Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Jalan Masih Panjang di Kopenhagen

Beredar dokumen yang memicu kontroversi. Negara maju belum satu suara.

14 Desember 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUJAN kerap jatuh di Kopenhagen hari-hari ini. Temperatur membeku, rata-rata di bawah 10 derajat Celsius. Tapi suhu diskusi justru memanas di arena konferensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) di ibu kota Denmark yang dimulai Senin pekan lalu. Negara berkembang yang tergabung dalam Kelompok 77 (G-7) belum mencapai kata sepakat dalam penyusunan usulan ke pertemuan tingkat tinggi konferensi itu pada pekan ini.

”Masih ada perbedaan pandangan di antara sejumlah negara mengenai beberapa hal, termasuk masalah angka penurunan emisi karbon dioksida, sistem pendanaan untuk membantu negara berkembang, dan alih teknologi,” kata Masnellyarti Hilman, Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup, yang bertugas memantau perkembangan perundingan ini, Rabu pekan lalu.

Menurut Masnellyarti, dalam perkara pendanaan, misalnya, sebagian negara berkembang sudah setuju untuk mengambilnya dari Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) yang ditetapkan di bawah Protokol Kyoto. Mekanisme ini memungkinkan negara maju atau perusahaan mendapat kredit investasi untuk proyek pengurangan atau penghapusan emisi gas rumah kaca di negara berkembang. Tapi, kata dia, sebagian negara lain masih menuntut dana tambahan dari negara maju.

Sebaliknya, kata perempuan yang be­berapa kali memimpin delegasi Indonesia dalam perundingan mengenai perubahan iklim itu, negara maju menganggap perlu adanya mekanisme pemantauan bagi negara-negara yang meng­gunakan dana bantuan tersebut. Mekanisme ini belum disepakati bentuknya.

Negara-negara maju, kata Masnelly arti, juga menginginkan agar Amerika Serikat ikut dalam periode kedua komitmen Protokol Kyoto. Washington selama ini menolak meratifikasi protokol itu, sehingga tidak ikut bersama nega­ra industri lain dalam komitmen periode pertama penurunan emisi gas rumah kaca 5,2 persen dari tingkat emisi mere­ka pada 1990, selama 2008 hingga 2012.

Perundingan yang masih alot itu kian rumit setelah beredar sebuah dokumen yang disebut-sebut sebagai rancangan Kesepakatan Kopenhagen bikinan tuan rumah. Dokumen itu dilansir surat kabar Inggris, The Guardian.

Dalam dokumen itu tertuang usul untuk mempertahankan rata-rata suhu dunia naik hingga dua derajat Celsius di atas tingkat suhu masa praindustri dan menyatakan 2020 sebagai titik puncak emisi karbon global suatu batas yang tidak dinyatakan dalam Pro­tokol Kyoto. Naskah itu juga melarang negara miskin melepas emisinya lebih dari 1,44 ton karbon per orang pada 2050, tapi membolehkan negara kaya melepas 2,67 ton karbon.

Dokumen itu juga mengaburkan batas-batas yang dibuat Protokol Kyoto untuk membedakan negara maju yang masuk Annex 1 dan negara berkembang. Menurut protokol itu, hanya negara dalam daftar Annex 1 yang wajib menurunkan emisi dengan kadar dan tenggat tertentu. Sedangkan negara berkembang dan miskin tidak diwajibkan menurunkan emisi, tapi tetap memiliki komitmen untuk turut bertanggung jawab dalam penurunan emisinya. Doku­men itu malah menganggap negara maju telah mencapai puncak emisi secara kolektif pada 2020 itu, dan negara berkembang akan sampai pula dengan jangka waktu yang lebih panjang.

Naskah itu secara khusus menyatakan emisi dari negara maju harus turun sekitar 80 persen pada 2050 dari tingkat emisinya pada 1990. Rancangan itu juga mengusulkan target penurunan emisi sementara bagi negara berkembang pada 2020, tapi angka penurunan itu masih ditandai ”X”, yang berarti tidak akan ditetapkan sebelum perundingan tingkat tinggi berlangsung pekan ini.

Bocornya rancangan itu membuat gerah negara berkembang. Su Wei, wakil ketua delegasi Cina dalam perundingan itu, menilai penetapan titik akhir emisi karbon bagi negara berkembang adalah tidak adil, karena mereka masih dalam tahap pembangunan.

Ketua G-7, Lumumba Stanislaus Dia Ping, menuding rancangan persetujuan yang diajukan pemerintah Denmark itu ditujukan demi melindungi dan memperluas dominasi dan supremasi ekonomi negara maju sebagai bentuk imperialisme. ”Imperium selalu merampas sumber-sumber alam dengan kejam dan tanpa mengenal kasihan,” kata ambasador Sudan itu. ”Naskah Denmark itu berusaha mengamankan 60 persen ruang atmosfer dunia bagi 20 persen negara-negara terkaya di dunia,” ka­tanya di depan para wartawan di Kopenhagen.

Dokumen itu memang mengusulkan untuk memberikan kendali lebih banyak kepada Bank Dunia dalam mene­rapkan Perjanjian Kopenhagen. Selama ini Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi pemain kunci absolut dalam pelaksanaan Protokol Kyoto. Peralihan ini secara tidak langsung akan memberikan kendali lebih banyak kepada negara industri dunia.

Kementerian Lingkungan Hidup Denmark membantah tuduhan doku­men kontroversial itu adalah usul resmi negaranya. Sekretaris Eksekutif UNFCCC Yvo de Boer menyatakan, naskah itu dan naskah-naskah lainnya belum dibahas secara resmi. ”Naskah-naskah itu adalah dasar perundingan sejumlah negara sejak sepekan lalu dan belum pernah dibahas secara resmi di meja perundingan,” katanya, seperti dikutip CNN.

Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim (CSF) bersama Climate Justice Now!, kelompok masyarakat sipil dunia yang menyoroti isu perubahan iklim yang berkeadilan, mengirimkan petisi untuk memprotes Denmark. Menurut Koordinator CSF, Giorgio Budi Indarto, hal ini menunjukkan adanya proses demokrasi yang tak berjalan, karena dokumen itu disusun hanya oleh segelintir negara maju yang diundang pemerintah Denmark. Padahal, ”Di konferensi ini berlaku asas satu negara satu suara. Pembuatan rancangan perjanjian Denmark itu merupakan upaya pendiktean negara maju terhadap negara berkembang,” katanya saat dihubungi Tempo di Kopenhagen pada Rabu pekan lalu.

Delegasi Indonesia tak menolak ataupun menerima isi dokumen kontroversial itu. Sikap Indonesia, kata Masnellyarti, tak berubah. ”Kita pada dasarnya adalah negara yang secara sukarela akan menurunkan emisi gas rumah kaca 26 persen pada 2020,” katanya.

Masnellyarti menyatakan perundingan terus berjalan dan keadaan dapat berubah sewaktu-waktu. ”Kami masih menunggu keputusan akhirnya dan kami berharap kesepakatan politis masih mungkin dicapai,” katanya.

Kurniawan

Sikap Para Perunding

UNI EROPA

  • Akan mengurangi emisi 20 persen dari tingkat emisi 1990 pada 2020, atau 30 persen jika negara-negara dengan emisi besar mengambil langkah tegas dalam penurunan emisi.
  • Negara kaya memangkas emisi karbonnya 80-90 persen pada 2050.
  • Negara berkembang dan miskin mengurangi pertumbuhan emisinya.

    NEGARA KECIL

  • Sebanyak 42 negara pulau dan pantai di Pasifik dan Karibia yang tergabung dalam Aliansi Negara Pulau Kecil (Aosis).
  • Kenaikan permukaan laut akan mengancam eksistensi mereka.
  • Membatasi suhu iklim naik hingga 1,5 derajat di atas tingkat suhu pada masa praindustri.
  • Konsentrasi karbon dioksida di atmosfer diturunkan dari 380 ppm ke 350 ppm.
  • Puncak emisi global jatuh pada 2015 dan turun 85 persen dari tingkat emisi 1990 pada 2050.
  • Sekurang-kurangnya 1 persen dari produk domestik bruto negara kaya digunakan untuk kerusakan karena iklim.

    CINA

  • Memangkas emisi karbon per unit dari produk domestik bruto 40-45 persen di bawah tingkat pada 2005 pada 2020.
  • Negara maju mengurangi emisi hingga 40 persen di bawah tingkat 1990 pada 2020.
  • Negara maju harus membayar 1 persen dari PDB per tahun mereka untuk membantu negara miskin beradaptasi.
  • Negara maju harus memberikan teknologi rendah karbon mereka.

    INDIA

  • Akan memangkas emisi karbon per unit dari produk domestik bruto 20-25 persen dari tingkat emisi 2005 pada 2020.
  • Menolak target penurunan emisi yang mengikat secara hukum, tapi menuntut negara kaya terikat secara hukum.
  • Negara kaya dianggap bersalah terhadap terjadinya perubahan iklim.
  • Negara maju memangkas 40 persen emisinya pada 2020.
  • Menolak tujuan untuk mengurangi separuh emisi dunia pada 2050.

    JEPANG

  • Akan mengurangi emisi hingga 25 persen dari tingkat emisi 1990 pada 2020 jika negara lain menunjukkan ambisi yang sama.
  • Prakarsa Hatoyama, yang akan menaikkan bantuan keuangan dan teknis ke negara berkembang.
  • Mendukung usul agar setiap negara menetapkan sendiri komitmennya.

    AMERIKA SERIKAT

  • Akan mengurangi emisi hingga 17 persen di bawah tingkat emisi pada 2005 pada 2020 (janji ini masih menunggu persetujuan Kongres).
  • Menolak kesepakatan semacam Protokol Kyoto, yang menerapkan kewajiban hukum internasional.
  • Cina, India, Afrika Selatan, dan Brasil harus menurunkan tingkat emisinya.

    INDONESIA

  • Akan mengurangi emisi karbon 26 persen dari tingkat emisi 2000 pada 2020, dan dapat mencapai 41 persen bila mendapat dukungan internasional.
  • Semua negara diminta menyetujui suatu target pengurangan emisi global.
  • Penambahan dana dari negara maju untuk membantu negara berkembang dalam menurunkan emisinya.
  • Bila Kopenhagen gagal mencapai kata akhir, perundingan terus berlanjut hingga Juni 2010.
  • Meminta komitmen lanjutan bagi negara maju dalam penurunan emisinya pada periode kedua setelah akhir periode pertama pada 2012.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus