Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah masjid kuno masih berdiri tegak di Desa Bayan Kabupaten Lombok Barat Nusa Tenggara Barat. Masjid Bayan Beliq itu konon sudah berdiri sejak abad 17 atau sekitar 300 tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekhasan masjid kuno itu tampak dari dindingnya yang dibuat dari bambu setinggi satu meter dan beratap santek yang juga dari bambu. Lantainya masih tetap asli tanah yang dipadatkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Desa Bayan Satriadi mengatakan masjid itu merupakan salah satu peninggalan sejarah. Desa Bayan memang menjadi salah satu pintu masuknya Islam ke Lombok.
Karena itu, tak heran banyak wisatawan yang datang ke Lombok menyempatkan singgah di masjid kuno itu. "Hanya selama pandemi saja yang berkurang jumlah pengunjungnya," kata dia, Selasa, 19 April 2022.
Tempat salat di masjid itu beralaskan tikar anyaman. Di sana juga ada bedug berbentuk bulat lonjong berukuran garis tengah 750 sentimeter dan panjang 1,5 meter yang digantung dengan rotan. Di seberangnya, ada mimbar kayu berkepala naga. Di atas, tepat di tengah yang ditopang oleh empat tiang bulat berukuran besar dengan hiasan burung dara, angsa dan ikan.
Bagi yang ingin merasakan ibadah di sana, sayangnya tak bisa bebas. Sebab, masjid itu tidak dibuka setiap waktu. Masjid tersebut digunakan pada waktu tertentu, terutama pada saat dilakukan upacara adat.
Selain itu, tak semua umat Islam bisa sembahyang di sana. Yang sembahyang di sana hanya para kiai mulai dari kiai pengulu, kiai Ketip, kiai Lebe, kiai Modin, kiai raden dan kiai santri.
Pada Ramadan ini, salat tarawih di masjid kuno hanya diikuti para kiai adat dan tidak ada jemaah lain sebagaimana pemeluk Islam umumnya. Para kiai adat yang datang ke sana berasal dari dusun dan desa di sekitar Bayan.
Hal menarik lainnya, menurut Satriadi, pelaksanaan ibadah masyarakat adat di masjid Bayan ini dilangsungkan setelah tiga hari dari umat Islam pada umumnya. "Jaraknya tiga hari setelahnya," ujarnya. Masyarakat adat Wetu Telu di sana menetapkan awal puasa Ramadan dan Lebaran berdasarkan perhitungan jumlah hari, bulan dan tahun adat. Biasanya waktunya lebih lambat tiga hari dari penetapan pemerintah.