HARI naas itu tiba pada saat dan tempat yang mungkin tidak
dikehendakinya. Kamis, 28 Juli siang, Soehartatiek, 23 tahun,
atlit terjun payung kontingen PON IX Jawa Timur dijemput
sakratul maut dari jasad yang menyedihkan. Tubuhnya terkapar di
pojok Utara lapangan aspal parkir Timur, Senayan setelah
meloncat dari pesawat Cessna pada ketinggian 2800 kaki atau sama
dengan 854 meter. Tanpa sempat membuka payung utama ataupun
cadangan.
Ia memakai parasut jenis Irvin, buatan Inggeris. Kejadian itu
berlangsung cepat sekali - kira-kira 20 detik. "Saya tak melihat
tanda-tanda bahwa Tatiek akan menemui nasib malangnya siang itu
(kejadian sekitar jam 10.30)," cerita penerjun puteri Jakarta,
Olivia Bolang pagi itu keduanya masih sempat makan bersama di
kantin Hotel Hasta, tempat penampungan para olahragawati. "Ia
bahkan sempat bercanda akan mencoba meraih medali emas." Dari
beberapa kali penerjunan untuk nomor ketepatan mendarat,
ketrampilan. Tatiek masih tercatat di bawah kebolehan penerjun
puteri Jawa Barat maupun Jakarta.
Tatiek, puteri Letnan Satu (Pol) Sutaji, Dandis Wanggai,
Probolinggo tak begitu menonjol di kalangan penerjun PON IX.
Namun ia telah mencatat rekor penerjunan sebanyak 38 kali- satu
kali di antaranya terjun statik. Ibunya, nyonya Sutaji, tampak
kurang menyukai Tatiek memilih olahraga yang penuh risiko itu.
Menurut cerita atlit-atlit puteri Jawa Timur, nyonya Sutaji
hampir tak pernah lagi melihat puterinya terjun. Sejak ia jatuh
pingsan ketika menyaksikan Tatiek melakukan penerjunan.
Potong Rambut
Kejadian lain yang dituturkan almarhumah tentang olahraga yang
digandrunginya itu adalah ketika ia jatuh ke laut. Sementara ia
sendiri tak bisa berenang Bertolak dari kisah-kisah menegangkan
itu, pertanyaan pun terlontar ke alamat Tatiek. "Apa mbak Tatiek
tak takut terjun?" tanya salah seorang di antara mereka. "Kalau
sudah ajal di mana pun juga kita akan mati," jawab Tatiek
seperti yang dituturkan kembali oleh Jeanny Sumampouw, pelari
jarak menengah tim atletik Jawa Timur.
Kenangan yang tinggal di hati para olahragawati Jawa Timur
tersebut, bukan hanya itu. Malam sebelum kejadian itu, beberapa
orang dari mereka masih minta dipotongkan rambut sama Tatiek --
ia memang biasa melakukan itu untuk teman-temannya. Saat itu
pulalah pada mereka diperlihatkan Tatiek foto pacarnya, Iwan -
teman sekuliah di Akademi Bank dan Management, Malang. Tatiek
duduk di tingkat III.
Bagi teman sekamarnya, Rini Dwi Retnaningsiwi, pemain tenis Jawa
Timur, tingkah laku Tatiek, olahragawati yang berperawakan
terkecil di dalam kontingen menjelang nasib naas menimpa itu
adalah bahwa malam itu, ia tak lagi meletakkan foto Iwan di
bawah bantal tidurnya. "Malam-malam sebelumnya, ia selalu
meletakkannya di sana," penuturan Rini kepada Linda Djalil dari
TEMPO. "Juga tanda peserta PON IX yang selalu dipakainya, hari
itu tertinggal di lemari."
Kepada Rini, almarhumah juga menceritakan bahwa ia selalu
menunggu surat dari Iwan dan ibunya. Surat ibunya itu ternyata
tiba ahirnya. Hanya saja ia tak sempat lagi membacanya - surat
itu datang jam 10 di Hotel Hasta ketika dia sudah bersiap-siap
untuk terjun. Penerjun pertama pagi itu adalah Ilin Rino dari
Sumatera Utara, kemudian disusul oleh Widyasanti, penerjun
Jabar. Baru setelah itu, Tatiek.
Ia hanya berencana untuk meraih medali emas dan menanti surat.
Tapi, nasib menghendaki lain. Kendati pagi menjelang
keberangkatannya ke tempat pertandingan, ia telah memohon kepada
rekan-rekannya, untuk mendoakan agar dirinya selamat.
Ketika berita kecelakaan Tatiek penyebabnya masih diselidiki
panitia meski payung yang dipakainya tak ada kelainan - sampai
di Hotel Hasta, tim atletik puteri Jawa Timur tertunduk sedih.
Kenangan akan ucapan Tatiek yang mengatakan bahwa olahraga
terjun payung itu lebih enak dari atletik, karena "sekali terjun
istirahatnya panjang," kembali menggugah hari-hari terakhir
mereka dengan almarhumah. Karena Soehartatiek kini telah menemui
itu di sisi Tuhan. Ia adalah korban kecelakaan terjun payung
yang keempat sejak awal 1977. Tiga pendahulunya tewas dalam
latihan. Mereka adalah Eddy Wiyono (Surabaya), Budi
Soeryosoemarno (Jakarta) dan Soehartono (Malang).
Yang juga hampir bernasib malang, selang sehari sepeninggal
Tatiek, adalah penerjun puteri PON IX Sumatera Utara, Ilin Rino.
Peruntungannya nyaris berakhir pada kabel listrik tegangan
tinggi yang melintasi lapangan golf Senayan. Untung ia bisa
meloloskan diri di sela-sela kabel tersebut dan meloncat dari
ketinggian 10 meter tanpa parasut. Payung tersangkut di kabel
tersebut.
Menilik kejadian itu - juga pengendara kendaraan motor diminta
berhati-hati jika ada penerjun yang mendarat di jalan raya -
orang lantas bertanya-tanya, kenapa perlombaan terjun payung
tersebut harus diadakan di Senayan? Mengapa tidak di daerah
Halim Perdanakusuma yang sepi dari lalu-lintas umum maupun
bahaya sampingan lain, misalnya? Menurut H. Sukari, Wakil Ketua
Panpel Terjun Payung, penentuan tempat perlombaan itu ditetapkan
setelah memperhatikan semua kemungkinan itu. Jadi kalau ada yang
bernasib malang memang sudah suratannya, barangkali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini