KALI ini giliran polisi melakukan terobosan baru dalam melaksanakan KUHAP. Jika KUHAP menyebutkan bentuk jaminan dari terdakwa untuk mendapatkan penangguhan penahanan hanyalah orang atau uang, Kapolsekta Medan Timur Kapten Pol. Syahrul, memperkenankan pula jaminan berupa surat tanah. Mengaku mendapat nasihat dari Dinas Hukum Polda Sumut, Syahrul berpendapat bahwa surat tanah itu bisa saja sebagai pengganti uang Jaminan yang disyaratkan undang-undang itu. Berkat penemuan Syahrul itu, pasangan kumpul kebo -- Juara Surbakti, 30 tahun dan Yusnita, 27 tahun -- 18 Desember lalu mendapat tahanan luar. Pasanganan itu sempat menginap di tahanan Polsekta selama tiga hari, karena tuduhan melakukan praktek muncikari dan menipu seorang gadis desa, Atik, 17 tahun. Menurut tuduhan itu, Yusnita beberapa bulan lalu berhasil membujuk Atik meninggalkan rumah orangtuanya di Desa Mambang Muda, Labuhan Batu, 290 km dari Medan. Gadis desa yang lugu itu tergoda karena ia dijanjikan pekerjaan enak di kota. Ternyata, janji itu gombal belaka. Setelah lebih dulu "dikursus" Juara berpraktek mesum, gadis yang masih perawan itu kemudian "dijajakan" sebagai cewek penghibur di Medan. Terakhir, anak buah Syahrul berhasil menangkap praktek Atik di sebuah losmen murahan di Jalan Sutomo, Medan. Dari pengakuan perempuan inilah kemudian polisi meringkus Juara dan Yusnita. Atik sendiri dipulangkan kembali ke desanya. Di tahanan polisi pasangan itu memohon penangguhan penahanan. Kapolsekta Syahrul meminta jaminan berupa uang sebesar Rp 1 juta. Tapi rupanya pasangan itu tidak punya uang kontan. Mereka menawarkan jaminan dalam bentuk lain, yaitu surat tanah tadi. Menariknya, Syahrul ternyata setuju. Bolehkah surat tanah dijadikan jaminan untuk penangguhan penahanan? Tak kurang dari Wakil Direktur LBH Medan, Alamsyah Hamdani, kagok mendengar model jaminan Polsekta Medan Timur itu. "Cara itu bisa menimbulkan ekses yang meluas. Janganjangan nanti pesawat teve, kulkas, cincin, atau mesin jahit, misalnya, bisa diboyong ke kantor polisi sebagai jaminan untuk penangguhan tahanan." Jika dampak seperti itu sampai terjadi, katanya, "maaf, kantor polisi bisa berubah menjadi Jawatan Pegadaian." Suara senada juga terdengar dari Abdul Muthalib Sembiring. Menurut Ketua Ikappin (Ikatan Pengacara Penasihat Hukum Indonesia) ini, seyogyanya polisi lebih mengutamakan jaminan orang daripada uang untuk menangguhkan sebuah penahanan. "Apalagi kalau pakai surat tanah segala," ujar dosen FH USU Medan itu. Menyepelekan unsur orang sebagai penjamin, menurut Muthalib, "rasanya tidak etis." Sebagai contoh, ia mengumpamakan seorang tersangka yang sama sekali tak punya uang atau surat berharga. "Apakah tertutup pintu baginya untuk menikmati penangguhan tahanan. Akibatnya, orang tak lagi sama di mata hukum," katanya bertubi-tubi. Sebaliknya, Kepala Dinas Penerangan Polda Sumatera Utara, Letkol. Pol. Yusuf Umar, menganggap tindakan Syahrul itu sudah tepat. Ia mengumpamakan seseorang yang tak punya uang jaminan sebesar yang ditetapkan polisi. "Apa salahnya jika ia menyodorkan surat berharga," kata Yusuf Umar. Surat berharga Juara dan Yusnita dianggap Yusuf bisa mengikat kedua tahanan itu tak melarikan diri. "Kalau mereka lari, alamat jaminan itu pun disita negara," kilah Yusuf. Teori Yusuf mungkin benar. Tapi batang hidung pasangan juara dan Yusnita itu tak lagi pernah kelihatan sejak mereka keluar dari tahanan polisi. Rumah mereka, di atas tanah yang suratnya sudah dijadikan jaminan itu, di Kelurahan Tembung, Percut Sei Tuan, Deli Serdang, 15 km dari Medan, selalu tampak terkunci tanpa penghuni. Mudah-mudahan saja polisi tidak tertipu. Bersihar Lubis & Affan Bey (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini