MENANGANI perkara lesbian, tampaknya sulit juga bagi Hakim
Nyonya Emin Aminah. Terutama dalam mengungkapkan fakta sampai
sekecil-kecilnya untuk putusannya yang harus dibacakannya di
muka umum. Sebab perbuatan kedua gadis yang harus diadilinya,
tertuduh Aty dan saksi Nona, seperti yang pernah mereka
ceritakan dalam persidangan tertutup, membuat hakim wanita
tersebut "merasa risih dan kikuk".
Ungkapan-ungkapan tertuduh dan saksi, mengenai percintaan dan
hubungan seks mereka, memang bukan main. Sehingga hakim perlu
memperhalus beberapa perkataan mereka.
Sehingga terbuktilah tuduhan Jaksa Nyonya Siti Aisyah: Aty (21
tahun), tertuduh, terbukti berbuat cabul dengan lawannya yang
sejenis, Nona (15), yang diketahuinya belum cukup dewasa. Untuk
itu Pengadilan Negeri Jakarta Timur, 14 Mei lalu, menghukumnya
delapan bulan penjara. Dengan masa percobaan 1 tahun dan 8 bulan
Aty. yang ditahan sejak Maret lalu, memang tak harus masuk
penjara.
Di pengadilan terungkap kisah menyedihkan Aty dan Nona. Aty,
yang sekali-sekali ikut memperkuat grup penyanyi terkenal
ibukota, mengaku mulai tertarik pada kawan sejenisnya sejak
berumur 12 tahun -- sebelum datang bulan. Dari kecil sebenarnya
kecenderungan begitu sudah nampak. Ia lebih suka berpakaian dan
berlaku sebagai anak laki-laki. Juga tak suka bermain dengan
anak perempuan.
Ibunya mengetahui ketidakberesan jiwa anaknya dari teman
laki-laki Aty sendiri. Waktu piknik, Aty lebih memperhatikan
kawan-kawannya yang sejenis daripada kepada pacarnya. Ibunya
lalu berikhtiar ke dokter jiwa. Dokter mengatakan, Aty kelebihan
hormon laki-laki -- begitu istilah gampangnya-tapi masih dapat
disembuhkan. Repotnya, Aty tak merasa mengidap suatu penyakit,
sehingga ia merasa tak perlu diobati.
Keadaan makin berlarut-larut. Sampai kemudian ia dekat dengan
Nona yang sama-sama tinggal di komplek Halim Perdanakusumah,
Jakarta Timur. Aty sering menginap di rumah Nona. Kemudian,
seperti yang mereka katakan kepada hakim, kedua nona berdarah
Ambon itu merasa saling jatuh cinta. Mereka melakukan hubungan
seks yang mereka sebut sebagai hubungan suami-istri.
Nona pernah menghilang dari rumah selama seminggu. Keluarganya
menemukannya di rumah temannya, di Tebet, mendekam bersama Aty.
Sehingga Polisi AU perlu dimintai bantuan untuk memutuskan
hubungan kedua gadis tersebut. Aty dan Nona menandatangani
perjanjian untuk tidak saling berhubungan lagi.
Tapi percintaan mereka tak hapus begitu saja. Diam-diam mereka
masih saling bertemu. Sampai suatu hari, Februari lalu, mereka
bertemu di depan sebuah pusat perbelanjaan. Nona masih
berpakaian seragam (ia siswa kelas II sebuah SMP di Halim)
ketika Aty mengatakan hendak pergi ke Malang. Nona, seperti
dikatakannya kemudian, dengan sendirinya hendak mengikuti ke
mana Aty pergi. Tak ada paksaan, bujukan atau yang sejenis.
Tanpa persiapan Nona pergi. Beberapa waktu mereka bermukim di
Malang. Dari situ Nona berkirim surat kepada keluarganya yang
diposkan oleh temannya di Jakarta. Isinya, antara lain, minta
maaf dan pengertian papi dan maminya. Sampai harus dibunuh pun,
katanya, "Nona tetap memilih Aty sebagai kawan hidup" Untuk itu,
katanya pula, ia dan Aty sudah mengikrarkan janji di atas
alkitab.
Ia tak senang pada laki-laki, begitu lanjutan surat tadi,
"karena mereka egoistis dan senangnya nyakitin -- Nona tahu
siapa laki-laki itu." Mengapa sampai begitu? Nona hanya
menyebutnya sebagai "karma". Maka, katanya, semua keadaan "Nona
terima."
Dari Malang mereka ke Bali. Biaya hidup dan perjalanan dari
suatu tempat ke tempat lain ditanggung Aty. Percintaan dan
hubungan seks berlangsung terus. Kepada hakim keduanya mengaku
saling memuaskan. Sampai ibu Aty kemudian menjemput mereka.
Berdasarkan pengaduan keluarga Nona, begitulah, akhirnya Aty
masuk tahanan.
Apakah si pengidap penyakit kelainan jiwa seperti ini dapat
dihukum? Menurut pembela, Sri Kusumastuti, ada surat keterangan
dokter yang menyatakan Aty memang menderita kelainan jiwa. Dan
menurut undang-undang, katanya, tertuduh yang kurang sempurna
akalnya atau berubah akalnya tidak boleh dihukum. Namun
pengadilan berpendapat lain rupanya.
Ibu si Aty pasrah. Namun begitu, katanya, "kami akan terus
berusaha agar ia normal." Ada dokter yang akan mengusahakannya,
baik melalui suntikan atau kalau perlu dengan jalan operasi,
untuk mengurangi hormon laki-laki yang mencekam si Aty.
Sedangkan ibu Nona, yang sangat kecewa dengan keadaan anaknya,
tak lain cuma bilang: "Masa depan anak saya sudah hancur. Saya
tak ingin hal itu terjadi lagi pada anak saya dan juga yang lain
. . . "
Nona sendiri, yang berada di luar ruangan waktu vonis hakim
dibacakan lincah-lincah saja terlihat. Sudah empat bulan,
katanya, ia tak masuk sekolah. Bila semuanya beres, ia akan
kembali ke bangku sekolah -- "nggak usah malu," katanya. Masih
sayang kepada Aty? Ia tersenyum dan malu-malu mengangguk lembut.
Aty juga berkata begitu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini