SELASA, 26 Juli malam, menjelang pertandingan esok, perut Donald
Pandiangan, 32 tahun, dililit rasa sakit. Ia mencret
berkali-kali. Tapi, "semua itu tak begitu saya hiraukan,"
cerita Pandiangan yang mewakili Indonesia dalam Olympiade 1976
lalu. Waktu itu ia menempai urutan ke-19. "Pesan pimpinan KONI
Pusat kepada atlit untuk memecankan rekor, terutama prestasi
dunia mengalahkan rasa sakit yang saya derita."
Di lapangan panahan, Senayan, esoknya tekad Pandiangan untuk
menjawab tantangan yang dilontarkan KONI Pusat memang tak
tergoyankan oleh rasa sakit yang masih merundung dirinya.
Bahkan ia berhasil mencatat prestasi yang lebih baik ketimbang
apa yang dicapainya, dua hari sebelumnya. Dalam pertandingan
hari pertama itu ia hanya sanggup mengumpulkan angka 309. Tapi
hari di saat kondisinya yang tak rancak. ia mampu meraih nilai
30. Ketika medali emas untuk nomor 70 meter ganda dikalungkan
di lehernya, ia tak begitu terkesiap. Karena ia tak menyangka
nilai 629 (rekor lama nasional 617) yang dicapainya telah
melampaui prestasi pemanah Polandia, Wojeiech Szyman yang
menciptakan rekor di Interlaken, Swiss, pada kejuaraan dunia
panahan tahun 1975. Nilai yang dikumpulkan Szyman adalah 626.
"Sama sekali tak saya kira bahwa rekor dunia telah saya
lampaui," kata Pandiangan yang baru tahu setelah membalik-balik
catatannya tentang pemegang rekor-rekor panahan dunia ketika
menjelang tidur -- biasanya ia selalu membawa bukunya ke
lapangan.
Tekad Pandiangan untuk mengejar prestasi dunia telah kesampaian,
memang. Tapi ketrampilan itu tidak sekaligus mengangkat dirinya
ke tempat terhormat. Menurut Persatuan Panahan Indonesia
prestasi Pandiangan tak dapat diakui sebagai pemecahan rekor.
Sebab pemecahan rekor dalam 70 meter ganda hanya diakui sah,
jika dilakukan dalam kejuaraan dunia. Ketika ketetapan itu
disampaikan oleh Perpani kepada Pandiangan, kegembiraan hatinya
mendadak ciut. "Saya sangat menyesalkan pengurus Perpani yang
tidak bisa menganggap resmi rekor saya," keluh Pandiangan dalam
logat aslinya, Tapanuli. Ia lalu membandingkan prestasinya
dengan kebolehan atlit angkat besi. Charlie Depthios yang juga
memecahkan rekor dunia pada PON VII di Surabaya, tahun 1969, dan
diakui resmi sebagai prestasi baru dunia, " padahal rekor itu
diciptakan Charlie juga tidak dalam turnamen dunia, bukan?"
lanjutnya.
Sesal Pandiangan yang sehari-hari menjadi karyawan Angkasa Pura,
Jakarta tak habis sampai di situ. Dorongan yang diberikan KONI
Pusat untuk menciptakan rekor baru, dibalikkannya kembali
bagaikan bumerang. "Pagi-pagi KONI menyuruh saya memecahkan
rekor, tapi setelah pecah kok malah tidak diakui," kata
Pandiangan sengit melihat perbaikan yang dilakukannya tak banyak
artinya bagi prestasi panahan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini