BEL di aula berdering. Gaung percakapan segera sirna, dan murid-murid kembali ke bangku masing-masing. Pintu terdengar bergeser dibuka. Pak guru masuk. Hening. Ketegangan itu disusul suara gemeresak: murid-murid berdiri berbaris di samping bangku masing-masing. (Beberapa murid di barisan belakang, yang tadinya duduk, tampak berdiri dengan segan). Pak guru mengangguk singkat - dingin. Murid-murid membalasnya dengan bungkukan dalam. (Sekali lagi, di barisan belakang, murid-murid sedikit saja menekukkan badan). Toh, hampir semua anak tampak rapi. Rambut rata-rata terpotong pendek. Ketika berdiri pun terlihat ketertiban mereka: tas bertali panjang menggantung di pundak, sementara sebelah tangan menggenggam kotak makanan. Tas yang mereka bawa hampir seragam: bergambar Snoopy pada tas cewek, dan Madison Square Garden pada yang cowok. Pagi itu, ketika pelajaran dimulai, para murid mengeluarkan buku teks ilmu sosial. Pak guru, setelah melihat murid-muridnya siap mendengarkan, dengan bersemangat mencecar mereka - kali itu tentang hubungan keadaan geografi Jepang dengan perkembangan ekonominya. Segera terlihat, ia tak pernah menyimpang dari buku teks. Ia telah mempersiapkan diri dengan baik. Memang, ia kelihatan seperti seorang profesional dari tipe yang terlalu serius. Tak sebuah pun alat peraga digunakannya - bahkan peta. Karena itu, pelajaran berlangsung terlalu lancar. Kadang-kadang terdengar pertanyaan-pertanyaan singkat diajukannya, tapi si guru sendiri tidak cukup sabar menunggu jawaban muridnya - pertanyaan itu dijawabnya sendiri. Kadang-kadang juga ia mengulang bagian-bagian penting, dan meminta agar para murid menggarisbawahi bagian-bagian itu. Para murid mencoba mengikutinya dengan serius. Tapi, bisa dimengerti, sungguh sulit bagi remaja tujuh belasan tahun untuk mengikuti berondongan pelajaran seperti itu. Beberapa tampak asyik mencoret-coret kertas di hadapan mereka, beberapa yang lain membaca majalah yang terselip di tengah buku teks. Yang cukup beruntung duduk di dekat jendela bisa melemparkan pandangan ke luar, menikmati cahaya musim panas dan dunia di luar gedung. Thomas Rolen, seorang wartawan, duduk di bangku belakang selama pelajaran berlangsung. Ia, yang akhirnya menurunkan karangan berupa buku, Japan's High School, bisa merasakan kebosanan para murid. Gurauan macam apa pun, yang kadangkadang dilemparkan sang guru, tak bisa mengendurkan sedikit pun suasana yang sungguh-sungguh menekan. Waktu terasa tak beranjak. Bahkan Rohlen sendiri hampir tak tahan. Pada bukunya ia menulis, "Kelas itu sebuah penjara tersamar yang tak terhindarkan." Rohlen, 35, ingat masa sekolahnya 20 tahun yang lalu di negaranya, Amerika Serikat. Ia membandingkan: paling tidak, gurunya dulu sangat mengharapkan jawaban untuk pertanyaan yang diajukannya. Selain itu, gurunya juga bangga bila mampu mengajar tanpa menyentuh buku teks sedikit pun didepan kelas. Rohlen menghabiskan waktu sekitar dua bulan di SLA Otani, Kobe. Selama itu ia terhitung jarang bisa duduk di kelas sepanjang hari. Ia selalu menerima datangnya bel tanda usai dengan riang, seperti murid-murid lainnya. Dan ia gembira mengamati anak-anak sekolah itu menghabiskan waktu istirahat yang cuma sepuluh menit. Sekelompok murid wanita menghambur, lari menemui kawan-kawannya dari kelas lain wajah mereka menampakkan perasaan yang tak bisa dibendung. Seorang anak laki-laki berlatih main terompet di tangga sekolah. Yang terbanyak lari kian kemari di gang, seperti melepaskan hasrat yang sangat tertekan. Pada jam main seperti itu, sekolah - yang di saat belajar sepi seperti kubur - berubah menjadi riuh rendah, nyaris kacau. * * * Itulah suasana sehari-hari hampir semua sekolah di Jepang. Itu pula suasana pendidikan yang konon terbaik. di dunia, yang dalam tiap tes perbandingan dengan negara lain selalu menang secara mencolok. Para murid duduk rapi, sang guru dengan teratur menyampaikan pelajaran. Hari ini Renaissance, besok Reformasi, lusa Kepler, Copernicus, Galileo. Hari ini halaman sekian sampai sekian, besok sekian sampai sekian. Tak pernah sedikit pun melenceng dari buku teks, tak ada inisiatif untuk menyegarkan suasana. Kalaupun ada inisiatif, itu adalah kerajinan mencari pokok-pokok pelajaran yang penting, yang kira-kira akan keluar dalam ujian. Atau mempelajari soal ujian tahun-tahun sebelumnya, untuk mencari pertanyaan yang paling sering keluar. Seorang guru bahasa Inggris, ketika minum bersama Rohlen, mengadu seperti ini, "Aku tahu, aku tak bisa omong Inggris. Kehadiranmu membuat aku malu. Tetapi aku bisa mencari pokok-pokok terpenting tata bahasa Inggris. Itu lebih membantu anak-anak untuk mengerjakan ujian." Cara mengajar yang seperti itu tentu saja tak memberi kesempatan tanya jawab. Apalagi percobaan mencari hubungan antara pelajaran dan kenyataan di luar. Yang dipentingkan adalah penjejalan informasi, bukan kemampuan menyatakan pendapat atau kemampuan berpikir kritis. Bagi orang Jepang, kemampuan seperti itu akan muncul sendiri setelah dewasa. Karena itu, diskusi pun, jika diadakan, menjadi sangat tak efisien. Mula-mula sang guru akan mengajukan pertanyaan. Jika tak ada murid bersedia menjawab, ia akan menunjuk salah seorang dari mereka. Murid itu lalu berdiri sambil mencoba menjawab. Jika tidak bisa, ia akan berdiri terus, sampai guru itu memperoleh orang lain yang bisa menjawab. Atau - ini yang paling sering - sang guru menyerah, dan menjawab sendiri pertanyaannya. Kadang-kadang seorang murid terpaksa berdiri lebih dari lima menit, menanti pertanyaan-pertanyaan terjawab. Melihat keadaan seperti itu Rohlen segera merasa, baik si guru maupun si murid sama-sama tak terbiasa dengan diskusi. Ia bertanya kepada si guru, dan mendapat jawaban: diskusi memang baik, tetapi susah dilakukan karena anak-anak biasanya segan. "Kedatangan Anda-lah," katanya lebih lanjut, "alasan utama diadakannya diskusi." Rohlen membayangkan, jika sistem yang serupa diterapkan di AS, apa yang akan terjadi? Pastilah anak-anak akan segera memberontak. Anak-anak Jepang itu pun, tampak sekali, menganggap kelas mereka monoton dan tak menarik. Satu-satunya alasan mengapa mereka mau menerimanya adalah ini: persiapan menghadapi ujian. Di Jepang, saat-saat paling menentukan bagi para pelajar memang saat-saat ujian masuk - masuk SD, SLTP, SLTA, perguruan tinggi. Dalam ujian itulah mereka disaring: yang pintar masuk sekolah bagus, yang kurang pintar masuk sekolah yang kurang bagus. Soal-soal yang diujikan - inilah hebatnya mencakup bidang yang sangat beragam. Sungguh tak terbayangkan bagi orang Amerika seperti Rohlen - bahkan barangkali bagi kita, meski sekolah kita di Indonesia tergolong punya mata pelajaran banyak. Dalam tes masuk, anak-anak Jepang itu diuji pengetahuannya di semua ilmu: sosial dan eksakta. Mereka yang di SLTA dianggap sudah mempelajari ilmuilmu yang di banyak negara lain diajarkan di tingkat universitas: aljabar linier, kimia anorganik, mekanika, statistik, kalkulus. Itulah sebabnya Shimpei Kawate, pelajar Jepang yang pernah bersekolah setahun di Florida, AS, mengeluh, "Sungguh menyedihkan, di Jepang kami tak pernah berpikir. Cuma diajar. Aku kaget sekali sewaktu melihat di Amerika banyak anak mahir matematik tetapi tak bisa mengucap kata-kata Inggris dengan sempurna. Itu sungguh tak mungkin di Jepang! Seorang Jepang dianggap pintar jika ia tahu banyak hal, meski sedikit-sedikit," katanya. Kawate tak maklum bahwa sistem yang dipakai di Jepang mula-mula adalah ciptaan orang Amerika juga. Yaitu ketika Jepang diduduki Amerika, setelah Perang Dunia II. * * * Pendidikan modern di Jepang dimulai setelah Restorasi Meiji. Tahun 1872, Kaisar memberlakukan sistem pendidikan dasar yang baru untuk anak-anak Jepang, laki-laki dan perempuan. Ini membuat perbedaan kelas pada masyarakat feodal Jepang hilang - dan segenap rakyat dipersatukan. Sistem itu terdiri dari enam tahun sekolah dasar wajib, dan beberapa jenis pendidikan menengah dan tinggi. Pendidikan menengah dibagi lima: sekolah menengah, sekolah lanjutan untuk gadis, sekolah kejuruan, sekolah lanjutan untuk pria, dan SD lanjutan selama dua tahun. Sedangkan pendidikan tingginya dibagi empat: universitas, akademi, sekolah tinggi kejuruan, sekolah manajemen profesional, dan IKIP. Dengan sistem pendidikan seperti ini, Jepang akhirnya mampu mengejar ketinggalannya dari negara-negara Barat, dan berhasil menghapus buta huruf secara total pada 1900. Selain itu, pada tahun 1920 wajib belajar SD sudah terpenuhi. Tetapi, di mata Amerika, sistem ini terlihat kurang demokratis. Maka, pada tahun 1946, di bawah kuasa AS, sebuah badan yang disebut Dewan Reformasi Pendidikan dibentuk. Tugasnya mencari gaya pendidikan baru, dengan model pendidikan Amerika. Sistem yan terbentuk tak lama kemudian betul-betul jiplakan Amerika: sembilan tahun pendidikan wajib - terdiri dari enam tahun SD dan tiga tahun SLTP - serta tiga tahun pendidikan SLTA yang tidak wajib. Perguruan tingginya disederhanakan menjadi dua bentuk: universitas, empat tahun, dan akademi, dua tahun. Karena itu, model ini disebut sistem 6-3-3-4. Cara baru ini, karena lebih sederhana, memang memberi lebih banyak kebebasan dan kesempatan melanjutkan pelajaran ke sekolah menengah dan sekolah tinggi. Tetapi ternyata struktur dasar pendidikan lama tak berubah, yaitu kekuasaan untuk menentukan semua aspek pendidikan masih dipusatkan di Kementerian Pendidikan. Memang, ada Badan Pendidikan Daerah seperti di Amerika, tetapi praktis tak berfungsi. Salah satu contoh karya Kementerian yang menggerogoti hak Badan Pendidikan Daerah adalah standardisasi kurikulum yang berlaku sejak 1950. Standardisasi ini menentukan secara terinci isi kurikulum untuk TK, SD, SLTP, dan SLTA. Untuk perguruan tinggi, suatu sistem pengujian, buku acuan, dan peraturan-peraturan dibikin. Dengan peraturan ini, semua sekolah dan perguruan tinggi diseragamkan. Sistem baru ini ternyata memang berhasil secara mengagumkan. Dengan itu pendidikan ikut pula menentukan keberhasilan Jepang membangun kembali ekonominya yang bobrok setelah Perang. Juga mempercepat tumbuhnya masyarakat egaliter, mengganti masyarakat berkelas. Ia pulalah yang membikin Jepang kini menjadi salah satu negara paling demokratis dan paling maju. Jika dirinci, hasil yang sudah dicapai kira-kira seperti ini. Yang pertama, sistem ini memungkinkan persamaan hak untuk menikmati pendidikan. Sembilan puluh lima persen remaja Jepang bisa melanjutkan pendidikan ke SLTA, dan 35% berhasil masuk perguruan tinggi - yang menyebabkan Jepang menjadi salah satu negara dengan persentase sarjana paling besar di dunia. Yang kedua, standar pendidikan yang tinggi dan seragam bisa di pertahankan. Sudah umum diketahui bahwa anak Jepang setiap kali dites selalu jauh lebih unggul dari anak-anak negara lain. Misalnya hasil tes yang dimuat Psychology Today edisi September 1982. Dari 20 sekolah di AS dan di Jepang, tak sebuah sekolah pun di AS bisa mencapai skor minimal yang diperoleh sekolah Jepang. Yang lebih hebat, dari 100 anak terbaik, 99 orang berasal dari lepang. Tak heran jika industri Jepang selalu mendapat pekerja berkemampuan tinggi. Yang ketiga, penyaringan bakat menjadi sangat efisien - karena ujian masuk sangat ketat. Sekolah-sekolah terbaik Jepang berhasil memperoleh murid-murid yang betul-betul mampu. Artinya, Jepang berhasil mengumpulkan bakat-bakat terbaik untuk kedudukan yang tepat. Yang keempat, standardisasi kualitas guru, fasilitas sekolah, dan kurikulum ternyata berhasil membangkitkan rasa solidaritas. Kesadaran ini mempunyai peranan penting dalam pembentukan loyalitas kelompok - sesuatu yang paling menonjol dari setiap organisasi Jepang. Itulah yang menyebabkan karyawan perusahaan Jepang punya loyalitas tinggi pada perusahaan. Mereka bisa dipindahkan ke bagian mana saja - dan tahan. * * * Tetapi, seperti umumnya kisah sukses, pendidikan gaya ini juga mempunyai banyak sisi gelap. Kejelekan ini telah terasa sejak beberapa tahun lalu, dan telah menarik perhatian banyak ahli. Malahan korbannya tercatat sudah cukup banyak. Ikuo Amano, guru besar sosiologi pendidikan di Universitas Tokyo, dalam Look Japan 10 Januari 1985, merinci ketidakberesan ini dalam delapan pokok persoalan. Pertama, tangga 6-3-3-4 yang sederhana itu. Dengan sistem yang kaku ini, inovasi baru menjadi tak mungkin. Misalnya usaha untuk menggabung taman kanak-kanak dengan SD atau SLTP dengan SLTA. Juga tak mungkin mendirikan sekolah atau universitas dengan tahun ajaran yang bukan 6-3-3-4. Inovasi semacam ini sebenarnya penting, karena setelah semua orang bisa menikmati pendidikan, jenis-jenis pendidikan yang tersedia menjadi tak cukup. Itulah sebabnya, sejak semula, sistem ini telah dikritik habis-habisan. Bahkan Dewan Pendidikan Pusat telah berkali-kali berusaha mengubahnya. Sekolah kejuruan lima tahun, yang didirikan pada 1961, adalah salah satu bentuk reaksi itu. Pokok persoalan kedua: kontrol yang terlalu ketat dari Departemen Pendidikan. Kontrol ini memang membuahkan pemerataan kesempatan. Tetapi, selain itu, penyeragaman isi pendidikan menyebabkan tak adanya kekhasan sekecil apa pun di sekian banyak sekolah di seluruh Jepang. Semuanya sama, termasuk universitas dan akademinya. Isi buku acuannya sama. Ujiannya sama. Ini menyebabkan diversifikasi isi pendidikan hampir tak mungkin . Persoalan ini agaknya tidak khas Jepang - di negara-negara maju lain pun muncul. Sekolah jadi tampak menekan dan mengurangi kebebasan anak didik. Dan, walaupun anak-anak Jepang masih tergolong anak manis - rajin, teratur, patuh, tanda-tanda perubahan mendasar sudah mulai tampak. Anak-anak mulai malas bersekolah, motivasi belajar menurun, juga terlihat tindak kekerasan. Dan, yang menyedihkan bagi Jepang, yang rasio kelulusannya 95% (AS cuma 73%), angka putus sekolah ternyata besar. Menurut Amano, anak-anak itu merasa sekolah bukan lagi tempat yang menyenangkan. Persoalan keempat timbul karena kompetisi yang ketat - terjadi setelah semua anak punya kesempatan sama untuk belajar. Perlombaan ketat ini terutama terlihat pada ujian masuk yang diselenggarakan sekolah masing-masing. Di Jepang, sekolah ditentukan bobotnya dalam sistem peringkat yang disebut hensachi. Makin tinggi peringkat suatu sekolah atau universitas, makin terjamin masa depan lulusannya. Karena itu, yang mengincarnya banyak, dan akibatnya masuknya pun susah. Dan kompetisi itu tentu saja menaikkan ongkos persiapan yang harus dikeluarkan orangtua murid. Mereka harus mengikutkan anaknya pada semacam bimbingan tes, membelikannya buku-buku penuntun ujian masuk, dan lain-lain. Akibatnya: kelompok kayalah - yang bisa memberi persiapan lebih baik - yang, tidak urung, lebih punya kesempatan. Sedangkan anak-anak yang merasa tak akan mampu masuk sekolah dan perguruan tinggi terbaik akhirnya menjadi putus asa, dan pasrah mendaftar ke sekolah peringkat bawah. Inilah tanda awal merosotnya mobilitas sosial Jepang yang telah memungkinkan pertumbuhan ekonomi yang pesat selama ini. Selain itu, sistem peringkat juga telah menyebabkan persoalan kelima: pemujaan gelar alias gakureki. Gakureki ini tak hanya menyangkut gelar tingkatan atau profesi. Malahan juga: dari mana gelar diperoleh. Inilah yang kemudian menjadi ukuran menentukan status sosial - yang sampai-sampainya dituliskan di makam. Ini pula satu-satunya sisa sistem hierarki masyarakat feodal Jepang. Sudah tentu keadaan ini menyebabkan trauma yang luar biasa pada anak-anak Jepang. Nasib dan harkat mereka ditentukan ketika berumur 14 tahun, ketika mereka selesai dari masa wajib belajar dan harus bersaing merebut SLA terbaik, untuk - pada gilirannya - masuk perguruan tinggi terbaik. Pokok persoalan keenam: lemahnya struktur pendidikan tinggi di Jepang. Delapan puluh persen mahasiswa Jepang ternyata kuliah di perguruan tinggi swasta yang tak punya sumber keuangan lain kecuali uang kuliah. Karena itu, kualitasnya jauh diswasta Jepang jumlah murid per pengajar lebih tinggi, sementara kemampuan pengajarnya rata-rata lebih rendah. Di samping itu, riset jauh lebih sedikit. Kelemahan ini, menurut banyak sarjana asing, justru akan menjadi "otot achilles" di masa-masa yang akan datang. Dan bila keadaan ini terjadi, kelangsungan pendidikan Jepang, sistem ujian, dan kepercayaan masyarakat pada pendidikan tinggi akan terancam. Persoalan ketujuh - masih menurut pengamatan Amano - tak adanya "pendidikan seumur hidup". Semua sistem sekolah dan perguruan tinggi di Jepang ditujukan untuk anak muda yang tak bekerja. Sedikit sekali kemungkinan orang dewasa belajar lagi. Jika ada, itu biasanya dilakukan sendiri oleh perusahaan buat karyawannya. * * * Selain ketujuh problem itu, Amano masih mengemukakan satu kelemahan lagi. Yaitu sistem ujian masuk itu sendiri. Ini masalah umum di Jepang: tak hanya Amano yang mengutarakannya. Banyak ahli, juga orang awam, mengeluhkannya, bahkan mengecam sistem yang karena beratnya sampai dijuluki "neraka ujian" itu. Betul, tak semua orang setuju istilah itu. Kata mereka, apa yang tampak di luar sebagai neraka, bagi yang menjalaninya sering kali hanya main-main. Buktinya, meski orangtua sudah berusaha melarang, anak-anak masih ngotot pingin masuk bimbingan tes yang diadakan sore hari, setelah usai sekolah. Tentu saja dengan risiko tak bisa bermain-main. Anak-anak itu rela menceburkan diri dalam neraka karena mereka tahu dari situlah nasib mereka ditentukan. Tetapi pada kenyataannya jarang sekali orangtua yang melarang seperti itu. Kebanyakan mereka justru sengaja - kalau tak bisa dikatakan memaksa - melempar anaknya ke dalam neraka dengan memasukkan anak-anak mereka ke bimbingan tes sejak usia 5 tahun. Dengar kata Naoko Konbayashi, ibu dua anak "Aku ingin anak-anakku mampu menaklukkan neraka ujian. Ada dua hal penting dalam hidup: yang bisa dilakukan dan yang tidak. Aku pingin melihat anak-anak mampu melakukan keduanya. Aku akan membuatnya begitu. Jika tidak, mereka tak akan punya kemampuan untuk bekerja setelah dewasa." Dengan pandangan semacam itu tak mengherankan jika, tiap tahun, dewa ilmu dalam agama Shinto mendapat banyak sekali permi.ntaan lulus ujian diukir pada potongan-potongan kayu dan digantungkan di kuil-kuil. Juga tak mengherankan jika tiap sore radio-radio Jepang menyampaikan selamat buat semua anak yang menjalani neraka ujian. Toh banyak juga pendidik Jepang yang menganggap semua itu hasil alamiah dari kepadatan penduduk. "Jika persaingan mengeras di AS, hal yang sama telah terjadi di Jepang," kata Jim Knudsen, satu dari 1.000 warga negara AS yang mengajar di bimbingan tes di Jepang. "Sistemnya berbeda, memang. Tetapi gejalanya sama. Di sini malah lebih maju sedikit." Nyonya Iwahori, seorang ibu yang mencemplungkan anaknya ke neraka itu, berusaha membangun motivasi, "Tak guna mengeluh," ucapnya kepada Thomas Rohlen. "Kami ingin anak kami punya karier lebih bagus ketimbang anak lain. Untuk itu, ya harus mencari sekolah yang baik." Karier bagus, menurut ukuran Jepang, adalah bekerja pada sebuah perusahaan raksasa di negara itu. Alasannya: aman - karena perusahaan semacam itu antipemecatan. Lalu keuntungan-keuntungan samping, seperti pinjaman untuk perumahan dengan bunga lunak dan tunjangan perkawinan. Selain itu, gaji di perusahaan raksasa selalu lebih baik dari perusahaan kecil. Seorang sarjana di perusahaan dengan karyawan lebih dari 1.000 orang memperoleh 123.000 yen per bulan - banding 118.000 yen di perusahaan yang lebih kecil. Untuk wanita memang tak sebesar itu. Mereka harus masuk perusahaan yang paling besar guna memperoleh gaji sebesar yang diperoleh pria di perusahaan paling brengsek. Kata Ny. Iwahori, "Para ibu aku kira membandingkan putra mereka dengan bapaknya. Untuk anak gadis, mereka menginginkannya kawin dengan pria berkarier bagus." Bagi Ny. Watanabe, rekan Ny. Iwahori, "Kejadiannya lebih tragis pada wanita. Keinginan ibu, supaya anak gadisnya hidup lebih baik, jauh lebih keras ketimbang untuk anak laki-laki." Tragedi semacam ini berlangsung karena wanita-wanita Jepang ingin menggenapi impian mereka yang tak kesampaian melalui anak gadis mereka. Selain itu, neraka ujian terasa jauh lebih panas buat wanita. Sebab, kenyataannya wanita Jepang susah mencari pekerjaan yang lebih terhormat daripada menjadi pelayan rumah minum, jika mereka tak punya kemampuan besar. "Kupikir, memang jelek menyuruh bocah kecil berpikir tentang ujian," kata Junichi Yamamoto, pengajar di Juku Nihon Eisai Kyoiku - yang berarti: Sekolah Anak Berbakat. "Tapi coba pikir: siapa yang paling memaksa mereka? Ibu!" Yamamoto tak mencoba berbicara halus ketika ia menyinggung bab neraka ujian. "Neraka ujian itu nyata-nyata tekanan orangtua yang paling menyakitkan bagi anak-anak. Mereka hidup dengan ayah ibu. Mereka tak bisa melakukan apa yang mereka ingin lakukan di rumah, karena bapak ibu menyuruhnya pergi belajar. Mereka merasa bebas, tapi tetap tergantung secara ekonomis kepada orangtua. Perasaan ambivalen ini banyak menimbulkan stres." Dan stres itu antara lain tampak pada anak-anak yang mempunyai penyakit seperti tukak lambung (ulcer). Soal-soal mental juga sering membuat seorang anak terkena blind spot, tak bisa melihat titik tertentu tiap kali membuka buku atau memandang papan tulis. Berbagai kasus semacam itu menyebabkan diskusi ramai ketika masalahnya dimunculkan di televisi. Juga kasus kekerasan melawan guru atau orangtua. Memang belum banyak kejadian seperti itu di negara yang secara tradisional memberi penghormatan berlebih-lebihan kepada orangtua dan guru itu - 1.900 serangan terhadap guru di tahun 1982 (di seluruh negeri) dianggap sangat gawat. Juga pelanggaran aturan yang rata-rata 13,5% dan 10% untuk anak SMP dan SLA cukup mencemaskan. Neraka ujian, yang konon berorientasi ke IQ, sudah dimulai sejak murid berumur 6 tahun. Yang diujikan: perkembangan intelektual, sosial dan fisik, ditambah wawancara. Berdasarkan contoh soal yang ada di Registrasi Taman Kanak-Kanak - salah satu produk industri pendidikan Jepang - seorang anak akan menghadapi pengetes yang memegang pisang atau payung. Pengetes akan bertanya, "Apa ini?" Dia juga akan menunjukkan gambar seorang anak lagi menyikat gigi. "Gambar apa?" Lalu anak itu juga akan disuruh mengulang membaca sebuah daftar angka, menghitung apel di meja, menyelesaikan teka-teki silang, atau menerangkan apa yang harus dilakukan jika lampu lalu lintas berubah warna. Juga akan disuruh menari, menyanyi, dan akhirnya diwawancarai seperti ini: "Suka nonton TV?" Yang lulus dari ujian semacam itu bisa dilihat berbaris memasuki gerbang besi Sekolah Dasar Keio pada upacara penerimaan. Upacara ini betul-betul meriah. Anak-anak yang diberi seragam ketat tampak ceria seperti suasana musim semi di bulan April. Bapak-bapak dan ibu-ibu meninggalkan pekerjaan mereka, turut mengantarkan sang anak ke sekolah barunya. Anak-anak itu, sementara, boleh merasa aman, sampai mereka lulus SD dan mengikuti tes masuk SMP. Persiapan segera dilakukan lagi. Siang malam. Dan di SMP mereka ini sama sekali tak bisa santai. Dalam waktu tiga tahun mereka harus bersiap untuk menghadapi ujian yang lebih menentukan lagi: masuk SLA, yang sudah tidak wajib lagi. Dan hal yang sama juga berlaku ketika mereka di SLA. Bahkan lebih gawat. Di tingkat inilah kerajinan belajar dipertaruhkan: memperoleh perguruan tinggi kelas satu - seperti Universitas Tokyo, Waseda, dan Kyoto - atau universitas kelas biasa. Masa depan lulusan kelas satu di perusahaan kelas satu dan masa depan kelas kambing di perusahaan kelas kambing. * * * Dan tumbuhlah bimbingan tes yang tadi. Bimbingan ini, di Jepang, malah lebih menentukan dibanding, misalnya, di negeri kita yang juga mengenalnya. Bimbingan tes di sana tidak hanya dilakukan untuk menghadapi ujian masuk universitas. Tetapi juga untuk masuk SD, SMP, SLA, dan - gila - untuk masuk bimbingan tes favorit. Ada dua macam bimbingan tes, yaitu juku dan yobiko. Juku berarti bimbingan untuk menghafal materi pelajaran, sedang yobiko berarti tes persiapan menghadapi ujian yang sebenarnya. Keduaduanya kini menjadi bisnis besar, dan menimbulkan banyak pro dan kontra. Salah satu yobiko yang paling terkenal dan paling besar adalah Yoyogi Seminar. Dua hari, setiap April, yobiko ini mengadakan pembukaan tahun ajaran baru di Nippon Budokan yang mampu menampung 15.000 orang. Sepuluh ribu gadis dan pemuda, sebagian besar berumur antara 18 dan 20, dipersatukan oleh satu tujuan: belajar selama setahun penuh untuk menghadapi ujian masuk perguruan tinggi paling top. Pemuda dan pemudi itu dikenal dengan nama ronin. Ronin, yang dulu artinya samurai tak bertuan, kini berarti lulusan SLA yang pernah mengikuti neraka ujian tetapi tak lulus, dan mencoba mengulanginya lagi. Kini mereka akan berjuang selama setahun, mempelajari apa-apa yang diperlukan untuk menghadapi neraka ujian tahun depan. Sebuah perjuangan yang mahal. Uang sekolah diYoyogi - bukan yang paling tinggi - mencapai hampir Rp 2 juta (400.000 yen) per tahun, jauh lebih tinggi ketimbang di Universitas Tokyo sendiri. Di Yoyogi saja, termasuk lima cabangnya di seluruh Jepang, tercatat 33.000 ronin, sebagian dari ronin di seluruh Jepang yang tiap tahun bertambah 200.000. Hebatnya, ronin-ronin ini pun ternyata cuma sebagian dari kelompok yang lebih besar lagi: jutaan pelajar, dari bocah cilik sampai pemuda dewasa, yang menjadi konsumen industri pendidikan ekstra Jepang: buku-buku panduan, videotape, bimbingan tes tertulis, buku kumpulan tes simulasi ujian, dan pelajaran ekstra pribadi di sore hari. Semua itu makin lama makin menjadi syarat mutlak untuk bisa masuk perguruan tinggi. Jika ditulis dalam angka, kehebatan industri pendidikan itu kira-kira beini: Ada kurang lebih 180.000 yobiko dan juku di seluruh Jepang. Jumlah muridnya lebih dari 5 juta jiwa. Di Yoyogi saja - yang terbesar - terdapat 100.000 murid SLA, 7.000 murid SD dan SMP, serta jutaan peserta persiapan tes. Ini belum termasuk ronin yang 33.000 orang tadi. Berapa uang yang bisa dikeduk para pelancar tes ini? Dengan bayaran yang mencapai jutaan rupiah itu tak susah-untuk menduga bahwa jumlah omset bimbingan tes besar sekali: US$ 10 milyar per tahun, alias satu dari tiap tujuh dolar yang dikeluarkan orang Jepang untuk ongkos pendidikan. Uang yang harus dibayar orangtua untuk mengantarkan anaknya ke perguruan tinggi, menurut perhitungan, kira-kira 7.830 dolar, atau hampir 8 juta rupiah. Jika cuma sampai SMP, cukup dengan 3.390 dolar, atau sekitar 3,5 juta rupiah. Tak heran jika para pengajar di juku-juku dan yobiko-yobiko ratarata makmur. Mereka kebanyakan lulusan universitas favorit, dan mendapat jauh lebih besar dari yang diperoleh pengajar SLA. Berapa? Tak jelas. Tetapi guru SLA negeri di Jepang mendapat sekitar Rp 20 juta per tahun. Toh bayaran sebesar itu, menurut para murid, sesuai dengan hasilnya. Bagi mereka, pengajar di juku dan yobiko umumnya lebih menarik ketimbang pak guru di sekolah. "Mereka berpakaian seadanya, tak seperti umumnya guru," kata Yasuko Kamizumi, cewek bekas murid Yoyogi yang kini jadi penerjemah. "Materi yang diajarkannya tak membosankan seperti umumnya buku tata bahasa. Kami betul-betul bisa belajar dan menyukainya." Cewek ini, tentu saja, akhirnya lulus ujian. Rezeki nomplok dari pendidikan itu ternyata tak cuma dinikmati juku dan yobiko. Banyak penerbit buku yang kecipratan - penerbit yang dengan rajin membuat buku-buku persiapan tes, buku-buku teks yang khusus dirancang untuk memperbaiki kemampuan ujian, dan buku penuntun. Lihat saja toko-toko buku di Jepang. Kinokuniya, yang terletak di daerah elite Shinjuku, misalnya, menyediakan satu lantai khusus seluas lapangan sepak bola untuk buku-buku jenis itu, yang harganya antara seribu dan sembilan ribu rupiah per buah. Lebih dari 200 penerbit menjual buku mereka di sini, dengan jumlah judul 40 ribu. Pada sore hari, atau pada hari libur, lantai ini akan dipenuhi para pelajar dengan seragam mereka serta para kyoiku mama - ibu pendidikan - yang dengan setia mengawal sang anak. Mereka menyokong lebih dari 10% omset Kinokuniya - melebihi omset buku-buku olah raga, novel, dan sebagainya. Persentase ini lebih besar untuk toko-toko yang lebih kecil. Salah satu penerbit buku semacam itu adalah Obunsha. Saat ini Obunsha menawarkan 1.000 judul buku panduan plus beberapa macam kamus, ensiklopedi, dan buku soal-soal tes. Sekitar 200 judul diproduksi tahun ini untuk ketiga jenjang pendidikan - SD, SMP, SLA. Omset yang diperolehnya, jangan kaget, 125 milyar rupiah setahun. Bukan bisnis kecil, bukan? * * * Hal-hal negatif yang ditimbulkan sistem pendidikan sekarang ini agaknya oleh Perdana Menteri Yasuhiro Nakasone sendiri sudah dianggap membahayakan. Dia, tahun lalu, membentuk sebuah kelompok untuk mempelajari kemungkinan perbaikannya. Setelah dilantik sebagai PM untuk masa jabatan yang kedua, November lalu, Nakasone memang berjanji melakukan perubahan besar sistem pendidikan, setelah laporan dari Komite Ad Hoc untuk Reformasi Pendidikan diselesaikan. Hasil nyata komite ini memang belum ada. Tetapi, menurut Shichihei Yamamoto, perigarang yang menjadi anggota kelompok yang dibentuk Nakasone tahun lalu itu, penyelesaiannya tak terletak di tangan pemerintah. "Sekarang ini pemerintah menghabiskan 90% anggaran pendidikannya untuk SD. Tak ada negara lain yang melakukan tindakan seperti ini. Seandainya swasta diizinkan membentuk sekolah dasar model lain, pemerintah bisa berkonsentrasi pada pendidikan menengah dan tinggi," katanya. Yamamoto percaya, cara ini akan melonggarkan kembali struktur kaku pendidikan sekarang, dan memungkinkan dibentuknya jenis-jenis sekolah baru. Dengan kata lain, ada diversifikasi. Proposal kelompoknya memang berkisar pada hal itu. Dengan demikian, "Setiap orang Jepang bisa tumbuh sesuai dengan keinginan dan kemampuannya - tidak dipaksa-paksa oleh struktur yang kaku." Kelompok ini juga menghendaki supaya korporasi-korporasi raksasa Jepang mau meninjau kembali sistem perekrutan pegawai mereka. Tak lagi hanya didasarkan atas ijazah sekolah favorit, tetapi juga bakat individual. "Di dunia yang makin terspesialisasi ini perlukah latihan sekian banyak kemampuan dasar itu?" tanya Yamamoto. "Lebih baik tiap anak diberi kebebasan untuk berkembang sendiri." "Sudah sering kami menyuruh anak didik kami mengerjakan apa yang mereka maui," sambut seorang kepala sekolah SMP. "Saya tahu apa yang dimaui kelompok Nakasone itu. Tetapi susah, lho. Yang mereka mau ubah bukan cuma sistem pendidikan. Tetapi cara berpikir orang Jepang!" Usul lain kelompok Nakasone adalah perubahan sistem ujian. Terutama segi penyeragaman itu. "Sistem ujian sekarang adalah penyamarataan," kata Yamamoto. "Dengan cara sekarang, nilai bahasa Inggris dan matematika, misalnya, akan dirata-ratakan - sehingga seorang yang berbakat bahasa Inggris akan terabaikan cuma karena matematikanya jelek." Usul-usul itu tentu saja tak gampang dilakukan termasuk suatu sistem kredit yang berlaku secara nasional. Maksudnya, nilai yang telah diberikan oleh suatu universitas harus diakui universitas lain. Tetapi agaknya Nakasone akan tetap meneruskan niatnya - berhasil ataupun tidak. Menurut Prof. Ikuo Amano, Jepang saat ini sedang berada pada titik balik. Jurusan mana yang akan ditempuh belum jelas. Tujuan sistem pendidikan yang lama memang telah tercapai. Juga tujuan bangsa. Tetapi kini belum ada konsensus tentang tujuan selanjutnya. Karena itulah, persoalan reformasi pendidikan menjadi sulit. Barangkali bahkan di luar kesanggupan Komite Ad Hoc yang dibentuk Nakasone.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini