Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sederet Pendapat Soal Turunnya Tingkat Partisipasi Pemilih pada Pilkada 2024

Akademisi menilai menurunnya partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 disebabkan oleh pemilih yang sudah jenuh dengan pemilihan.

4 Desember 2024 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOMISIONER Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI August Mellaz mengatakan partisipasi pemilih pada pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024 di bawah 70 persen. Dalam pernyataannya di Jakarta pada Jumat, 29 November 2024, dia menuturkan angka tersebut masih dapat dikategorikan normal.

Namun sebelumnya pada 23 November 2024, Komisioner KPU RI Idham Holik mengungkapkan lembaganya menargetkan tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 mencapai 82 persen.

Menurut catatan KPU, 81,78 persen pemilih menggunakan hak pilihnya pada pemilu presiden (Pilpres) 2024; kemudian 81,42 persen untuk pemilu anggota legislatif (pileg); dan 81,36 persen untuk Pemilu Anggota DPD RI.

Akademisi Sebut Keserentakan Pemilu Perlu Dikaji Kembali

Guru besar Ilmu Politik Universitas Andalas (Unand), Asrinaldi, mengatakan menurunnya partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 disebabkan oleh pemilih yang sudah jenuh dengan pemilihan-pemilihan.

“Puncak dari euforia pemilihan itu adalah di pilpres. Setelah itu, turun ke pileg (pemilu anggota legislatif) karena mereka sangat dekat dengan calon-calon. Nah, ketika pilkada, mereka sudah jenuh,” ujar Asrinaldi saat dihubungi dari Jakarta pada Selasa, 3 Desember 2024.

Dia berpendapat kejenuhan dapat terjadi karena pemilih tidak menganggap tidak berpartisipasi untuk menggunakan hak pilih dapat memberikan konsekuensi tertentu.

“Mungkin mereka berpikir bahwa, ya, tidak ada konsekuensi apa-apa dari pilihan-pilihan yang mereka buat, baik memilih maupun tidak memilih, sehingga mereka enggak datang pun enggak ada persoalan bagi mereka. Itu barangkali juga penting untuk kita cermati,” katanya.

Karena itu, Asrinaldi memandang perlu mengkaji ulang keserentakan pemilihan umum (pemilu) untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota serta kepala daerah.

“Barangkali terkait dengan keserentakan ini perlu dikaji. Kalau dikaji kan bisa kita pahami dengan baik,” tuturnya.

BRIN: Keterlibatan Publik pada Proses Pencalonan Pengaruhi Partisipasi

Menurut Peneliti Utama Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor, keterlibatan publik dalam proses pencalonan kepala daerah akan mempengaruhi partisipasi pemilih dalam pilkada.

Dia menuturkan hal yang kadang dilupakan adalah keterlibatan publik atau setidaknya rasa terlibat masyarakat dalam pilkada masih rendah, karena pencalonan hanya urusan partai-partai politik (parpol) atau elite politik semata, sehingga keinginan konstituen kurang didengarkan dalam menentukan calon pemimpinnya.

“Ya terbukti, misalnya, kalau ada problem atau masalah yang ditemui mantan presiden, bukan malah menukik kepada keinginan masyarakat, jadi publik merasa pilkada seperti datang ke restoran dan dia harus memilih tetapi menunya sudah ditentukan, sehingga sejak awal rasa terlibatnya kurang,” kata Firman di Jakarta pada Selasa.

Daripada sekadar mengubah aturan atau merevisi UU Pemilu dan Pilkada, kata dia, lebih baik parpol mengubah kebiasaannya dengan mengajak konstituen atau calon pemilih menentukan calon pemimpinnya.

Peneliti senior itu mengungkapkan kebiasaan parpol memilih calon yang terkesan instan dan tidak dekat dengan masyarakat membuat calon pemilih enggan datang pada hari pemungutan suara, sehingga berujung dengan partisipasi pemilih yang rendah.

“Ya, makanya muncul calon yang tidak populer, misalnya, yang kontroversial, yang tidak mengakar. Jadi dipilihnya kandidat mungkin hanya karena faktor deal politik antarpimpinan parpol,” ujarnya.

Faktor kejenuhan masyarakat melihat dinamika sosial-politik juga mempengaruhi tingkat partisipasi dalam pilkada. Meskipun hal itu tetap harus diteliti lebih lanjut apakah memang karena faktor kejenuhan atau ada sebab lainnya.

Efek Kelelahan Parpol pada Partisipasi Pemilih di Pilkada 2024

Pakar Ilmu Politik Universitas Brawijaya (UB), Muhammad Faishal Aminuddin, menilai kelelahan parpol berefek pada menurunnya partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 dibandingkan Pemilu 2024.

“Saya melihat dalam kasus Indonesia, sebenarnya yang capek adalah partai dan kandidatnya karena mereka maraton mengusung calon presiden, calon gubernur, dan kepala daerah kabupaten/kota, serta kandidat anggota DPR dan DPRD mereka sendiri,” kata Faishal saat dihubungi dari Jakarta, Selasa, 3 Desember 2024.

Dia berpendapat kurang maksimalnya partai politik dalam berkampanye karena minim suplai logistik akibat sudah dihabiskan pada Pemilu 2024 membuat penurunan partisipasi pemilih pada Pilkada 2024. Penyebab lainnya adalah tidak samanya koalisi partai politik pada pilkada provinsi dan kabupaten/kota, yang membingungkan pemilih.

Meski demikian, dia mengatakan munculnya pandangan menurunnya partisipasi pada pilkada disebabkan fenomena voters fatigue atau kelelahan dalam memilih perlu ditelaah lebih lanjut.

“Jangan-jangan persoalan yang membuat orang tidak datang ke TPS (tempat pemungutan suara) itu disebabkan oleh hal-hal lain, misalnya sosialisasi dari penyelenggara yang kurang inovatif. Mereka hanya pasang baliho di sana sini, tetapi tidak banyak menyentuh platform digital yang langsung masuk dalam beranda hidup pemilih,” ujarnya.

Sementara itu, dia menjelaskan fenomena kelelahan dalam memilih bisa terjadi ketika pemilu diselenggarakan terlalu sering, yakni dalam satu waktu terdapat lebih dari satu pemilihan di semua tingkatan dan jabatan publik.

Peran Pendidikan Politik Cegah Kejenuhan Pemilih

Menurut pakar Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Ardli Johan Kusuma, pendidikan politik dapat mencegah kejenuhan pemilih pada pemilihan umum di masa datang.

"Menumbuhkan kesadaran politik pada masyarakat melalui pendidikan politik bahwa keterlibatan mereka dalam penentuan kepala daerah sangat diperlukan," kata Ardli saat dihubungi dari Jakarta pada Selasa.

Dia juga mengatakan pasangan calon kepala daerah yang berkualitas dan mampu menumbuhkan simpati maupun kepercayaan publik dapat meminimalkan kejenuhan pemilih.

“Sehingga masyarakat secara sadar akan menggunakan hak pilihnya sebagai sebuah kebutuhan menjadi warga negara,” ujarnya.

Ardli menjelaskan ada beberapa faktor yang memicu terjadinya kejenuhan pemilih pada Pilkada 2024, yakni kompleksitas mekanisme pemilu hingga durasi kampanye yang menyebabkan banjir informasi.

“Namun ada satu penyebab utama yang saya lihat dalam konteks rendahnya partisipasi pemilih pada saat pilkada, yaitu munculnya anggapan bahwa pemilihan kepala daerah tidak akan memberikan dampak yang signifikan untuk mereka atau dengan kata lain masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap para calon kepala daerah,” ujarnya.

Dia mengatakan hal tersebut berbeda dengan pilpres ketika masyarakat meyakini presiden dan wakil presiden terpilih dapat berdampak nyata dengan kebijakan-kebijakan berskala nasional.

Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Kapolrestabes Semarang Siap Dievaluasi Buntut Polisi Tembak Siswa SMK

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus