SEKARANG ini tidak ada negara yang bisa maju dengan cara menutup diri." Ini salah satu ucapan Deng Xiaoping, pemegang kendali pemerintahan Cina, dalam pidato tahun baru silam di hadapan komisi penasihat negara. Deng, 80, yang tengah berlomba dengan waktu, seperti mengukuhkan kembali keyakinannya untuk memajukan perekonomian Cina dengan cara, antara lain, membuka diri ke Barat. Untuk itu tindakan pemerintah Cina terakhir, menjelang tutup tahun 1984, adalah membuka 14 kota pesisir - dalam rangka mengundang modal asing. Kota-kota pesisir itu di antaranya Shanghai, Ningbo, Wenzhou, Tianjin, dan Dalian. Semuanya tidak termasuk dalam Kawasan Ekonomi Khusus. Dan semuanya, di zaman semikolonialisme dulu, merupakan kawasan konsesi negara asing - di antaranya Prancis, Amerika, Inggris, dan Jepang. Tujuh tahun semenjak Deng pegang komando, Cina bergerak cepat menuju sasarannya: berorientasi ke keuntungan materi, memfokuskan diri pada gerak pasar dan masyarakat konsumen. Maka, dalam dua tahun terakhir, pertumbuhan ekonominya tercatat lebih dari 8%. Yang diincar para pemimpin Cina adalah keadaan di tahun 2000 - ketika nilai produksi nasional di harapkan bisa mencapai 1 trilyun dolar, kelipatan empat dari yang sekarang. Prestasi yang diimpikan itu kurang lebih setingkat dengan pencapaian ekonomi Jepang saat ini. "Kegairahan meliputi seluruh Cina," kata profesor dari Universitas Harvard, Ezra F. Vogel, penulis buku Japan as Number One. "Semangatnya sama dengan seperti ketika Jepang bangkit di tahun 1950-an atau Taiwan pada 1960-an. Dan semangat itu terus tumbuh ." Kebangkitan itu juga menggetarkan negara-negara tetangga. Cina sudah mulai menjual hasil pabriknya, dalam jumlah besar dan dengan harga murah, ke Amerika Serikat dan Eropa. Negeri dengan upah buruh murah pun sulit rasanya bersaing dengan Cina sekarang, yang gaji buruhnya kurang dari setengah sen per menit. Bandingkan dengan Korea yang 2 sen, lebih-lebih Jepang yang 8 sen. Ekspor barang-barang manufaktur Cina meningkat tak kepalang tanggung. Pada 1978 nilainya 3,6 milyar dolar. Lima tahun kemudian, 1983, menjadi 12,7 milyar, dan tahuh lalu berkisar pada 15 milyar. Dari catatan Biro Statistik Negara, yang dikutip Beijing Review 24 Desember 1984, bisa dilihat peningkatan dalam bidang lain. Modal asing, misalnya. Januari-September 1984, Cina telah memanfaatkan investasi asing sebesar 1,66 milyar dolar - dua kali lipat dari periode yang sama di tahun 1983. Tahun lalu 239 usaha patungan telah disetujui - lebih besar dibanding jumlah seluruh persetujuan sepanjang lima tahun sebelumnya. * * * Kelelapan berkepanjangan telah berakhir - di negeri terbesar jumlah penduduknya dan nomor dua terluas di dunia ini. Setelah sekian dasawarsa terjepit dalam kepicikan ideologi dan kelambanan birokrasi, Cina mengibaskan jubah komunismenya untuk mempercepat gerak ekonomi. Dengan tegas dan jelas, Deng bilang, "Boleh-boleh saja jadi kaya." Eksperimentasi adalah nama aturan mainnya. "Selama tiga dasawarsa yang lalu, kreativitas rakyat Cina telah dibumpet," kata Jing Shuping, dulu seorang kapitalis dan kini penasihat tak resmi urusan ekonomi Perdana Menteri Zhao Ziyang. "Sekarang kami membuka sumbatnya, dan melepaskan energi." Dalam lima tahun terakhir, perubahan dramatis telah berlangsung di kawasan pedesaan - kediaman 80% penduduk Cina yang 1 milyar jiwa lebih. Nilai jual hasil pertanian telah meningkat rata-rata 7,9% per tahun - bandingkan dengan pertumbuhan rata-rata 1953-1978 yang hanya 3,2%. "Hasil survei terakhir pada 30.427 keluarga petani di 600 wilayah kabupaten bahkan membuat para pembarunya sendiri tercengang," tulis Far Eastern Economic Review 13 Desember lalu. Pendapatan bersih per kapita warga pedesaan telah meningkat 98,5% - rata-rata naik 14,7% per tahun. Pembaruan pedesaan tidak perlu menggunakan lembaga-lembaga sosial baru. Petani Cina tak usah diajari lagi bagaimana bercocok tanam dan menjual hasil pertaniannya. Yang diperlukan hanya sebuah konsep - yang memilah-milah antara hak pemilik tanah dan kebebasan pemanfaatannya. Sementara itu, di daerah perkotaan, pabrik-pabrik dan industri sebaliknya masih digenggam para sekretaris Partai. Perencanaannya terpusat, bergaya kaku ala Soviet. Pembaruan industri hanya terbatas pada beberapa pabrik percontohan dan di kawasan-kawasan tertentu. Syukurlah, hal itu berakhir menjelang penutup tahun lalu, ketika para pemimpin Partai Komunis Cina pada 20 Oktober membubuhkan tanda persetujuannya atas kehendak Deng memperbaiki kehidupan kawasan urban dan menggenjot pabrikpabrik sehingga bisa maju seperti bidang pertanian. Andil industri pada GNP Cina adalah 41%. Tidak seperti pembaruan kawasan pedesaan, gebrakan di daerah urban memerlukan struktur-struktur baru, lembaga baru, dan keahlian yang memadai. Para manajer pabrik, yang selama ini tak henti-hentinya lebih mementingkan rapat-rapat partai, harus bersedia angkat kaki dari jabatannya demi mengejar keuntungan perusahaan. Para pekerja yang dulu hanya sibuk mengurus poster-poster dan gosip, kini mesti kerja betulan, terutama untuk mendapatkan bonus bulanan. Pokoknya, di mata Cina, cara pengendalian perusahaan model Soviet yang birokratis dan tidak produktif sudah jadi buruk. * * * Berakhirnya pengendalian industri dan perdagangan itu memang sungguh-sungguh merupakan ancaman bagi para birokrat, yang - sebagaimana terjadi di banyak negara berkembang - gemar memanfaatkan kedudukan dan memamerkan kekuasaan. Lebih-lebih "kesetiaan ideologi" orang-orang partai, di pabrik-pabrik yang dikontrol secara terpusat oleh negara, lebih dalam ketimbang pada mereka yang terlibat dalam kolektivisme di desa-desa. Sekarang pun masih ada ketakutan pada tuduhan-tuduhan - yang tak bisa dengan mudah disangkal - bahwa reformasi tak berbeda dengan kapitalisme. Lihatlah sepak terjang para manajer perusahaan kini, yang terdorong oleh semangat berkompetisi. Untuk menghadapi saingannya - Coca-Cola Co. dan sebuah lagi pabrik minuman yang dijalankan usaha patungan Beatrice Cos., yang Mei tahun ini rencananya menghasilkan sari mangga dan leci - He Jie, manajer Asia Soft Drinks Guangzhou, tidak minder dan angkat tangan. Dalam merebut kembali pasar perdagangan minuman yang tadinya dikuasai hasil produksi pabriknya, He Jie, 55 tahun, akhir tahun lalu mengeluarkan minuman baru bernama Asia-Cola. Dikemas seperti Coke, Asia-Cola dijual dengan harga dua pertiga Coke - dan rasanya sedikit sekali berbeda. Kata He, "Pasar Guangzhou cukup besar untuk dipakai ajang persaingan tiga pabrik." Memang, ia harus mengeluarkan 1.200 dolar AS per bulan untuk iklan - sebuah papan lampu neon besar yang gemerlapan di tepian Sungai Mutiara, di jantung kota. "Marilah minum Asia Soft Drinks", demikian terbaca. He, yang di masa Revolusi Kebudayaan dihantam sebagai penempuh jalan kapitalis, jelas mendukung sepenuhnya usaha reformasi Deng. Ia sudah mengganti slogan hidupnya - dari "Setia sepenuhnya kepada pemikiran Mao Zedong" menjadi "Waktu adalah uang dan efisiensi adalah gaya hidup". Ia bilang kepada wartawan majalah Businessweek, pertengahan Januari lalu, "Kami belajar banyak hal dari kapitalisme." Pabrik-pabrik atau perusahaan yang tidak mampu bertahan - lantaran tidak menguntungkan - ditutup. Lebih dari 100.000 perusahaan milik negara atau 25% dari jumlah seluruhnya - telah dinyatakan gulung tikar, karena dianggap sama sekali tidak efisien. Bayangkan: di masa lalu, dalam banyak pabrik, pekerjaan yang mestinya bisa dilaksanakan satu orang dikeroyok lima jiwa. Ada pula pabrik yang setahun lebih tidak memperoleh order, tetapi para pekerjanya tetap masuk kerja dan digaji. Maklum, milik pemerintah. Lalu, bagaimana dengan para bekas karyawannya? "Masih banyak lapangan untuk menampung orangorang itu," jawab Jing, seorang penasihat, yang cara berpakaiannya lebih tampak sebagai seorang kapitalis daripada sosialis. "Di Beijing," katanya, "tidak ada taksi. Di lapangan udara juga tidak ada portir. Tapi kita mau dalam waktu tiga bulan semua itu bisa dirapikan." * * * Sebenarnya, reformasi daerah urban sudah dicobakan sejak 1979. Delapan pabrik milik negara diberi kelonggaran menentukan kebijaksanaan sendiri dalam bidang perencanaan, produksi, pemasaran, dan personalia. Bahkan berhak menyimpan keuntungan yang diperoleh. Pada akhir tahun yang sama, kelonggaran begitu juga diberlakukan kepada lebih dari 4.200 perusahaan pemerintah lainnya. Jumlahnya meningkat, pada 1980, menjadi 6.600, dan pada 1981 menjadi 30.000 perusahaan. Pada 1983 pemerintah malah mengganti kebiasaan menyerahkan hasil keuntungan kepada negara dengan sistem pajak. Memang baru kepada 450 perusahaan pilihan. Tetapi, "Mulai akhir 1984 sistem ini diberlakukan kepada seluruh perusahaan milik negara," tulis majalah Far Eastern Economic Review. Sebelum 1979, para manajer perusahaan hanyalah para pelaksana kemauan para birokrat Partai. Tugas utama para manajer yang digaji dengan patokan diperoleh diambil negara untuk menyokong perusahaan yang merugi. Kondisi begitu, kata wakil direktur Jialing Machinery di Chongqing, You Yunpeng, tentunya tak sehat. "Bekerja atau tidak, tak ada masalah. Toh tetap saja kami mendapatkan uang," kata wakil direktur itu. Itulah sumber kebangkrutan . Nah, Jialing Machinery itu pula yang kini ikut makmur, setelah reformasi Deng. Sampai 1979 perusahaan ini hanya memproduksi peralatan militer. Demi merebut konsumen di pasaran Chongqing, kini para manajernya memutuskan beralih memproduksi sepeda motor yang dianggap lebih menguntungkan. Setelah menandatangani perjanjian lima tahun untuk membeli teknologi Honda Motor Company, Jialing pada 1980 menghasilkan 2.000 unit sepeda motor itu. Dan tahun ini diperkirakan akan sanggup menjual 200.000 unit - cukup tinggi sebagai pembawa merk Honda. Sepeda kumbang itu akan sampai ke tangan para pembeli yang sudah memesan setahun lalu. You, sang manajer yang merintis karier dari kedudukan sebagai buruh, bebas menentukan berapa banyak motor harus dibuat dan bagaimana membuatnya. Kata You pula, pada 1984 pabrik yang dipimpinnya itu menghasilkan keuntungan sekitar 3,8 juta dolar AS. "Kami, para manajer, kini memang lebih banyak mendapatkan beban," kata You sembari menyeringai, memperlihatkan giginya yang diselaputi nikotin. "Tetapi beban sekarang lebih asyik. Beban sekarang justru mendesak kami untuk terus meningkatkan pendapatan." Sebagian keuntungan diberikan kepada karyawan dalam bentuk bonus. Para pekerja Jialing yang tak produktif hanya berhak mendapatkan 80% dari gaji basisnya, yang rata-rata 23 dolar per bulan, sementara yang produktif boleh menerima 100%. "Dengan demikian, setiap orang mencurahkan perhatian penuh pada produksi," katanya. Kompetisi menjadi sangat penting. Kegagalan memperbalki pelayanan dan eflslensl perusahaan penerbangan CAAC (Civil Aviation Administration of China) - yang sering diledek sebagai Cancel at Any Cost - adalah justru karena tidak adanya saingan. Bisa dimengerti bila perusahaan pemerintah ini memonopoli angkutan udara di Cina - sedang di negeri yang bukan komunis pun hal yang sama bisa terjadi. Tapi sekarang, Beijing sudah menggariskan bahwa perusahaan yang lamban itu mesti dipecah menjadi banyak, dan masing-masing harus saling menyaingi. Pada ulang tahun ke-35 CAAC, akhir musim gugur yang lalu, Direktur Jenderal Shen Tu mengumumkan, "Kami, mulai tahun ini, akan membagi CAAC menjadi paling tidak lima perusahaan penerbangan baru." Bahkan provinsi-provinsi dan daerah otonomi sudah diberitahu: mereka boleh mendirikan perusahaan penerbangan sendiri, dan boleh membangun lapangan terbang. Yang sudah siap adalah perusahaan penerbangan baru Provinsi Fujian, yang sudah pula merencanakan pelayanan reguler ke Manila. * * * Sampai sejauh ini, dukungan rakyat terhadap reformasi Deng makin hari makin bertambah seirama dengan taraf hidup yang terus naik. Lima tahun lalu jenis barang berharga dalam suatu keluarga paling banter cuma jam dinding, sepeda, radio, dan mesin jahit. Itu pun tidak dimiliki semua keluarga Cina. Kini, yang begituan sudah lumrah di sebagian besar kota Cina. Tuntutan sebuah keluarga saat ini sudah yang lain lagi - yang disebut enam besar: tv, mesin cuci, tape recorder, lemari es, kipas angin listrik, dan sepeda motor. "Barang-barang ini belum melimpah. Maka, jika tersedia di toko, semua bisa habis dalam sehari," tulis Businessweek 14 Januari. Kemajuan industri telah pula mengubah wajah kota. Lima tahun lalu, jalan utama di kota-kota besar Cina sama ingar-bingarnya dengan di kota-kota lain di Asia. Bedanya, kalau di daerah Asia lain tepi jalannya dipenuhi penjaja makanan sampai barang kelontong, di Cina manusia berkerumun cuma lantaran iseng. Ini tak lain karena ideologi Maois yang melarang setiap bentuk usaha pribadi, sampai yang paling kecil sekalipun. Sekarang keadaannya sudah lain. Sistem tanggung jawab di bidang industri dan pertanian mengizinkan adanya wiraswasta. Sejak 1979, pasar bebas umumnya di tepi jalan atau di taman bertumbuhan susul-menyusul. Di Kanton, yang berpenduduk hampir enam juta, terdapat tak kurang dari 38 pasar terbuka. Salah satu di antaranya di daerah Qingping. Terletak di perempatan sempit sepanjang satu kilometer, pasar ini menyediakan segala kebutuhan. Ada bagian yang menjual tanaman pot, ada yang ikan hias, sayuran, ikan lauk, daging, ayam, burung, kucing, kadal, sampai obat tradisional - setidaknya begitulah menurut wartawan TEMPO, Seiichi Okawa. Dan kebebasan usaha itu dimanfaatkan oleh sebagian besar keluarga Cina untuk meningkatkan penghasilan. Di pedesaan pinggiran Kanton - yang nama resminya kini Guangzhou - Huang Peilin tidak lai tinal di ubuk kumuh yang terdiri dari hanya dua kamar. Ia - profesi utamanya dokter hewan - kini pindah ke rumah dua lantai yang penuh perabotan. Untuk mencapai itu, Huang bekerja sambilan sebagai peternak ayam, bebek, dan angsa - tindakan yang bisa menyeretnya ke penjara jika ia lakukan sepuluh tahun lalu. Tetapi kisah sukses sebagai wiraswastawan lebih khas sebagai jalan hidup Rong Zhiren, 36 tahun. Ia ini membuka warung bakmi di kawasan sibuk salah satu pojok Guangzhou. Setiap bulan paling minim Rong memperoleh 240 dolar dua kali lipat gaji tertinggi pekerja di kota-kota Cina bagian selatan, atau empat kali gaji pegawai sipil. Rong sekeluarga sekarang sudah menempati rumah yang ukurannya lima kali lebih besar dari tempat tinggalnya dulu. Di dalam rumah barunya itu ada tv warna, lemari es, radio kaset stereo, dan sebuah kamera. Sebelum memiliki warung bakmi, kekayaan Rong hanya sebuah radio dan sebuah jam. Ia memulai usahanya pada 1979, setelah 11 tahun mengikuti kerja paksa di pedesaan. Revolusi Kebudayaan telah memotong kehidupannya sebagai mahasiswa. Dan, ketika pulang ke Guangzhou, ia dan istrinya sama-sama tidak berhasil mendapatkan pekerjaan tetap. Maka, mereka pun jualan makanan. Rong memang memiliki kepekaan pedagang. Pada awalnya ia melihat, banyak pekerja dan pelajar mengalami kesulitan memperoleh makanan pagi yang hangat. Maka, dengan modal pinjaman orangtuanya sebesar 200 yuan, ia membeli peralatan memasak dan memulai usaha. Menu yang disediakan: sop/bakmi pangsit (per porsi 0,25 yuan), bubur (0,12 yuan), dan "bubur pelajar" - dicampuri sedikit sayur dan daging - 0,24 yuan. Pukul 6 pagi orang sudah berbaris di kedainya. Usahawan semacam Rong di Cina sudah tentu tidak mau menyebut diri mereka kapitalis. Alasan: mereka memakai modal sendiri, mengerjakan pengembangannya sendiri pula. "Saya 'kan tidak duduk ongkang-ongkang, kemudian membiarkan pekerjaan dilaksanakan orang lain," kata Rong berkilah. Demikian pula Li Yunping. Wanita muda yang beberapa tahun lalu sempat menganggur ini pemilik Restoran Hangat Kawan Baru. Dengan modal pinjaman dari bank 230 dolar AS, ditambah pinjaman dari kawannya 385 dolar, Li membangun kedai berdindin batu bata di kawasan industri yang agak berkabut lantaran asap. Pada awal usahanya, Li mau tak mau harus tahan terhadap cemoohan dan gosip para tetangga. "Dalam setahun saya sampai pernah menangis sebanyak 50 kali," katanya, entah bagaimana menghitungnya. Li memang gadis atraktif. Potongan rambutnya sportif, dan ia gemar mengenakan celana jin ketat. Toh Li dan Rong secara resmi dianggap contoh sukses usahawan muda. Keduanya akhir Agustus tahun lalu menjadi utusan Provinsi Guangdong untuk sebuah konperensi di Beijing. Malahan Li telah diundang oleh stasiun TV Chongqing untuk tampil dalam acara yang disebut "Gadis Restoran Hangat". Sementara itu, masih ada satu hal yang terus menjadi impian Rong. Yaitu: menjadi anggota Partai Komunis Cina - suatu jaminan hidup. "Banyak wiraswastawan yang bangkit sendiri-sendiri seperti kami masih tetap grogi," katanya. "Bisa saja kebijaksanaan berubah, dan negara merasa sah untuk menyita harta kekayaan para pedagang." * * * Guangzhou rupanya telah menjadi kota paling marak dalam kegairahan usaha swasta. Menurut Liu Xingya, kepala bagian pengontrolan perusahaan swasta Guangzhou, sampai pertengahan 1984 pemerintah daerah telah memberikan izin pendirian perusahaan sebanyak 64.000 buah. Itu terdiri dari 60% perusahaan dagang, 17% warung atau rumah makan, 8% bidang jasa (seperti gunting rambut dan cuci pakaian), 7% industri rumah tangga, 5% perbengkelan, dan 3% usaha angkutan yang sebagian besar masih pakai kereta dorong - hanya sedikit yang sudah menggunakan truk. Dukungan pengembangan semua usaha di Cina memang sudah dari dulu disiapkan oleh pihak perbankan. Bahkan sebelum reformasi Deng berlangsung, yaitu ketika kebijaksanaan moneter dan fiskal yang independen tidak bisa berjalan lantaran sistem alokasi pemerintah yang kaku dan tertutup. Waktu itu seorang pejabat Bank Sentral sudah bilang, "Semua kebijaksanaan ekonomi dan moneter sudah seharusnya ikut menyegarkan perekonomian Cina, dan membuka negeri ini agar sigap menghadapi dunia luar." Kebijaksanaan perkreditan, seperti dikatakan oleh seorang pejabat Bank Rakyat Cina, akan lebih luwes. "Dengan begitu, kami bisa menyesuaikan gerak perekonomian sekarang. Keluwesan kami tentu harus sesuai dengan kebijaksanaan umum negara," kata pejabat itu. Adanya kebebasan berusaha, dan lahirnya semangat persaingan, tentu menimbulkan persoalan harga barang. Tapi untuk ini pemerintah ternyata sudah siap: akhir 1982 rancangan reformasi dalam bidang harga yang kompromistis sudah dicanangkan. Sekjen Partai Hu Yaobang, dalam laporannya kepada Kongres Nasional Partai ke-12, mengingatkan pentingnya "Tiga Jurus Campuran". Yaitu: perencanaan dan kontrol harga yang ketat terhadap komoditi kunci perencanaan fakultatif dan pengambangan harga untuk produk industri dan barang-barang konsumsi dan kelonggaran bagi bahan makanan nonpokok dan jenis barang lain. Kebijaksanaan harga semacam itu memang tidak sendirinya menciptakan suasana yang benar-benar pas untuk sebuah persaingan bebas. Tetapi sistem perdagangan dalam wajahnya yang sekarang, menurut jurnal Partai, Hongqi (Bendera Merah), "Sudah merupakan langkah pemecahan yang jitu." Kabar terakhir, menurut Businessweek pertengahan Januari ini, harga yang mengambang dan longgar untuk barang konsums, telah mengkhawatirkan banyak konsumen akan kemungkinan kenaikan terus-menerus. Orang-orang tua di Cina jadi teringat masa perang dulu, sewaktu nilai uang jatuh. Lain dari itu, di samping adanya kekhawatiran terhadap inflasi, kegairahan kapitalisme telah pula melahirkan perbedaan-perbedaan tingkat sosial. Sebagian orang berhasil menjadi kaya, hingga timbul rasa iri pada mereka yang belum ataupun tidak. Di bagian selatan Provinsi Guangdong, dalam dua tahun ini gaji bulanan para buruh di pabrik-pabrik yang maju rata-rata telah melonjak naik 40% hampir dua kali lipat gaji rata-rata buruh seluruh negeri. "Penyakit mata merah", atau kecemburuan di kalangan mereka yang (masih) miskin, telah timbul. Pernah terjadi - masih di Guangdong - sekelompok petani mengusik dan melakukan sabotase terhadap para tetangga mereka yang sekarang lebih berkecukupan. Kata para pengamat Barat, "Lantaran memberi kebebasan untuk kaya, Deng bisa jadi tanpa sengaja - telah pula menciptakan panggung untuk sebuah perjuangan kelas baru." Beijing Review terbitan 24 Desember lalu tidak menutup-nutupi kece-masan sosial itu. "Karena kurang adanya pengertian, reformasi dalam bidang harga barang dan sistem penggajian telah menghadapi banyak kesulitan," tulis majalah itu. Di samping itu, seperti sudah disinggung, sabetan Deng telah memelantingkan para birokrat yang lamban dari kedudukan mereka. Dan orang-orang yang sudah dinilai tidak bermutu inilah menjadi duri yang mengancam kelangsungan langkah Deng. Lihat saja ini: 78% dari 40 juta anggota Partai ternyata nyaris buta huruf, atau paling tidak berpendidikan tak lebih dari SMP. Sepertiga dari mereka masuk Partai pada masa Revolusi Kebudayaan, ketika semangat radikalisme lebih berharga ketimbang jenjang pendidikan atau keterampilan. Dan, apa boleh buat, orang-orang partai itulah yang kemudian gampang menjadi birokrat. "Reformasi telah menyebabkan para birokrat ini kehilangan kekuasaannya atas perusahaan-perusahaan. Manajer yang tidak memiliki jiwa wiraswasta, dan buruh yang tidak efisien, dicopot. Semua itu toh merupakan ancaman potensial," kata Profesor Kenneth G. Liberthal dari Universitas Michigan. Masalahnya, "Aturannya terlalu kaku. Yang berhasil dihargai, yang gagal disingkirkan, sementara banyak orang tidak bisa mengikuti hidup model begitu." * * * Tetapi, secara politis, Deng rupanya juga sudah siaga menghadapi kemungkinan itu. Perdana Menteri Zhao Ziyang dan Sekjen Partai Hu Yaobang adalah tokoh-tokoh cetakan Deng yang siap memerangi pihak-pihak yang lambat dan ragu-ragu dalam pembangunan ekonomi yang gegap gempita ini. Lebih dari itu, kelompok pendukung Deng dalam organ Partai sudah menduduki posisi-posisi penting. Yaitu: Komisi Kedisiplinan dan Inspeksi (diketuai Chen Yun sejak berdirinya, 1978) dan Sekretariat Komite Sentral (diresmikan Februari 1980). Kedua organ ini bisa membendung serangan oposisi. Untuk lebih merapikan jurus, Deng - terakhir menjabat ketua Komisi Militer Sentral PKC - menyodok pula para perwira tua yang mengganjal langkahnya. Pada pertemuan istimewa para pemimpin Partai akhir tahun lalu Deng menyodorkan usul yang berisi antara lain: yang berusia 75 tahun ke atas diharamkan menduduki atau menjadi anggota lembaga-lembaga penting - seperti Politbiro dan komite urusan militer. Sasaran Deng jelas: Marshal Ye Jianying, 86, dan Chen Yun, 79. Marshal Ye - veteran Long March dan bekas perwira penghubung dengan tentara Amerika selama Perang Dunia II - dinilai tradisionalis. Anggota komite tetap ini berkeberatan atas tindakan Deng mengganti para perwira tua dengan yang lebih muda dan lebih terlatih. Suara protes Ye tak bergema, dan pada 30 Desember lalu pemensiunan 40 perwira senior diumumkan. Sedangkan Chen, ahli ekonomi - juga veteran Long March dan, seperti juga Deng, termasuk dalam enam anggota panitia tetap Politbiro - mengkritik pembukaan 14 kota pelabuhan untuk penanaman modal asing. Ekonom senior ini pun harus mundur. Deng Xiaoping sendiri memensiunkan dirinya dari Politbiro dan Komite Urusan Militer. Cuma, bedanya, kekuatan Deng tidak bersandar pada jabatan formal apa pun. Ia masih bisa terus menjalankan pengaruhnya lewat anak-anak didiknya - tak lain Hu Yaobang dan Zhao Ziyan. Masih ada persoalan lain. Seirama dengan pesatnya perkembangan ekonomi, sebuah sisi gelap akibat kapitalisme muncul: pengemis dan pelacur. Dua"benda" itu kini mulai bertebaran di jalan-jalan kota di Cina. Yang disebut terakhir ini tak begitu mencolok, memang, tetapi ada - dan diduga tak lepas dari kegiatan bisnis, terutama sehubungan orang-orang asing. Selain dari itu, di jalanan turis-turis bisa merasa risi diganggu para penjaja pepaya dan pisang - yang menjadi anggota jaringan pasar gelap penukaran mata uang asing. Ini kegiatan terbuka, dan sangat mencolok. Semua itu jelas merepotkan. Sebab, seorang kanak-kanak Cina pun tahu bahwa - konon tujuan utama revolusi komunisme adalah menghapuskan yang begituan. Tugas Deng dan kawan-kawan sungguh berat lalu. Bersamaan dengan bangkitnya kekuatan ekonomi, jumlah warga yang 1 milyar lebih itu belum membuat Zhongguo (Pusat) jadi kaya. Pendapatan per kapita rakyatnya 350 dolar AS - kurang lebih sama dengan Haiti atau Guinea. Bahkan, seandainya seluruh program modernisasi tercapai pada tahun 2000 nanti, pendapatan per kapitanya diperkirakan baru sekitar 800 dolar, alias kurang dari sepertiga pendapatan per kapita orang Taiwan sekarang. Jangan lagi dibanding Jepang. * * * Bagaimanapun, dalam konteks percaturan politik internasional, usaha modernisasi Deng dan kawan-kawan telah mengubah situasi. Para pemimpin di Kremlin waswas melihat kebangkitan perekonomian negara saingan itu. Ini bukan soal karena Marxisme dan Leninisme sudah mulai tidak menggigit lagi di pikiran orang Cina. Tetapi, bayangkanlah apa yang terjadi jika suatu saat teknologinya bisa sebanding dengan teknologi Jepang - sembari kita mengingat niat Deng untuk membenahi pula kekuatan militer Cina. Dan sembari kita mengingat bahwa Vladivostock, pelabuhan Soviet di Pasifik, plus sebagian pinggiran timur Siberia, dulu - sebelum Perjanjian Peking 1860 adalah wilayah kekuasaan Cina. Karena itulah Soviet memperteguh 750.000 pasukannya di perbatasannya dengan RRC. Sebaliknya, kondisi tersebut justru menggembirakan Amerika Serikat. Pada saat para pemimpin di Beijing berkonsentrasi demi modernisasi, AS menegaskan keinginannya agar kawasan Asia Timur dalam keadaan stabil. Washington melihat, perubahan di RRC terakhir ini merupakan unsur stabilisator penting di kawasan itu. Dan jelas Pentagon senang jika Soviet, lantaran lebih memperhatikan kawasan Asia Pasifik, mulai mengendurkan cengkeramannya di Eropa. "Pada pertukaran abad ini, masalah besar yang bakal timbul bukanlah Cina sebagai ancaman militer. Tetapi Cina sebagai saingan ekonomi utama bagi AS," kata William T. Archey, penjabat asisten kementerian perdagangan AS bidang perdagangan luar negeri. Hubungan dagang AS-RRC masih belum melibatkan jumlah uang yang besar. Tetapi cobalah lihat loncatan perkembangannya - dari 934 juta dolar pada 1974 menjadi 6 milyar dolar pada 1984. Dalam pada itu, para pejabat AS karenanya mulai sibuk mengendurkan kekangannya untuk menjual hasil teknologi tinggi ke RRC. Bahkan orang keras Pentagon, Richard N. Perle - yang selama ini kukuh mempertahankan kebijaksanaan supaya alih teknologi ke negeri-negeri komunis diperketat - sudah berubah. Katanya, "Kita memberikan pelayanan kepada RRC harus sama sekali berbeda dengan pelayanan ke Soviet"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini