pesawat Cessna pada ketinggian 2800 kaki atau sama dengan 854 meter. Tanpa sempat membuka payung utama ataupun cadangan. Ia memakai parasut jenis Irvin, buatan Inggeris. Kejadian itu berlangsung cepat sekali - kira-kira 20 detik. "Saya tak melihat tanda-tanda bahwa Tatiek akan menemui nasib malangnya siang itu (kejadian sekitar jam 10.30)," cerita penerjun puteri Jakarta, Olivia Bolang pagi itu keduanya masih sempat makan bersama di kantin Hotel Hasta, tempat penampungan para olahragawati. "Ia bahkan sempat bercanda akan mencoba meraih medali emas." Dari beberapa kali penerjunan untuk nomor ketepatan mendarat, ketrampilan. Tatiek masih tercatat di bawah kebolehan penerjun puteri Jawa Barat maupun Jakarta. Tatiek, puteri Letnan Satu (Pol) Sutaji, Dandis Wanggai, Probolinggo tak begitu menonjol di kalangan penerjun PON IX. Namun ia telah mencatat rekor penerjunan sebanyak 38 kali- satu kali di antaranya terjun statik. Ibunya, nyonya Sutaji, tampak kurang menyukai Tatiek memilih olahraga yang penuh risiko itu. Menurut cerita atlit-atlit puteri Jawa Timur, nyonya Sutaji hampir tak pernah lagi melihat puterinya terjun. Sejak ia jatuh pingsan ketika menyaksikan Tatiek melakukan penerjunan. Potong Rambut Kejadian lain yang dituturkan almarhumah tentang olahraga yang digandrunginya itu adalah ketika ia jatuh ke laut. Sementara ia sendiri tak bisa berenang Bertolak dari kisah-kisah menegangkan itu, pertanyaan pun terlontar ke alamat Tatiek. "Apa mbak Tatiek tak takut terjun?" tanya salah seorang di antara mereka. "Kalau sudah ajal di mana pun juga kita akan mati," jawab Tatiek seperti yang dituturkan kembali oleh Jeanny Sumampouw, pelari jarak menengah tim atletik Jawa Timur. Kenangan yang tinggal di hati para olahragawati Jawa Timur tersebut, bukan hanya itu. Malam sebelum kejadian itu, beberapa orang dari mereka masih minta dipotongkan rambut sama Tatiek -- ia memang biasa melakukan itu untuk teman-temannya. Saat itu pulalah pada mereka diperlihatkan Tatiek foto pacarnya, Iwan - teman sekuliah di Akademi Bank dan Management, Malang. Tatiek duduk di tingkat III. Bagi teman sekamarnya, Rini Dwi Retnaningsiwi, pemain tenis Jawa Timur, tingkah laku Tatiek, olahragawati yang berperawakan terkecil di dalam kontingen menjelang nasib naas menimpa itu adalah bahwa malam itu, ia tak lagi meletakkan foto Iwan di bawah bantal tidurnya. "Malam-malam sebelumnya, ia selalu meletakkannya di sana," penuturan Rini kepada Linda Djalil dari TEMPO. "Juga tanda peserta PON IX yang selalu dipakainya, hari itu tertinggal di lemari." Kepada Rini, almarhumah juga menceritakan bahwa ia selalu menunggu surat dari Iwan dan ibunya. Surat ibunya itu ternyata tiba ahirnya. Hanya saja ia tak sempat lagi membacanya - surat itu datang jam 10 di Hotel Hasta ketika dia sudah bersiap-siap untuk terjun. Penerjun pertama pagi itu adalah Ilin Rino dari Sumatera Utara, kemudian disusul oleh Widyasanti, penerjun Jabar. Baru setelah itu, Tatiek. Ia hanya berencana untuk meraih medali emas dan menanti surat. Tapi, nasib menghendaki lain. Kendati pagi menjelang keberangkatannya ke tempat pertandingan, ia telah memohon kepada rekan-rekannya, untuk mendoakan agar dirinya selamat. Ketika berita kecelakaan Tatiek penyebabnya masih diselidiki panitia meski payung yang dipakainya tak ada kelainan - sampai di Hotel Hasta, tim atletik puteri Jawa Timur tertunduk sedih. Kenangan akan ucapan Tatiek yang mengatakan bahwa olahraga terjun payung itu lebih enak dari atletik, karena "sekali terjun istirahatnya panjang," kembali menggugah hari-hari terakhir mereka dengan almarhumah. Karena Soehartatiek kini telah menemui itu di sisi Tuhan. Ia adalah korban kecelakaan terjun payung yang keempat sejak awal 1977. Tiga pendahulunya tewas dalam latihan. Mereka adalah Eddy Wiyono (Surabaya), Budi Soeryosoemarno (Jakarta) dan Soehartono (Malang). Yang juga hampir bernasib malang, selang sehari sepeninggal Tatiek, adalah penerjun puteri PON IX Sumatera Utara, Ilin Rino. Peruntungannya nyaris berakhir pada kabel listrik tegangan tinggi yang melintasi lapangan golf Senayan. Untung ia bisa meloloskan diri di sela-sela kabel tersebut dan meloncat dari ketinggian 10 meter tanpa parasut. Payung tersangkut di kabel tersebut. Menilik kejadian itu - juga pengendara kendaraan motor diminta berhati-hati jika ada penerjun yang mendarat di jalan raya - orang lantas bertanya-tanya, kenapa perlombaan terjun payung tersebut harus diadakan di Senayan? Mengapa tidak di daerah Halim Perdanakusuma yang sepi dari lalu-lintas umum maupun bahaya sampingan lain, misalnya? Menurut H. Sukari, Wakil Ketua Panpel Terjun Payung, penentuan tempat perlombaan itu ditetapkan setelah memperhatikan semua kemungkinan itu. Jadi kalau ada yang bernasib malang memang sudah suratannya, barangkali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus