"SUKMAWATI hanya sempat mendapat air susu ibu selama dua bulan.
Aku mulai ada tanda-tanda kehamilan lagi. Pada saat aku
mengandung Sukmawati aku mendengar berita selentingan, bahwa ada
seorang wanita memakai kerudung bersama-sama Presiden menuju
Istana Cipanas. Ceritera itu tidak aku tanggapi. Hal demikian
bisa saja terjadi sebab saat-saat itu aku tidak selalu dapat
mendampingi Bung Karno", demikian kisah Fatrnawati Sukarno dalam
otobiografinya, yang dibantu-tulis oleh penyair Sitor Situmorang
yang kini ada di Negeri Belanda.
P.T. Bivisco akan menerbitkan kisah Fatmawati ini sejak lahir
sampai tahun 1954 -- saat Ibu Negara meninggalkan istana untuk
tinggal menyendiri di Jalan Sriwijaya, Kebayoran.
Tentang kelahiran anak kelima, Muhammad Guruh Sukarno Putra,
Ibu Fat berkisah: "Ketika mulai tanda-tanda Guruh akan lahir,
Bung Karno dan aku sedang berada di serambi belakang Istana.
Bung Karno minum kopi sambil berbaring di kursi rotan panjang
menurut kebiasaannya. (Sudut ini sekarang ditutup dengan kaca
riben, sentral pendingin dan ada akuarium, Red.). Bung Karno
membaca koran, kemudian bangkit dari duduknya dan pamit akan
jalanjalan di kebun istana. Menjelang jam 12 siang lahirlah
Guruh, anak laki-laki yang kedua setelah Guntur. Semula Bung
Karno akan memberi nama Taufan. Aku tidak setuju. Guruh lahir
berkalung usus (menurut orang-orang tua, jika berpakaian apa
saja akan pantas)."
Dan tibalah kemudian prahara yang menimpa rumah tangga
Fatmawati-Sukarno. "Pada waktu kelahiran Guruh alias Irianto,
aku mengalami pendarahan yang susah dihentikan. Setelah bayiku
berumur dua hari aku sedang berbaring Idi tempat tidur,
datanglah Bung Karno. Bapak duduk dan kemudian berkata: "Fat,
aku minta izinmu. Aku akan kawin dengan Hartini." "Boleh saja,"
kataku menjawab, "tapi Fat minta dikembalikan pada orangtua. Aku
tidak mau dimadu dan tetap anti poligami." "Tetapi aku cinta
padamu dan juga cinta pada Hartini," demikian Bung Karno.
Sukarno kemudian menikahi Hartini. Tidak berhenti di sini saja.
Karena setelah Hartini, ada Ratna Sari Dewi, kemudian Haryati
dan sejenak dengan Yurike Sanger.
Prahara gara-gara orang ketiga dalam perkawinan mereka, dicatat
pula oleh Winoto Danuasmoro yang mengatur rumah tangga Bung
Karno. Tulisnya: "Sampai dengan lahirnya Mohammad Guruh, tahun
1954, keluarga Presiden rukun dan kelihatan bahagia sekali. Tetapi
setelah pecah berita Bung Karno akan menikah dengan Bu
Hartini, hubungan Bung Karno dan Bu Fat serta keluarga mulai
tegang dan renggang. . . Kemudian malahan beliau (Bu Fat) pindah
dari kamar di gedung utama Istana Merdeka ke pavilyun, yang
letaknya berdekatan dengan - Mesjid Baitul Rachim."
Fatmawati (ada yang berkata nama aslina Fatimah. Red.) lahir
pada tanggal 5 Pebruari 1923, dari suami-isteri Hassan Din dan
Siti Chatidjah. Tidak memiliki rumah sendiri (dan selalu menyewa
atau, menumpang), Hassan Din bukan orang berada. Kemelaratan ini
lebih-lebih lagi melanda ketika Hassan Din harus keluar dari
Borsumi dan aktif dalam gerakan Muhammadiyah di Bengkulu.
Pernah, ketika masih duduk di kelas II HIS Muhammadiyah,
Fatmawati berjualan ketoprak seusai sekolah. "Inilah jalan yang
aku tempuh untuk meringankan beban orangtuaku," tulisnya. Usia
12 tahun, sudah bisa dilepas di warung beras ayahnya.
Ketika usianya 15 tahun, Fatmawati bertemu dengan Sukarno.
Bahkan seluruh keluarga -- ayah, ibu, Fatma dan adik ayahnya --
naik delman mengunjungi rumah Sukarno di Curup. "Masih kuingat,
aku mengenakan baju kurung warna merall hati dan tutup kepala
voile kuning dibordir." Pendapat Fatmawati tentang Inggit, yang
waktu itu jadi isteri Bung Karno: "Inggit mempunyai pembawaan
halus, pandai tersenyum dan gemar makan sirih. Berpakaian rapi,
tak banyak reka-reka menurut model sebelum generasiku, memakai
gelur bono Priangan. Pada penglihatanku, Ibu Inggit seorang yang
tidak spontan, gerak-geriknya hati-hati. Bercakap pun demikian.
Matanya kelihatan seakan-akan suka marah dan kesal. Jika orang
tak kuat batin, rasanya susah berdekatan dengan beliau."
Tahun 1921 Sukarno sekolah di ITB Bandung. Tahun 1923 - menikah
dengan induk semang tempat dia menumpang makan, Inggit. Dalam
buku Cindy Adams tentang hal ini, ditulis atas persetujuan Haji
Sanusi, suami Inggit, waktu itu usia Bung Karno baru 22 tahun
dan Inggit 46 tahun.
Inggit sendiri memberi komentar tentang pertemuan pertamanya
dengan Fatmawati: "Kami banyak menerima orang ketika Kusno
(maksudnya Sukarno, Red.) dibuang di Bengkulu. Satu di antaranya
Fatmawati dengan kedua orangtuanya. Fatma tidak mau pulang,
minta tinggal bersama kami. Akhirnya saya ketahui, dia ada
hubungan dengan Kus." Tinggal di Bandung, usia Inggit kini sudah
94 tahun dan masih berdagang kecil-kecilan: jamu dan bedak
bikinannya sendiri. Karena tidak mau dimadu, Inggit terus pulang
ke Jakarta. Kemudian cerita Inggit: "Fatma mendapatkan
rumahtangga yang sudah jalan. Saya tidak bawa apa-apa ketika
keluar dari rumah Pegangsaan Timur. Cuma sepasang anjing mainan
saya dan tempat sirih pemberian Haji Sanusi."
Bertemu di tahun 1939, Sukarno akhirnya menikahi Fatmawati di
tahun 1942. Ketika keadaan Indonesia gawat oleh pendudukan
Jepang, terbanglah sepucuk telegram dari Jakarta ke Bengkuiu:
"Fatmawati nikah dengan wakil, yaitu saudara Opseter Sarjono,
tanggal . . ." Tanggal ini yang tidak diingat Fatmawati.
"Saat yang paling penting dalam kehidupanku, di saat-saat
menjelang proklamasi 17 Agustus 1945," demikian Fatmawati. Ibu
Negara ini yang menggunting dan menjahit bendera pusaka yang
kini disimpan. Di masa-masa pergolakan ada beberapa catatan
penting tentang soal yang bisa saja dianggap remeh-temeh.
Misalnya: "Kunjungan kami yang pertama ke luar negeri adalah ke
India. Aku ketika itu memakai perhiasan pinjaman dari isteri
Sekretaris Negara, seorang keturunan bangsawan kraton yang
kebetulan punya persediaan."
Tentang Yogya - dan Fatma berdiam di gedung yang kini namanya
Gedung Negara -- ia menulis: "Satu kali kami menjamu Merle
Cochran dengan perabot dan pecah-belah pinjaman dari kiri-kanan
dengan protokol 'perjuangan'nya." Artinya: protokol yang juga
sibuk pinjam taplak meja di rumah lain kalau kebetulan ada tamu
negara. Juga protokol yang, tanpa bisa dilihat oleh tamu negara,
bersembunyi dan memberi tahukan kepada Bung Karno, kapan dia
harus angkat gelas. Istana waktu itu memang bukan Istana yang
sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini