SETIAP hari rata-rata 6000 kendaraan melewati jalan yang
menghubungkan Yogyakarta dan Cilacap. Tak sedikit pula yang
cukup berbobot, seperti mobil tangki, pengangkut produk kilang
minyak di Cilacap. Tapi sebagian jalan itu -- terutama antara
Wates dan Yogya -- selalu dalam keadaan rusak.
"Orag PU pernah putus asa," tutur Moekri BRE, orang pertama
PPJCY (Proyek Peningkatan Jalan Cilacap-Yogyakarta) pekan lalu
kepada TEMPO.
PPJCY -- di bawah Ditjen Bina Marga -- dengan bantuan peralatan
bernilai 833 juta yen (Rp 2,35 milyar) dari Jepang dilaksanakan
sejak tahun 1973. Tapi bagian jalan antara km 8 dan km 27 (km 0
di Yogya) terutama sekali merepotkan pelaksana proyek itu. "Baru
saja diaspal, ia sudah bergelombang bila dilewati kendaraan,"
tutur Ir. Sudarmanto di Bandung. Masih dalam lingkungan Bina
Marga, Sudarmanto mengepalai Subdit Teknik Jalan dari DPMJ
(Direktorat Penyelidikan Masalah Tanah dan Jalan).
Walau berulang kali jalan itu diperbaiki, keadaannya tetap
begitu juga. Ketika diberi fondasi batu besar, malah batunya
tenggelam. Seperti dikemukakan Rustam Effendi, Kepala Unit III
(wilayah Yogya) PPJCY kepada TEMPO, jalan itu tak tahan musim
hujan. Pernah dicoba aspal goreng, seperti gudek favorit di Kota
Yogya, namun seperti sekian banyak cara lain juga tanpa hasil.
Akhirnya, Desember 1977, DPMJ meneliti ruas jalan itu.
Kesimpulannya, tanah dasar di situ memang jelek, yaitu tanah
liat kelanauan (clay soil). Tanah jenis ini memiliki selisih
nilai CBR (California Bearing Ratio) yang sangat tinggi.
Untuk menilai daya dukung berbagai jenis tanah, para ahli
biasanya menggunakan satu ratio yang mengungkapkan daya serap
tanah terhadap air. Ratio ini dinyatakan dengan angka pada skala
CBR. Semakin besar selisih CBR di musim kering dengan CBR di
musim hujan, semakin jelek pula tanah itu. Setidaknya sebagai
badan jalan. Tanah di Yogya itu dalam musim kering memiliki CBR
rata-rata 7, sedang di musim hujan CBR itu menjadi 1,5-1.
Sebagai perbandingan, tanah liat pada tubuh jalan Jagorawi waktu
kering hanya 6 CBR dan waktu basah hanya 4 CBR.
Tanah dengan karakteristik seperti yang di Yogya itu, menurut
Dirjen Bina Marga Ir. Soerjatin, sangat peka untuk menjadi lunak
akibat air yang masuk dari atas. Dan air itu tidak
tanggung-tanggung waktu musim hujan. Curah hujan di situ
berkisar antara 2000 sampai 4000 mm per detik. "Tidak pernah ada
di negara lain," ujar Dirjen itu. Kerusakan di bagian jalan itu
disebabkan masuknya air melalui penetrasi makadam, hingga tanah
dasar jalan melembek.
Paling ideal ialah tanah yang jelek itu diganti. Tapi ini
menghendaki penggalian minimal sedalam 2 meter di bagian jalan
yang tergolong parah, untuk kemudian diisi kembali dengan sirtu
yang dipadatkan'. Cara ini pasti mahal. "sisa biaya pembangunan
jalan di lain tempat kesedot ke situ semua," komentar Rustam.
Kemudian timbul gagasan, meskipun janggal kedengarannya. Untuk
melapis saja jalan itu dengan plastik. "Plastik itu prinsipnya
sebagai mantel saja," kata Moekri. Maksudnya, dengan plastik itu
air hujan tak akan langsung meresap ke tubuh jalan, tapi
mengalir ke tepi.
Dan di Purwokerto, Manungsong BME dari kantor PPJCY setempat
mengibaratkan plastik itu sebagai payung yang melindungi badan
jalan. Manungsong memimpin pelaksanaan pembuatan jalan plastik
itu sejak semula.
Cukup sibuk -- lewat berbagai tes - Manungsong mencari jenis
plastik yang tidak leleh kena aspal panas tapi juga cukup murah.
Pilihan rupanya jatuh pada sejenis plastik yang mengandung mika
-- biasa dipakai untuk taplak meja makan. Harganya waktu itu
sekitar Rp 260 per m2 dan tahan panas sampai 200øC.
Memang proyeknya, seperti diakui Moekri, tidak ilmiah. "Tidak
ada di buku, tidak ada di kuliah," katanya. "Bahkan karena
sederhana, kami ditertawakan orang banyak."
Yang juga ketawa ialah PT Duta Fort Indonesia, pembuat DUFIN,
jenis plastik yang lulus tes Manungsong. Harganya di pasaran
melonjak. Besar jumlahnya yang dipakai. Setiap satu meter jalan
membutuhkan 14 m plastik, hingga seluruhnya terpakai sekitar 120
km.
Tekniknya terlebih dulu dicoba pada sebagian jalan sepanjang 200
m. Sesuai dengan instruksi Dirjen Bina Marga, badan jalan lama
dipertahankan, hanya didandani dan diratakan hingga kemiringan
3%. Dijaga betul agar tidak terdapat lubang pada sub-base ini
yang kemudian diberi lapisan asmin (aspal minyak) 60/70, setebal
2,44 mm. Suhu aspal itu waktu dicor antara 170øC sampai 180øC. Di
atas lapisan ini plastik yang tebalnya 0,13 mm dihampar
berjalur-jalur, sedang tepinya saling menumpang atau bersusun
sirih. Setiap sambungan itu direkat dengan aspal. Di atas
plastik ini sekali lagi dicor selapis asmin 60/70 setebal 2 mm.
Kali ini bersuhu 160øC. Ini disusul lapisan pasir pasang dengan
tebal 1 cm, kemudian dengan lapisan terakhir berupa bahan
penetrasi makadam biasa setebal 6 cm.
Mungkin Satu-satunya
Hasil percobaan itu cukup meyakinkan. Maka pelaksanaannya
dimulai tahun lalu pada 4 segmen jalan, masing-masing sekitar 2
km, di ruas jalan antara Wates dan Yogyakarta.
"Biasanya jalan itu setiap musim hujan selalu rusak," tutur
Soerjatin. "Sekarang tidak." Namun ia belum berani menyatakan
eksperimen itu sudah berhasil betul. Setidaknya, sudah terbayang
daya tahannya, mungkin mencapai 4 atau 5 tahun. Ternyata teknik
itu masih lebih murah ketimbang dua alternatif lainnya yang
disarankan Dirjen Bina Marga, seperti pemakaian hotmic dan
asbuton.
Pernah Februari lalu dilakukan penggalian seluas 1 m2 pada
bagian jalan yang dilapis plastik itu. Ternyata tubuh jalan
tetap kering sedang aspal dan plastik dalam keadaan relatif
baik. Memang di beberapa tempat plastik itu bolong. Tapi ini
tidak menunjukkan gejala kerusakan parah.
Sudarmanto dari DPMJ berpendapat bahwa teknik ini masih diuji
selama dua atau tiga periode musim hujan lagi. Kondisi jalan itu
masih mulus sesudah melalui satu musim hujan.
Untuk perbandingan, sengaja sebagian jalan diperbaiki tanpa
lapisan plastik. Diperbaiki dengan cara biasa, bagian sepanjang
beberapa ratus meter sekarang sudah retak-retak.
Jalan lapisan plastik ini mungkin satuatunya di dunia. Ada yang
menyamakannya dengan teknik pelapisan jalan dengan bahan terram.
Bahan sejenis fiberglass ini sering digunakan untuk daerah
berpaya di negara Barat. Teknik terram ini diterapkan Indonesia
pada jalan yang menghubungkan Belawan dan Medan. Tapi, kata
Soerjatin, "terram hanya untuk mengalirkan air saja," tidak sama
dengan teknik yang diterapkan di dekat Yogya itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini