Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPAT pembuangan akhir sampah seperti di Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, pada masa pandemi Covid-19 tak hanya kebanjiran limbah rumah tangga, tapi juga sampah medis berupa masker. Fakta itulah yang menginspirasi Arifin Nur, peneliti di Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia di Bandung, bersama enam koleganya mengembangkan rekayasa teknologi berupa insinerator atau alat pembakar sampah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Insinerator ini dibuat khusus untuk membakar sampah yang mengandung risiko infeksi Covid-19, seperti masker dan alat pelindung diri (APD) lain. Menurut Arifin, tujuan pembuatan alat itu adalah memutus mata rantai penyebaran Covid-19 melalui media sampah medis dan memastikan sampah sudah bebas dari virus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dirintis pada Juli lalu, alat tersebut ditargetkan selesai oleh Arifin dan tim LIPI pada akhir tahun ini. Rencananya, alat baru ini diuji coba di sebuah rumah sakit di Baubau, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. “Produksi limbah infeksius Covid-19 di sana 100 kilogram per hari,” ujar Arifin, Rabu, 16 Desember lalu.
Alat pembakar ini berkapasitas maksimal 100 liter dan dipakai dalam skala kecil, misalnya di pusat kesehatan masyarakat, pabrik padat karya, serta lingkup rukun tetangga dan rukun warga. Penggunanya diharapkan bisa mengelola sampah dan peralatan pencegah penularan wabah secara mandiri. “Sehingga dapat meminimalkan penyebaran virus sekaligus menekan penumpukan sampah di tempat pembuangan akhir,” ucap Arifin.
Tim menggunakan elpiji sebagai bahan bakar. Alasannya, elpiji lebih mudah diperoleh. Pengguna bisa memakai elpiji dari tabung berukuran 3-12 kilogram. Dibandingkan dengan bahan bakar solar, temperatur kerja atau suhu yang dibutuhkan insinerator lebih cepat tercapai dengan elpiji.
infografis: Djunaidi
Dari hasil uji coba tim, untuk mencapai suhu 700 derajat Celsius, solar memerlukan waktu 20 menit. Sedangkan dengan elpiji, suhu itu bisa didapatkan dalam 12-15 menit. Namun Arifin mengakui, pemakaian elpiji untuk insinerator ini lebih boros ketimbang solar. Sebab, rantai karbon pada solar lebih panjang. “Kalau pakai listrik tidak kompatibel karena pembakarnya butuh energi setara dengan 45 kilowatt,” katanya.
Limbah infeksius yang bisa dibakar antara lain masker dari bahan kain dan APD bermaterial plastik, termasuk peralatan medis. Khusus jarum suntik, yang berbahan logam, tidak bisa dibakar dengan alat ini. Tim merancang suhu maksimum insinerator ini hanya 900 derajat Celsius, sementara jarum suntik memerlukan suhu 1.300 derajat Celsius untuk dapat hancur. “Residu insinerator ini tergolong B3 (bahan berbahaya dan beracun),” tutur Arifin.
Semua jenis limbah medis terkait dengan Covid-19 itu bisa dibakar sekaligus tanpa harus dipilah atau dikelompokkan bahannya. “Gas 3 kilogram bisa dipakai untuk membakar dengan suhu maksimal selama empat-lima jam,” ujar Arifin. Masker atau APD lain berbahan katun yang mudah terbakar bisa dihancurkan dengan pembakaran bersuhu 300-500 derajat Celsius. Berdasarkan kalkulasi tim, alat ini rata-rata bisa membakar 70 liter sampah per jam.
Dengan suhu ratusan derajat Celsius itu, mereka yakin kuman atau virus di dalam limbah akan mati. Menurut Arifin, insinerator ini didesain untuk dipasang di luar ruangan. Hanya perlu tambahan atap agar peralatan tidak tersiram air hujan. Sekelilingnya tidak perlu ditutup karena pembakaran memerlukan oksigen yang cukup. Biaya pembuatan purwarupa insinerator ini Rp 40 juta. Adapun target harga jualnya Rp 25-30 juta per unit.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo