Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INI bukan kursi roda biasa. Desainnya futuristik. Kerangka kursi terbuat dari aluminium berukuran 1 x 1 meter dengan posisi duduk setinggi 0,5 meter. Sepasang roda sebesar ban skuter menopang kursi di bagian belakang. Sepasang roda berukuran lebih kecil terpasang di bagian depan, berfungsi mengarahkan kursi ke kiri dan ke kanan. Sebuah kamera diletakkan tepat di depan mata penggunanya.
Kursi roda ini juga dilengkapi dengan perangkat kecerdasan buatan yang dapat membantu keterbatasan fisik manusia. Untuk menggerakkannya pun bisa dilakukan secara otomatis. ”Eksekusi gerakan diperintah lewat gerakan mata,” kata Hendrik Setiawan, perancang kursi roda canggih itu, Selasa pekan lalu.
Hendrik, 24 tahun, alumnus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya. Karyanya itu dipamerkan di acara Robotics and Technology Fair (Ro-Tech) pada 1-2 Desember 2009 di gedung Prof. Soedarto, Universitas Diponegoro, Semarang. Berkat kursi karya Hendrik itu jugalah, tim ITS dinobatkan sebagai juara I dalam kompetisi yang menjadi bagian dari rangkaian acara tersebut.
Karya Hendrik itu adalah prototipe kursi roda pertama yang dioperasikan atas perintah mata. Tak mengherankan bila ia kerap dibawa berkeliling dari kampus ke kampus dan menjuarai berbagai kompetisi ilmiah, di antaranya juara III Pagelaran Mahasiswa Nasional Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (geMasTIK) kategori Smartware Contest dan finalis Lomba Inovasi Nasional.
Hendrik bercerita, kursi roda itu memang dibuat untuk membantu mereka yang menderita kelumpuhan total atau cacat fisik (kaki dan tangan) serta sangat bergantung pada orang lain untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Mereka yang tak beruntung itu tentu memerlukan alat bantu seperti kursi roda yang sistem kerjanya menggunakan perintah gerakan mata. ”Jadi mudah dioperasikan, membuat mereka lebih mandiri,” kata Hendrik.
Selama ini, kursi roda yang ada di pasar mayoritas digerakkan oleh tuas otomatis atau manual dengan bantuan tangan atau kaki. Artinya, orang yang lumpuh total kesulitan menggunakannya. Harganya pun masih mahal, berkisar Rp 8 jutaan hingga puluhan juta rupiah.
Itulah yang membuat Hendrik berpikir dan bekerja keras. Pada pertengahan 2008, remaja asal Kota Pahlawan ini lantas membuat tugas akhir sebagai syarat kelulusan di jurusan teknik elektro, sekaligus membuat penelitian yang bermanfaat untuk kepentingan orang banyak. ”Tidak sekadar lulus menjadi sarjana saja,” kata Hendrik seraya tertawa.
Ide itu memang tidak orisinal muncul dari pemikiran Hendrik. Kakak kelas Hendrik, Jauhar Wayunindho, lebih dulu mengawali penelitian yang sama tapi dengan metode yang berbeda. Kursi roda buatan Jauhar digerakkan dengan sinyal gerakan mata. Sinyal ini ditangkap oleh dua pasang elektroda yang ditempelkan di sekitar mata. ”Bedanya ada pada alat untuk mengidentifikasi arah pandang mata,” kata Djoko Purwanto, dosen pembimbing pembuatan tugas akhir tersebut. Kursi buatan Hendrik menggunakan kamera.
Hendrik menceritakan sedikitnya butuh dua semester untuk menyelesaikan karyanya ini, mulai studi pustaka, merancang dan membuat peranti keras, hingga mengkoordinasinya dengan peranti lunak di kursi roda. Ia harus membuat kursi roda tersebut benar-benar bisa bergerak sesuai dengan perintah mata.
Purwarupa kursi roda itu dilengkapi sebuah kamera serupa yang dipasang sejajar dengan mata pengguna kursi roda. Kamera itu terhubung ke sebuah komputer jinjing di salah satu bagian belakang kursi roda. ”Kelak, jika kursi ini diproduksi massal, komputer bisa diganti dengan mikroprosesor,” katanya.
Untuk menggerakkan kursi, pengguna tinggal menggerakkan matanya ke arah yang dituju. Gerakan mata ditangkap oleh kamera. Sebelum menjadi perintah gerak, data diolah dalam PC menggunakan aplikasi Visual Studio dan Open CV berbasis Windows sehingga kursi roda bisa bergerak ke tiga arah yang diinginkan, yaitu depan, kanan, dan kiri.
Setiap mengawali atau mengakhiri sebuah gerakan kursi roda, mata diharuskan mengedip dengan cara ditahan minimal sekitar satu detik. Selanjutnya, mata bergerak ke arah yang diinginkan. Misalnya, untuk bergerak ke kiri, mata tinggal digerakkan ke kiri. Begitu juga sebaliknya. Jika ingin maju, mata tinggal digerakkan ke depan. Untuk menghentikan perintah gerakan kursi roda, kata Hendrik, jauhkan saja mata dari jangkauan kamera.
Hasil pengujian menunjukkan sistem kursi roda listrik yang dikendalikan melalui gerakan mata ini mempunyai tingkat keberhasilan yang memuaskan. Untuk gerakan maju, akurasinya 95 persen, ke kiri 97 persen, dan ke kanan 89 persen.
Kursi roda buatan Jauhar, kakak kelas Hendrik, lain lagi. Dia bisa digerakkan ke empat arah yang berbeda. Gerakan mata melirik ke bawah, atas, kiri, dan kanan untuk menghasilkan gerakan kursi roda maju, mundur, serta belok kiri dan kanan.
Menurut Jauhar, secara garis besar sistem dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah pengkondisi sinyal, yang berfungsi mengukur sinyal Electro-oculography (EOG) istilah untuk teknik perekaman perubahan posisi mata. Sinyal ditangkap dengan dua pasang elektroda di sekitar mata. ”Kunci gerakan ada pada sinyal-sinyal di sekitar mata,” kata pegawai swasta yang diwisuda pada 2008 itu.
Bagian kedua adalah identifikasi sinyal, yang berfungsi mengidentifikasi sinyal EOG serta mengatur pola gerakan agar dapat menghasilkan gerakan kursi roda yang lembut sehingga memberikan kenyamanan bagi pengguna. Bagian ketiga adalah PID (proporsional, derivatif, integratif), yaitu alat digital yang berfungsi menghasilkan gerakan motor sesuai dengan arah dan kecepatan yang diinginkan. ”Untuk berhenti, lirikan mata cukup diarahkan ke gerakan lain dalam gerak cepat,” katanya.
Jauhar membutuhkan waktu setahun untuk menyelesaikan penelitian kursi rodanya dan dana Rp 4 juta. ”Minus PC, biaya yang dikeluarkan Rp 5 jutaan,” ujarnya. Dia menyadari masih banyak kelemahan dalam prototipe kursi rodanya itu, misalnya konstruksi kursi yang hanya mampu menahan bobot orang yang duduk maksimal 60-65 kilogram. Kemudian faktor lirikan mata yang spontan juga bisa mengakibatkan gerakan kursi menjadi kacau. Selama percobaan, tingkat keberhasilan mencapai angka 96,7 persen.
Hendrik pun mengatakan kursi karyanya tak luput dari kelemahan. Gerakan anggota badan ditengarai bisa mempengaruhi penerjemahan perintah arah gerak kursi roda. Masalah lainnya adalah faktor kelelahan mata. ”Kamera di kursi roda ini sangat bergantung pada intensitas cahaya,” katanya. Perubahan cahaya bisa membuat kamera tidak peka menerjemahkan arah perintah mata.
Meski demikian, para penderita paraplegia (lumpuh dua kaki) tetap senang mendengar adanya alat yang dikembangkan para peneliti muda ini. ”Kami akan sangat terbantu, terutama bila ada produksi secara massal dengan harga yang murah,” kata Eddy Simon, seorang penderita cacat tubuh.
Rudy Prasetyo
Sistem Kerja Kursi Roda Listrik
1. Perekaman perubahan posisi mata Sinyal ditangkap dengan dua pasang elektroda di sekitar mata.
2. Identifikasi sinyal Mengatur pola gerakan agar dapat menghasilkan gerakan kursi roda.
3. Alat digital proporsional, derivatif, integratif Penghasil gerakan motor sesuai dengan arah dan kecepatan yang diinginkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo