BENARKAH Pertamina membubuhkan additive (zat tambahan) pada premium, sebelum bahan bakar itu dijual kepada konsumen? "Betul, bahkan sejak Agustus 1984," ujar Hamzah Abdulah, staf hubungan masyarakat badan usaha milik negara itu kepada TEMPO, pekan lalu. Dengan additive ini, menurut Hamzah, "Penggunaan bahan bakar pada kendaraan bermotor menjadi lebih hemat." Additive yang dipakai adalah P-903 sejenis deterjen, buatan Elf Acquitaine, perusahaan minyak raksasa yan bermarkas di Prancis. Sudah sejak 1974 Pertamina meneliti P-903 dengan serius. Tapi percobaan, selama hampir setahun, baru dimulai 1980, dengan tiga pasang kendaraan: Colt T- 120, Datsun 1500 cc, dan Toyota Kijang. Kendaraan itu dibeli dalam keadaan baru, dijalankan sekitar 150 km per hari, dengan pelbagai rute dan kecepatan. Setelah perjalanan 12.000 km, ternyata penggunaan P-903 menghemat bahan bakar. Penghematan itu rata-rata 7,4% pada kecepatan tetap, dan 6,32% pada kecepatan acak di dalam kota. Padahal, additive yang digunakan hanya 800 ppm. Artinya, untuk 1 liter premium, digunakan 0,0008 liter P-903. "P-903 ini sebetulnya sejenis pembersih," kata Widioseno Kaslan, koordinator laboratorium terpakai, Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas), Departemen Pertambangan dan Energi. Insinyur mesin lulusan Cekoslovakia (1969) itu turut menguji keampuhan additive ini. Sebagai "deterjen ", P-903 membentuk lapisan tipis menutupi saluran bahan bakar pada motor bensin. Akibatnya, koloran berupa unsur karbon tidak bisa melekat pada saluran, melainkan larut. Pada penelitian yang dilakukan Lemigas, perbedaan menjadi kentara pada karburator. Bahan bakar yang dibubuhi P-903 tampak meninggalkan bekas lebih bersih ketimbang bahan bakar murni. Kotoran karbon juga mengganggu mclalui sisa pembakaran yang menembus piston, dan masuk ke poros cngkol yang berisi pelumas. Pada kendaraan bermotor buatan pra-1960, mcnurut Kaslan, pabrik membuat lubang pada ruang poros engkol, sehingga sisa pembakaran langsung terbuang. Tapi sistem ini keemudian ditinggalkan dengan alasan pencemaran. Jadi, "Untuk kendaraan buatan sebelum 1960, penambahan additive ini tidak terasa bedanya," kata Kaslan. Analisa gas buang, konon, menunjang pula penggunaan P-903. Kadar gas CO, yang umumnya terjadi akibat pembakaran tak sempurna, menjadi 50% lebih rendah dari gas buang bahan bakar tanpa P-903. Maka, sejak Juli tahun lalu, pengilangan Pertamina mulai sibuk mencampurkan additive ini pada premium yang siap dipasarkan. Menurut perhitungan Pertamina, penggunaan P-903 bisa menghemat biaya bahan bakar sekitar Rp 28 milyar per tahun. Di situ sudah terhitung harga additive dan ongkos pencampurannya di penguangan, yang mencapai sekitar Rp 50 juta per tahun. Namun, beberapa pihak masih meragukan keampuhan additive ini. "Saya belum puas dengan hasil penelitian yang dilakukan," kata Dr. Wiranto Arismunandar, melalui telepon, kepada TEMPO. Hasil penelitian Lemigas itu pernah dipresentasikan di depan dosen Jurusan Mesin ITB ini, yang hadir bersama beberapa ahli lain. "Tetapi tidak terlalu jelas," kata Wiranto, yang juga mengetuai Ikatan Ahli Automotif Indonesia itu. Yang dipertanyakan Wiranto adalah "penghematan" itu. "Kalau P-903 hanya bersifat deterjen, secara termodinamika tidak ada perubahan," katanya. Bila terbukti additive ini membersihkan saluran, terutama saluran karburator, "Itu cuma berarti perawatan mesin jadi lebih mudah, sehingga tidak sering rewel," ia menambahkan. Untuk saluran di luar karburator, Wiranto tidak yakin additive banyak berguna, karena saluran itu relatif besar. Turunnya kadar CO pada gas buang diakui Wiranto sebagai indikasi sempurnanya pembakaran. Tetapi, ia merasa perlu melihat juga kadar gas buang lainnya, seperti NOx dan sulfur. Ia mempertanyakan apakah pembubuhan additive ini tidak menimbulkan gas buang beracun atau mempercepat kerusakan mesin. Dari penelitian laboratorium, additive P-903 disimpulkan tidak mengubah sifat kimia premium, bahkan tidak mengubah spesifikasi sifat premium, yang menurut ketetapan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi ada 12 macam. "Tidak berubah" di sini berarti "berubah, tetapi masih dalam batas tenggang yang ditetapkan". Bila diberi P-903, misalnya, nilai oktan premium tetap 87, dan nilai oktan super tetap 98. Nilai oktan ini penting, karena menyangkut penyetelan mesin bakar agar bekerja secara optimal. Wiranto menilai, usaha ini baik sekali bila dibuktikan secara meyakinkan baha pembubuhan additive bisa menghemat penggunaan bahan bakar sampai 6%. Ia juga mengingatkan terdapatnya beberapa additive, antara lain additive antiknock, yang secara termodinamika menghemat, tetapi harus digunakan pada mesin kompresi tinggi, yang dirancang mampu menahan suhu dan tekanan lebih tinggi. Mungkin benar, seperti dikatakan Wiranto, masih banyak yang belum jelas dari penggunaan additive ini. Tetapi, Pertamina sendiri tidak menutup diri. Dan Wiranto, bersama Lemigas, sudah merencanakan penelitian lanjutan terhadap penggunaan P-903.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini