Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Sains

Begini Proses Penemuan Prasasti Watu Lawang di Kabupaten Semarang

Prasasti Watu Lawang yang ditemukan di Lereng Merbabu, diduga terkait dengan masa Majapahit mengingat angka tahunnya.

4 Desember 2019 | 08.07 WIB

Penemuan Prasasti Watu Lawang di Dusun Pulihan, Desa Tajuk, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Doc. TACB
Perbesar
Penemuan Prasasti Watu Lawang di Dusun Pulihan, Desa Tajuk, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Doc. TACB

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Semarang, Tri Subekso, menceritakan penemuan Prasasti Watu Lawang di Dusun Pulihan, Desa Tajuk, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Tri bersama beberapa warga setempat melakukan survei ke lokasi penemuan prasasti.

“Pada hari Kamis, 28 November 2019, kami melakukan survei lapangan. Lokasi situs masih tertutup oleh semak belukar. Setelah dilakukan perekaman data temuan permukaan, kami mulai membersihkan lokasi situs dan keberadaan batu prasasti mulai menampakkan wujudnya,” ujar Tri kepada Tempo, Selasa malam, 3 Desember 2019.

Tri melakukan survei bersama dengan Pamong Budaya Disdikbudpora Kabupaten Semarang Setio Widodo, penemu inskripsi pada batu prasasti Warin Darsono, Sekretaris Desa Tajuk Sri Rahayuningsih dan perangkat desa Ngusman.

Batu prasasti itu berukuran panjang 176 cm, lebar 97 cm, dan tebal 31 cm, dan nampak tulisan Jawa Kuno yang memuat angka tahun, terbaca 1343. Dugaannya merupakan angka tahun saka. Selain prasasti angka tahun, ada juga batu berukuran panjang 140 cm, lebar 73 cm, dan tebal 34 yang nampaknya merekam guratan tangan manusia.

“Survei pertama ini ditujukan untuk melakukan perekaman data arkeologi melalui pencatatan ukuran temuan dan titik koordinat situs,” kata Tri.

Kemudian surveri kedua dilakukan pada Sabtu, 30 November 2019, yang dilakukan Tri, Warin dan filolog atau peneliti naskah Merapi-Merbabu dari Sraddha Institute Rendra Agusta. Pembacaan ulang inskripsi oleh Rendra menunjukkan kecenderungan angka 1353. “Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa prasasti ini berasal dari abad ke-15 atau masuk dalam periode akhir Hindu-Buddha,” tutur Tri.

Menurut Tri, temuan itu sangat menarik karena mampu menghidupkan imajinasi akan kehidupan para ajar yang tinggal menyepi di lereng gunung pada masa akhir Majapahit. Dilihat dari letaknya yang berada di jurang kecil dengan aliran sungai di bawahnya, kemungkinan situs di sisi utara Gunung Merbabu ini merupakan tempat pertapaan pada masa lampau.

Dugaan kuat, situs ini menjadi salah satu dari beberapa lokasi skriptorium di lereng Merbabu yang menjadi tempat dihasilkannya artefak budaya berupa ratusan manuskrip lontar dengan aksara anehnya. Jika disandingkan dengan keberadaan naskah Merapi-Merbabu yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta dan Eropa, prasasti ini akan memberikan gambaran yang lebih utuh tentang akhir masa Jawa Kuno, tentang gerakan literasi keagamaan dan kehidupan pertapaan pada masa itu.

“Keberadaan prasasti ini tidak berdiri sendiri, tapi menjadi bagian dari lingkungan pertapaan pada masa itu. Di antara sekian prasasti lainnya yang pernah ditemukan di daerah Getasan ini, Prasasti Watu Lawang ini merupakan prasasti tertua yang pernah ditemukan,” ujar Tri.

Prasasti lainnya adalah Prasasti Samirono 1370 Saka, Prasasti Ngadoman 1371 Saka (Museum Leiden Belanda), Prasasti Ngrawan 1372 Saka, Prasasti Tajuk 1369 Saka (laporan arkeologi pernah menyebut prasasti ini dengan angka tahun 1269 saka, tapi sekarang setelah dibaca ulang lebih cenderung menunjukkan angka 1369).

Ada juga laporan dari Verbeek dan N.J. Krom tentang batu bergambar yang memuat angka tahun 1360 dan 1363 Saka. Yang terakhir dibawa ke Museum Batavia pada tahun 1889 Masehi. Kedua prasasti yang pernah dicatat ahli purbakala Belanda ini belum diketahui keberadaannya.

“Naskah Bujangga Manik abad ke-15 mengidentifikasikan Merbabu yang memiliki nama kuno Damalung ini sebagai mandala penting pada masa Jawa Kuno,” tutur Tri.

Menurut hasil penelitian Ninie Susanti dari Departemen Arkeologi Universitas Indonesia dan Agung Kriswanto dari Perpusnas, kawasan Merbabu merupakan pusat keagamaan. Ditandai adanya skriptoria yang menghasilkan karya sastra dalam jumlah yang sangat banyak dengan ciri khas terletak pada aksara, bahasa, penanda dan aliran keagamaannya.

"Jika kita membagi Merbabu menjadi 8 penjuru mata angin,  dan menghubungkannya dengan identifikasi pada kolofon dalam naskah Merapi-Merbabu yang memiliki rentang waktu penulisan akhir masa Majapahit hingga abad ke-17 M, maka kita dapat menjumpai lokasi penulisan pada sisi-sisi tersebut," kata Tri.

“Kecuali sisi selatan yang tidak disebut, kemungkinan besar karena kondisi alamnya yang berupa jurang sehingga tidak bisa dijadikan sebagai permukiman untuk menulis naskah,” kata Tri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Prasasti Watu Lawang sampai saat ini masih berada di lokasi ditemukannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yudono Yanuar

Yudono Yanuar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus