Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kisah cinta Aty & Nona

Pn jakarta timur menyidangkan perkara lesbianisme. aty dituduh berbuat lesbian terhadap nona. dan aty dihukum 8 bulan penjara. aty diduga sakit jiwa. (hk)

23 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENANGANI perkara lesbian, tampaknya sulit juga bagi Hakim Nyonya Emin Aminah. Terutama dalam mengungkapkan fakta sampai sekecil-kecilnya untuk putusannya yang harus dibacakannya di muka umum. Sebab perbuatan kedua gadis yang harus diadilinya, tertuduh Aty dan saksi Nona, seperti yang pernah mereka ceritakan dalam persidangan tertutup, membuat hakim wanita tersebut "merasa risih dan kikuk". Ungkapan-ungkapan tertuduh dan saksi, mengenai percintaan dan hubungan seks mereka, memang bukan main. Sehingga hakim perlu memperhalus beberapa perkataan mereka. Sehingga terbuktilah tuduhan Jaksa Nyonya Siti Aisyah: Aty (21 tahun), tertuduh, terbukti berbuat cabul dengan lawannya yang sejenis, Nona (15), yang diketahuinya belum cukup dewasa. Untuk itu Pengadilan Negeri Jakarta Timur, 14 Mei lalu, menghukumnya delapan bulan penjara. Dengan masa percobaan 1 tahun dan 8 bulan Aty. yang ditahan sejak Maret lalu, memang tak harus masuk penjara. Di pengadilan terungkap kisah menyedihkan Aty dan Nona. Aty, yang sekali-sekali ikut memperkuat grup penyanyi terkenal ibukota, mengaku mulai tertarik pada kawan sejenisnya sejak berumur 12 tahun -- sebelum datang bulan. Dari kecil sebenarnya kecenderungan begitu sudah nampak. Ia lebih suka berpakaian dan berlaku sebagai anak laki-laki. Juga tak suka bermain dengan anak perempuan. Ibunya mengetahui ketidakberesan jiwa anaknya dari teman laki-laki Aty sendiri. Waktu piknik, Aty lebih memperhatikan kawan-kawannya yang sejenis daripada kepada pacarnya. Ibunya lalu berikhtiar ke dokter jiwa. Dokter mengatakan, Aty kelebihan hormon laki-laki -- begitu istilah gampangnya-tapi masih dapat disembuhkan. Repotnya, Aty tak merasa mengidap suatu penyakit, sehingga ia merasa tak perlu diobati. Keadaan makin berlarut-larut. Sampai kemudian ia dekat dengan Nona yang sama-sama tinggal di komplek Halim Perdanakusumah, Jakarta Timur. Aty sering menginap di rumah Nona. Kemudian, seperti yang mereka katakan kepada hakim, kedua nona berdarah Ambon itu merasa saling jatuh cinta. Mereka melakukan hubungan seks yang mereka sebut sebagai hubungan suami-istri. Nona pernah menghilang dari rumah selama seminggu. Keluarganya menemukannya di rumah temannya, di Tebet, mendekam bersama Aty. Sehingga Polisi AU perlu dimintai bantuan untuk memutuskan hubungan kedua gadis tersebut. Aty dan Nona menandatangani perjanjian untuk tidak saling berhubungan lagi. Tapi percintaan mereka tak hapus begitu saja. Diam-diam mereka masih saling bertemu. Sampai suatu hari, Februari lalu, mereka bertemu di depan sebuah pusat perbelanjaan. Nona masih berpakaian seragam (ia siswa kelas II sebuah SMP di Halim) ketika Aty mengatakan hendak pergi ke Malang. Nona, seperti dikatakannya kemudian, dengan sendirinya hendak mengikuti ke mana Aty pergi. Tak ada paksaan, bujukan atau yang sejenis. Tanpa persiapan Nona pergi. Beberapa waktu mereka bermukim di Malang. Dari situ Nona berkirim surat kepada keluarganya yang diposkan oleh temannya di Jakarta. Isinya, antara lain, minta maaf dan pengertian papi dan maminya. Sampai harus dibunuh pun, katanya, "Nona tetap memilih Aty sebagai kawan hidup" Untuk itu, katanya pula, ia dan Aty sudah mengikrarkan janji di atas alkitab. Ia tak senang pada laki-laki, begitu lanjutan surat tadi, "karena mereka egoistis dan senangnya nyakitin -- Nona tahu siapa laki-laki itu." Mengapa sampai begitu? Nona hanya menyebutnya sebagai "karma". Maka, katanya, semua keadaan "Nona terima." Dari Malang mereka ke Bali. Biaya hidup dan perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain ditanggung Aty. Percintaan dan hubungan seks berlangsung terus. Kepada hakim keduanya mengaku saling memuaskan. Sampai ibu Aty kemudian menjemput mereka. Berdasarkan pengaduan keluarga Nona, begitulah, akhirnya Aty masuk tahanan. Apakah si pengidap penyakit kelainan jiwa seperti ini dapat dihukum? Menurut pembela, Sri Kusumastuti, ada surat keterangan dokter yang menyatakan Aty memang menderita kelainan jiwa. Dan menurut undang-undang, katanya, tertuduh yang kurang sempurna akalnya atau berubah akalnya tidak boleh dihukum. Namun pengadilan berpendapat lain rupanya. Ibu si Aty pasrah. Namun begitu, katanya, "kami akan terus berusaha agar ia normal." Ada dokter yang akan mengusahakannya, baik melalui suntikan atau kalau perlu dengan jalan operasi, untuk mengurangi hormon laki-laki yang mencekam si Aty. Sedangkan ibu Nona, yang sangat kecewa dengan keadaan anaknya, tak lain cuma bilang: "Masa depan anak saya sudah hancur. Saya tak ingin hal itu terjadi lagi pada anak saya dan juga yang lain . . . " Nona sendiri, yang berada di luar ruangan waktu vonis hakim dibacakan lincah-lincah saja terlihat. Sudah empat bulan, katanya, ia tak masuk sekolah. Bila semuanya beres, ia akan kembali ke bangku sekolah -- "nggak usah malu," katanya. Masih sayang kepada Aty? Ia tersenyum dan malu-malu mengangguk lembut. Aty juga berkata begitu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus