MOBIL yang kami tumpangi berbelok memasuki jalanan berbatu setelah setengah jam melaju dari Kota Cotabato. Jalan beraspal hanya sampai di pinggiran kota. Tak salah jika Muslimin Semma meminjamkan Land Rover miliknya untuk perjalanan ini. "Pakailah, di sini tak ada Jagorawi," kata Wali Kota Cotabato itu, yang sempat beberapa kali datang ke Jakarta. Ia tetap mendesak, kendati awalnya saya menolak dengan halus.
Kemudian saya mengerti mengapa ia ngotot. Hanya dalam hitungan menit, ruas jalan kian buruk. Batu-batu pengeras jalan berserakan, digeletakkan begitu saja, tanpa bantuan mesin penggilas. Saya dan Abdurahman Semma, pemandu jalan menuju salah satu kamp Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) itu, terbanting ke kanan dan ke kiri.
Di bagian belakang mobil, keadaan seharusnya lebih gawat dengan kursi yang berhadapan. Tapi empat orang anak buah Abdurahman itu justru terlihat tenang. Seorang malah santai menutup mata menikmati perjalanan. Di tangan masing-masing tergenggam erat senapan serbu M-16 atau AK-47. Terkokang, tanpa kunci. Saya sebenarnya khawatir senjata itu meletus tak sengaja akibat guncangan.
Tak lama kami tiba di sebuah dataran lapang di tengah kebun kelapa. Mobil berhenti. Hanya lima menit berjalan kaki ke dalam kebun, kami sampai ke sebuah perkampungan kecil. "Welcome to Camp Remember Me", sebuah papan kayu terpaku ke pokok kelapa. Ternyata inilah kamp tempat pasukan sipil bersenjata, anak buah Muslimin Semma, bermarkas. Selain seorang wali kota, Muslimin memang petinggi MNLF, gerakan pembebasan yang dulu pernah dipimpin Nur Missuari.
Sama sekali tak tampak bahwa tempat ini sebuah kamp militer, sampai pandangan saya terantuk onggokan senjata di sebuah pos penjagaan. Berbagai senjata, mulai dari aneka pistol, AK-47, hingga senjata berat howitzer dan pelontar roket, bertebar di sana. Apalagi setelah pemimpin kamp, seorang keturunan Bugis bernama Sayiti, datang bersama puluhan anak buahnya. Semua menyelempangkan AK-47 atau M-16 di bahu. "Yang itu juga tamu dari Indonesia," tutur Sayiti, pria kekar awal 50-an, menunjuk beberapa orang yang tergabung bersama anak buahnya. Saat saya melontarkan senyum, orang-orang yang disebut dari Indonesia itu membalas.
Ratusan kamp seperti ini terdapat di Filipina Selatan, dimiliki baik oleh MNLF, Front Pembebasan Islam Moro (MILF), maupun para tuan tanah. Jadi, kalau Imam Samudra dan kawan-kawan, tertuduh kasus peledakan di Bali yang akan segera disidangkan itu, mengaku sempat berlatih militer di Mindanao, mungkin saja bukan omong kosong. Tak terlalu sulit untuk mendatangi kamp-kamp pelatihan, bahkan ikut berlatih.
Bila Muslimin Semma yang sudah resmi menjadi wali kota pemerintah otonomi saja masih mempertahankan kampnya, apalagi orang-orang dari MILF. Kalangan yang kerap terlibat konfrontasi dengan pemerintah Filipina ini bahkan memiliki puluhan kamp. Menjelang perjanjian gencatan senjata dengan pemerintah pada 1997, MILF mengklaim memiliki 46 buah kamp. Kamp-kamp ini tersebar di 17 provinsi serta 2 kota, Palawan dan Mindanao.
Berbeda dengan klaim MILF, pemerintah Filipina sendiri saat itu hanya mengakui keberadaan tujuh kamp, meliputi wilayah seluas 4.517 kilometer persegi atau sekitar 452 ribu hektare. Ada lima kamp di Provinsi Maguindanao: Abu Bakar, Busrah Somiorang, Umar bin Khattab, Badar, dan Darapanan. Dua lainnya: Kamp Bilal bin Rabah di Lanao del Norte dan Kamp Rajah Muda di Cotabato Utara. Menurut versi pemerintah, tujuh kamp MILF itu dihuni 35 brigade pasukan bersenjata, terbagi menjadi 204 batalion, dengan 267 ribu jiwa lebih rakyat sipil.
Ada perbedaan mencolok antara kamp milik MNLF dan yang dikelola MILF. Kamp MNLF benar-benar dibuat untuk keperluan militer, sedangkan kamp MILF dibangun sebagai sebuah komunitas. Layaknya sebuah kota mandiri, kamp-kamp ini dilengkapi sarana keagamaan, sosial ekonomi seperti pasar, sekolah, pesantren, penjara, dan gedung pengadilan syariah, serta tentu saja sarana militer sebagai alat pertahanan. Tak salah bila ada yang berkata, di daerah-daerah yang dihuni kaum muslim, MILF sudah seperti pemerintahan bayangan.
Kamp terbesar yang dimiliki MILF adalah Kamp Abu Bakar. Kamp ini sebenarnya gampang didatangi, hanya sekitar 90 menit berkendaraan dari Kota Cotabato. Beberapa kilometer bisa dilewati kendaraan biasa, selebihnya jalanan yang berlumpur hanya bisa dilalui mobil jenis 4x4, yang lazim dipakai untuk off road. Para penghuni sendiri biasanya menumpang sejenis ojek dari sepeda motor Kawasaki trail, bila mereka hendak keluar kamp.
Wilayah kamp ini membentang sepanjang 40 kilometer, memayungi tujuh kota dari Maguindanao hingga Provinsi Lanao del Sur. Luasnya sekitar 10 ribu hektare, termasuk daerah berhutan di Sitio Tugaig. Di sini terdapat Akademi Dedis, sebuah akademi militer milik MILF yang terkenal. Bila benar Imam Samudra dan kawan-kawan sempat mendapatkan latihan dari MILF, bisa jadi Dedis-lah yang mereka maksud. Tempat ini memang sering membuka kursus singkat kemiliteran. Pernah suatu ketika, akademi ini meluluskan 45 orang dari seputaran Mindanao untuk sebuah kursus singkat yang hanya berbiaya 150 peso per orang. Di Dedis ini pula Kepala Staf Angkatan Bersenjata Rakyat Islam Moro (BIAF), Ibrahim Murad, dulu berkantor.
Bushra Somiorang adalah kamp kedua terbesar yang dimiliki MILF. Terletak di Butig Town, Provinsi Lanao del Sur, kamp ini lebih tersembunyi dibanding Kamp Abu Bakar. Untuk mencapainya, orang harus mendaki jalan perbukitan yang licin selama berjam-jam.
Seorang penulis Filipina, Marites Vitug, yang datang ke sana sebelum kamp ini hancur, menulis bahwa dia menemukan banyak anak kecil bermain perang-perangan. Persis anak-anak Ambon ketika konflik antaretnis terjadi beberapa waktu lalu. Di gerbang kamp, traktor bantuan pemerintah teronggok sebagai barang publik. Sebuah masjid besar sengaja dibangun di sebuah ketinggian, menjadi tempat warga kamp untuk bertemu. Menurut Vitug, saat itu puluhan pemuda tengah berlatih kemiliteran. Waktu azan berkumandang, mereka semua menghentikan kegiatan dan melakukan salat siang.
Kamp-kamp tersebut kadang menjadi tempat pembuatan senjata. Seorang tamatan Dedis umumnya sanggup membuat peluncur granat jenis RPG (rocket propelled grenades) ukuran 95 sentimeter, yang berkualitas sebaik asal impor. RPG memang menjadi senjata khas yang selalu hadir di setiap kamp.
Namun, kecuali kamp kecil tempat muslim Moro bertahan, kamp-kamp besar kini umumnya tinggal puing.
Kamp Abu Bakar runtuh pada Juli 2000. Gempuran berbagai artileri berat dari Angkatan Bersenjata Filipina selama berbulan-bulan memaksa gerilyawan MILF meninggalkan Abu Bakar. Di sana, tanggal delapan bulan itu, mantan presiden Estrada menaikkan bendera Filipina di pucuk sebatang bambu. Sayangnya, tak hanya bombardir dan runtuhnya masjid yang melukai hati rakyat Moro. Perayaan kemenangan yang ditandai pesta makan babi dan minum bergalon-galon bir yang dipimpin langsung Estrada membuat sayatan itu kian dalam.
Masjid besar di ketinggian Bushra juga telah musnah. Dua tahun lalu masjid ini dibom hingga rata. Foto-foto tatkala pasukan AFP merayakan kemenangan di sana mengingatkan Marites Vitug pada masa kolonialisme Amerika di Jolo dulu. Saat itu, tentara Amerika di perbukitan Jolo memperlihatkan ratusan tengkorak kepala orang Moro yang terjejer rapi, menyerupai anak tangga.
Memang tak hanya kaum muslim Filipina yang menyayangkan hal itu. Pendeta Eliseo Mercado, Rektor Notre Dame University dan Kepala Komisi Pencari Fakta untuk Persetujuan Gencatan Senjata antara Pemerintah dan MILF (1997), juga melihat cara provokatif itu hanya membuat persoalan menjadi makin runyam.
Pendeta Mercado mengenang, perang terakhir MILF-AFP itu dimulai dari Kauswagan pada pertengahan Maret 2000. Tak lama kemudian merambah ke Lanao del Norte, lalu ke Lanao del Sur, Maguindanao, hingga Cotabato Utara. Jutaan peso uang pemerintah menghujani MILF dalam bentuk ledakan bom, roket, dan peluru. Tak bisa dihitung bangunan?yang sebagian didirikan pemerintah sendiri?runtuh jadi puing. Jutaan manusia harus mengungsi, sementara ribuan orang yang kasip dari kedua belah pihak, tewas. "Estrada saat itu layaknya Kaisar Nero, yang membakar Roma hanya untuk mencari hiburan," kata Mercado. Matanya basah.
Memang, meski tak sebesar dulu, hingga kini Kamp Abu Bakar masih ada. Dengan nama lain, tentu. Pemerintah membangun kembali kamp itu sebagai tempat hidup para pengungsi Moro. Presiden Gloria Arroyo kemudian memberinya nama Kamp Duma Sinsuat, dari nama seorang muslim pertama yang masuk kabinet Filipina di zaman Presiden Diosdado Macapagal, ayah Arroyo.
Adapun para pengisi kamp sebelumnya sebagian kini kembali bergerilya ke hutan-hutan. Tidak sebagaimana yang diinginkan Estrada ketika menggempur kamp-kamp tersebut, mereka kini justru menciptakan aksi-aksi yang lebih radikal daripada sebelumnya.
Darmawan Sepriyossa (Cotabato, Filipina)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini