HARI yang diharapkan membawa kedamaian bagi STM Strada di Jalan
Rajawali Selatan, Jakarta, ternyata justru sebaliknya. Kamis, 29
September, diharapkan ke-18 guru yang diskors sejak 15
September masuk kembali seperti biasa. Ternyata para guru itu
tetap bertahan pada tuntutan mereka, dan akibatnya pintu sekolah
ditutup. Maka, skorsing diperpanjang sebulan. Malahan ada 7 guru
dalam proses diberhentikan, tutur Sulaksno, penjabat kepala STM
tersebut.
Pangkal persoalan muncul awal tahun ajaran 1981-1982. Di tahun
ajaran itu, STM swasta yang terbilang baik di Jakarta itu
memperpanjang jam praktek, dari pukul 13.00 menjadi sampai pukul
15.00. "Ini agar anak-anak kami begitu lulus sudah siap kerja,"
kata Sulaksno pula, yang baru setahun menduduki jabatan kepala
sekolah.
Perpanjangan jam praktek itu berjalan lancar. Buktinya, sampai
habis tahun ajaran 1981-1982 tak terjadi apa pun. Baru dua bulan
tahun ajaran ini berjalan, muncul keresahan. Sejumlah guru minta
jam kerja dikembalikan seperti semula, hanya sampai pukul 13.00.
Mereka pun minta gaji ke-13. Tapi rupanya tuntutan ke-18 guru
itu - STM ini punya sekitar 40 guru - tak bersambut. Sayangnya,
para penuntut, menurut Sulaksno, lantas berbuat seenaknya.
"Mereka suka datang terlambat, dalam mengajar lebih banyak
menganggurnya, " kata Sulaksno. Beberapa kali surat peringatan
dilayangkan, tapi tak ada perubahan apa pun. Kejengkelan
Sulaksno memuncak ketika, pada 29 Agustus, ke-18 guru
ramai-ramai meninggalkan pelajaran, pergi ke Kantor Wilayah P &
K DKI Jakarta, meneruskan tuntutan mereka.
Maka Sulaksno, 33 tahun, melapor ke Yayasan Bina Teknik, pendiri
sekolah ini. Rapat pun diadakan, dan akhirnya turunlah surat
skorsing untuk ke-18 guru itu. Diakui Sulaksno, ini merugikan
siswa. "Tapi pemecahan yang lain sulit karena mereka sukar juga
diundang bermusyawarah," katanya. Tak enaknya lagi, sekitar 100
siswa dari seluruhnya 320 siswa ikut-ikutan mogok belajar.
Seorang guru yang ikut diskors dan tak mau disebutkan namanya
memberi penjelasan kepada TEMPO. Tuntutan gaji ke-13 cuma kedok,
katanya. Yang penting bagi mereka, STM Strada dikembalikan jam
belajarnya sesuai dengan Kurikulum 1976, yaitu cuma sampai pukul
13.00. "Dengan tambahan jam praktek, siswa tak bisa konsentrasi.
Pokoknya, menghambat pendidikan," ujarnya lebih lanjut. "Yang
kami tuntut demi siswa bukan uang."
Dan sesungguhnya, para orangtua murid sangat setuju jam praktek
ditambah. "Aneh, sekolah yang mencoba menyiapkan lulusannya
malah tak disetujui," kata Tjoegito, 61 tahun, salah seorang
wali murid. STM swasta yang memungut uang sekolah Rp 10 ribu
sampai Rp 25 ribu per bulan ini termasuk yang memperhatikan
kesejahteraan karyawannya. Di sekolah ini, yang juga mendapat
pemasukan uang dari buka bengkel, guru digaji Rp 79 ribu sampai
Rp 300 ribu tergantung prestasi, beban kerja, dan masa kerjanya.
Jadi, apa soalnya? Sayup-sayup muncul dugaan Marbun bahwa mereka
iri terhadap prestasi guru-guru muda. Ke-18 guru itu rata-rata
memang telah lebih dari 5 tahun mengajar di sekolah yang berdiri
pada 1969 ini. Sementara itu, misalnya, ada Robby Santosa, 25
tahun, alumnus STM Strada, yang setelah lulus dari Akademi
Teknik Malang kembali ke STM ini, diangkat menjadi manajer Mesin
Otomotif. Tapi itu baru dugaan. Baik pihak STM maupun yayasan
belum paham benar tentang latar belakang soal ini.
Hingga akhir bulan lalu belajar-mengajar di sekolah ini memang
belum normal. Meskipun demikian, sudah ada janji dari para siswa
untuk kembali masuk seperti biasa Sementara itu, reaksi dari
pihak P & K DKI memang sangat formalistis. Kakanwil mengimbau
untuk kembali menjaankan Kurikulum 1976, dan persoalan
diselesaikan secara musyawarah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini