Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HUJAN kerap jatuh di Kopenhagen hari-hari ini. Temperatur membeku, rata-rata di bawah 10 derajat Celsius. Tapi suhu diskusi justru memanas di arena konferensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) di ibu kota Denmark yang dimulai Senin pekan lalu. Negara berkembang yang tergabung dalam Kelompok 77 (G-7) belum mencapai kata sepakat dalam penyusunan usulan ke pertemuan tingkat tinggi konferensi itu pada pekan ini.
”Masih ada perbedaan pandangan di antara sejumlah negara mengenai beberapa hal, termasuk masalah angka penurunan emisi karbon dioksida, sistem pendanaan untuk membantu negara berkembang, dan alih teknologi,” kata Masnellyarti Hilman, Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup, yang bertugas memantau perkembangan perundingan ini, Rabu pekan lalu.
Menurut Masnellyarti, dalam perkara pendanaan, misalnya, sebagian negara berkembang sudah setuju untuk mengambilnya dari Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) yang ditetapkan di bawah Protokol Kyoto. Mekanisme ini memungkinkan negara maju atau perusahaan mendapat kredit investasi untuk proyek pengurangan atau penghapusan emisi gas rumah kaca di negara berkembang. Tapi, kata dia, sebagian negara lain masih menuntut dana tambahan dari negara maju.
Sebaliknya, kata perempuan yang beberapa kali memimpin delegasi Indonesia dalam perundingan mengenai perubahan iklim itu, negara maju menganggap perlu adanya mekanisme pemantauan bagi negara-negara yang menggunakan dana bantuan tersebut. Mekanisme ini belum disepakati bentuknya.
Negara-negara maju, kata Masnelly arti, juga menginginkan agar Amerika Serikat ikut dalam periode kedua komitmen Protokol Kyoto. Washington selama ini menolak meratifikasi protokol itu, sehingga tidak ikut bersama negara industri lain dalam komitmen periode pertama penurunan emisi gas rumah kaca 5,2 persen dari tingkat emisi mereka pada 1990, selama 2008 hingga 2012.
Perundingan yang masih alot itu kian rumit setelah beredar sebuah dokumen yang disebut-sebut sebagai rancangan Kesepakatan Kopenhagen bikinan tuan rumah. Dokumen itu dilansir surat kabar Inggris, The Guardian.
Dalam dokumen itu tertuang usul untuk mempertahankan rata-rata suhu dunia naik hingga dua derajat Celsius di atas tingkat suhu masa praindustri dan menyatakan 2020 sebagai titik puncak emisi karbon global suatu batas yang tidak dinyatakan dalam Protokol Kyoto. Naskah itu juga melarang negara miskin melepas emisinya lebih dari 1,44 ton karbon per orang pada 2050, tapi membolehkan negara kaya melepas 2,67 ton karbon.
Dokumen itu juga mengaburkan batas-batas yang dibuat Protokol Kyoto untuk membedakan negara maju yang masuk Annex 1 dan negara berkembang. Menurut protokol itu, hanya negara dalam daftar Annex 1 yang wajib menurunkan emisi dengan kadar dan tenggat tertentu. Sedangkan negara berkembang dan miskin tidak diwajibkan menurunkan emisi, tapi tetap memiliki komitmen untuk turut bertanggung jawab dalam penurunan emisinya. Dokumen itu malah menganggap negara maju telah mencapai puncak emisi secara kolektif pada 2020 itu, dan negara berkembang akan sampai pula dengan jangka waktu yang lebih panjang.
Naskah itu secara khusus menyatakan emisi dari negara maju harus turun sekitar 80 persen pada 2050 dari tingkat emisinya pada 1990. Rancangan itu juga mengusulkan target penurunan emisi sementara bagi negara berkembang pada 2020, tapi angka penurunan itu masih ditandai ”X”, yang berarti tidak akan ditetapkan sebelum perundingan tingkat tinggi berlangsung pekan ini.
Bocornya rancangan itu membuat gerah negara berkembang. Su Wei, wakil ketua delegasi Cina dalam perundingan itu, menilai penetapan titik akhir emisi karbon bagi negara berkembang adalah tidak adil, karena mereka masih dalam tahap pembangunan.
Ketua G-7, Lumumba Stanislaus Dia Ping, menuding rancangan persetujuan yang diajukan pemerintah Denmark itu ditujukan demi melindungi dan memperluas dominasi dan supremasi ekonomi negara maju sebagai bentuk imperialisme. ”Imperium selalu merampas sumber-sumber alam dengan kejam dan tanpa mengenal kasihan,” kata ambasador Sudan itu. ”Naskah Denmark itu berusaha mengamankan 60 persen ruang atmosfer dunia bagi 20 persen negara-negara terkaya di dunia,” katanya di depan para wartawan di Kopenhagen.
Dokumen itu memang mengusulkan untuk memberikan kendali lebih banyak kepada Bank Dunia dalam menerapkan Perjanjian Kopenhagen. Selama ini Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi pemain kunci absolut dalam pelaksanaan Protokol Kyoto. Peralihan ini secara tidak langsung akan memberikan kendali lebih banyak kepada negara industri dunia.
Kementerian Lingkungan Hidup Denmark membantah tuduhan dokumen kontroversial itu adalah usul resmi negaranya. Sekretaris Eksekutif UNFCCC Yvo de Boer menyatakan, naskah itu dan naskah-naskah lainnya belum dibahas secara resmi. ”Naskah-naskah itu adalah dasar perundingan sejumlah negara sejak sepekan lalu dan belum pernah dibahas secara resmi di meja perundingan,” katanya, seperti dikutip CNN.
Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim (CSF) bersama Climate Justice Now!, kelompok masyarakat sipil dunia yang menyoroti isu perubahan iklim yang berkeadilan, mengirimkan petisi untuk memprotes Denmark. Menurut Koordinator CSF, Giorgio Budi Indarto, hal ini menunjukkan adanya proses demokrasi yang tak berjalan, karena dokumen itu disusun hanya oleh segelintir negara maju yang diundang pemerintah Denmark. Padahal, ”Di konferensi ini berlaku asas satu negara satu suara. Pembuatan rancangan perjanjian Denmark itu merupakan upaya pendiktean negara maju terhadap negara berkembang,” katanya saat dihubungi Tempo di Kopenhagen pada Rabu pekan lalu.
Delegasi Indonesia tak menolak ataupun menerima isi dokumen kontroversial itu. Sikap Indonesia, kata Masnellyarti, tak berubah. ”Kita pada dasarnya adalah negara yang secara sukarela akan menurunkan emisi gas rumah kaca 26 persen pada 2020,” katanya.
Masnellyarti menyatakan perundingan terus berjalan dan keadaan dapat berubah sewaktu-waktu. ”Kami masih menunggu keputusan akhirnya dan kami berharap kesepakatan politis masih mungkin dicapai,” katanya.
Kurniawan
Sikap Para Perunding
UNI EROPA
NEGARA KECIL
CINA
INDIA
JEPANG
AMERIKA SERIKAT
INDONESIA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo