Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tuduhan bagi Loudoe

Hakim jz loudoe ditahan bersama-sama terdakwanya, endang wijaya. disamping pungli di jakarta, menurut opstib hakim tersebut juga main pungli di surabaya, perkara manipulasi di bank surabaya putra. (hk)

23 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAKIM Loudoe mendadak ditahan. Ia ditempatkan di sebuah rumah tahanan militer di Jakarta. Ini berarti anggota majelis yang mengadili Perkara Pluit itu kini ditahan bersama terdakwanya, Endang Wijaya. Tuduhan terhadap hakim lulusan FH-Unair (Surabaya) ini -- yang sejak awal bulan ini ditahan Operasi Tertib (Opstib) Pusat dan diskors pula oleh Menteri Kehakiman -- memang bergeser. Setidaknya yang pertama akan diajukan ke pengadilan bukan berdasarkan dakwaan semula. Semula Loudoe, 55 tahun, hakim anggota pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut, hanya terseret urusan rekannya Hakim lleru Gunawanl yang tertangkap basah Opstib ketika menerima uang Rp 10 juta dari seorang pesakitan, membongkar pula apa yang menurut tuduhan dilakukan oleh Loudoe, Hakim Hanky Izmu Azhar dan bahkan bekas ketuanya, H.M. Soemadiono. Keempat hakim senior tersebut, menurut Opstib, telah melakukan penyalahgunaan wewenang, komersialisasi jabatan dan menumbuhkan kebiasaan "pungli" di lingkungan pengadilan (TEMPO, 7 Februari). Apa kesalahan Loudoe sendiri -- kecuali disebut terlibat "kebiasaan di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat" -- semula memang tak jelas. Ada pejabat yang mengatakan ia menerima uang dari Perkara Pluit. Ada pula yang menuduhnya menerima duit dari perkara lain. Ketidakjelasan itulah yang membuat Loudoe suatu hari berani mendatangi dan meminta penjelasan Menteri Kehakiman Ali Said Pertemuannya dengan Ali Said kemudian diumumkannya sebagai pembicaraan antara "bapak dengan anaknya." Pabrik Agar-agar Namun, sang anak tiba-tiba ditahan Opstib, sehingga sang bapak pun menskorsnya Alasannya Ali Said hanya menyebutkan ketentuan penahanan menurut undang-undang agar tersangka tak lari, mencegah terhapusnya alat-alat bukti, dan mencegah agar tersangka tidak mengulangi perbuatannya. Opstib kemudian menjelaskannya. segini persisnya: Ketika bertugas di Surabaya, 1974, Loudoe pernah meminta uang Rp 14 juta dari 14 orang yang masing-masing mengaku pemilik tanah yang dalam sitaan pengadilan. Pembayaran harus kontan dan tidak berupa barang atau perhiasan. Loudoe menerimanya melalui seorang perantara dalam bentuk cek. Nyonya Loudoe yang kemudian menguangkannya. Uang tersebut -- begitu menurut Opstib -- sebagian digunakan Loudoe untuk memperbaiki rumah dan selebihnya didepositokan di sebuah bank pemerintah. Adapun waktu itu yang diurus Loudoe adalah perkara manipulasi di Bank Surabaya Putra (BSP). Bank tersebut pada mulanya menawarkan bunga deposito yang bukan main tingginya: 7% sebulan. Sehingga dengan mudah menyedot sekitar 600 nasabah -- banyak di antaranya pejabat. Tapi, tiba-tiba BSI menyatakan dirinya bangkrut. Tentu saja para nasabah menuntut. Perkara BSP dipegang Loudoe - yang kemudian melakukan penyitaan-penyitaan. Yang terkena antara lain tanah seluas 1,7 hektar di samping sebuah pabrik agar-agar. Tapi, pembeslahan tersebut menimbulkan protes dari 14 orang, yang terdiri dari pejabat dan pensiunan pegawai negeri. Tanah yang disita pengadilan tersebut oleh BSP sebelumnya memang telah dijual kepada 14 orang yang mengaku pemilik belakangan. Loudoe bersedia mengembalikan tanah tersebut kepada pemiliknya, kata Opstib kemudian, bila masing-masing mau memberinya uang Rp 1 juta. Permintaan tersebut dipenuhi. Dan Loudoe memang mengembalikan tanah tersebut kepada pemiliknya. Bahkan diberi catatan pula putusannya dapat dijalankan terlebih dulu, meski perkara belum selesai karena masih ada banding maupun kasasi. Dan perkara yang menyangkut BSP itulah, menurut Jaksa Agung Ismail Saleh, yang terlebih dulu hendak dituduhkan kepada Loudoe. Karena perkara yang satu itulah yang sudah siap dibawa ke pengadilan. Tidak menunggu perkara yang diungkapkan Hakim Heru Gunawan "Tidak perlu -- yang sudah siap harus diajukan dulu ke pengadilan," kata Jaksa Agung, "agar masyarakat tidak kehilangan momentumnya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus