Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pendiri Sekolah Megana dan pegiat homeschooling Mercy Sihombing berbagi perspektif tentang homeschooling komunitas dalam seminar bertema Pendidikan Anak di Masa Revolusi Industri 5.0 yang diadakan oleh Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta pada Kamis, 4 Mei 2023.
Sering disebut sekolah rumah dan sekolah fleksibel, homeschooling komunitas merupakan bentuk yang lebih luas dari homeschooling tunggal dan majemuk. Komunitas yang dimaksud adalah banyak keluarga yang bekerja sama dalam pembelajaran untuk anaknya. Pembelajaran di Sekolah Megana merupakan bentuk homeschooling komunitas yang dinaungi lembaga.
Dalam pemaparannya, dia menyebutkan keunggulan homeschooling komunitas adalah penerapan kurikulum yang sesuai minat, bakat, dan fleksibilitas siswa, juga metode belajar yang sesuai kemampuan, kebutuhan, dan potensi siswa. Bentuk sekolah ini dianggap sebagai antitesis dari sekolah formal.
Mercy mendirikan Sekolah Megana pada 2004 atas anjuran Disdik Provinsi DKI Jakarta dalam bentuk Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), yaitu lembaga pendidikan informal tempat diselenggarakannya ujian kesetaraan atau biasa disebut ujian paket.
“Semua homeschooling komunitas itu ada persyaratan administrasinya, jadi nggak sembarangan, karena dipantau penuh oleh Dinas Pendidikan. Ada izin dari Disdik, ada kurikulum, dan tutornya berpendidikan minimal S1. Kemudian, kita harus memberikan laporan perkembangan belajar siswa secara rutin ke Disdik dan mengikuti Ujian Nasional,” paparnya pada Kamis, 4 Mei 2023.
Dari sekian banyak metode pembelajaran yang diterapkan di sekolah, Sekolah Megana menggunakan metode virtual. “Metode virtual homeschooling melibatkan penggunaan teknologi digital. Video conference, pembelajaran online, software, dan sebagainya yang memungkinkan anak belajar jarak jauh dengan bimbingan tutor,” ujarnya.
Dia mengatakan, salah satu misi Sekolah Megana adalah membantu siswa-siswa agar memiliki peluang besar dalam berkuliah di universitas-universitas terbaik, yakni ke perguruan tinggi negeri (PTN) atau bahkan ke luar negeri.
Lebih lanjut, dia berkata Sekolah Megana memiliki sistem yang mempersiapkan siswa untuk kuliah di luar negeri. Siswa di sekolah ini akan mendapatkan ijazah yang setara dengan sekolah formal, persiapan ujian standardisasi internasional seperti A Level/SAT/ACT/IB, dan persiapan tes IELTS.
Selain persiapan untuk kuliah ke luar negeri, dia menyebutkan bahwa keunggulan lain dari homeschooling adalah efektivitas waktu, sehingga waktu yang tersisa dapat digunakan untuk mengembangkan minat dan bakat siswa.
“Siswa di sekolah konvensional menghabiskan 6.480 jam untuk menyelesaikan SMP dan SMA, sementara di homeschooling cukup 1.440 jam. Artinya, siswa kita dukung untuk gali minat dan bakatnya,” ucapnya.
Biaya homeschooling di sekolah yang bernama formal PKBM MercySmart ini berbeda tiap jenjang, dan tersedia subsidi silang. Untuk Sekolah Dasar (SD), dituntut biaya Rp 1 juta per bulan dengan subsidi 40 persen. Sedangkan, Sekolah Menengah Pertama (SMP) memiliki harga Rp 1,5 juta per bulan dengan subsidi 30 persen dan Sekolah Menengah Atas (SMA) seharga Rp 2 juta per bulan dengan subsidi 20 persen. Terdapat juga kelas internasional seharga Rp 5 juta per bulan tanpa subsidi.
Homeschooling hingga Kuliah di Luar Negeri
Dalam kesempatan ini, dua alumni Sekolah Megana berbagi pengalamannya mengenyam pendidikan homeschooling hingga mendapatkan beasiswa ke universitas luar negeri. Salah satu alumni adalah Ruth Christie Kirana yang mendapat beasiswa dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk berkuliah di Tsinghua University di Cina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruth yang lulus dari program Master of Public Policy di umur 21 tahun ini mengatakan bahwa latar belakang pendidikan homeschooling membuatnya unik dan menonjol dari kandidat beasiswa lain. “Saya bisa terpilih karena sistem pendidikan dan metode pendidikan yang selama ini saya jalani,” ungkapnya.
Menurut dia, agar dapat meraih beasiswa untuk kuliah ke luar negeri, seseorang harus mengenali diri sendiri. Artinya, harus mengetahui keunikan masing-masing dan apa yang telah dilakukan dengan kelebihan itu. “Yang aku tahu dari homeschooling adalah kita terbiasa berproses mandiri, sehingga tidak membebankan orang lain. Semua kelebihan dan kekurangan yang kita punya itu harus kita yang tau,” ucapnya.
Selain Ruth, alumni Sekolah Megana lainnya adalah Andre Christoga Pramaditya, mahasiswa program studi fisika di Universitas Indonesia (UI). Dia berhasil masuk kuliah pada usia 16 tahun. “Saya dulu SMA juga homeschooling, dan itu bikin saya bisa punya waktu luang untuk menjalani hal-hal yang memang lebih menarik buat saya,” ujarnya.
Andre memutuskan untuk menjalani homeschooling agar memiliki banyak waktu untuk mengasah bakat dan minatnya, dan tidak perlu menghabiskan banyak waktu di sekolah. “Jadi saya bisa meng-update hal-hal yang bisa membantu masa depan saya, dan juga tetap mendapatkan pendidikan yang cukup buat saya,” lanjutnya.
Pada semester sebelumnya, dia menjalani kuliah sambil bekerja remote, beraktivitas di organisasi mahasiswa, dan mempertahankan indeks prestasi yang baik. Pada Agustus nanti, dia akan berkuliah di Belanda selama satu semester dengan beasiswa Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA).
Baginya, jika bukan karena homeschooling, dia mungkin akan merasa keteteran dalam menyeimbangkan semua kegiatannya. “Ini karena sistem pendidikan saya yang mendukung itu sejak saya kecil,” imbuhnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini