HAKIM Loudoe mendadak ditahan. Ia ditempatkan di sebuah rumah
tahanan militer di Jakarta. Ini berarti anggota majelis yang
mengadili Perkara Pluit itu kini ditahan bersama terdakwanya,
Endang Wijaya.
Tuduhan terhadap hakim lulusan FH-Unair (Surabaya) ini -- yang
sejak awal bulan ini ditahan Operasi Tertib (Opstib) Pusat dan
diskors pula oleh Menteri Kehakiman -- memang bergeser.
Setidaknya yang pertama akan diajukan ke pengadilan bukan
berdasarkan dakwaan semula. Semula Loudoe, 55 tahun, hakim
anggota pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut, hanya
terseret urusan rekannya Hakim lleru Gunawanl yang tertangkap
basah Opstib ketika menerima uang Rp 10 juta dari seorang
pesakitan, membongkar pula apa yang menurut tuduhan dilakukan
oleh Loudoe, Hakim Hanky Izmu Azhar dan bahkan bekas ketuanya,
H.M. Soemadiono.
Keempat hakim senior tersebut, menurut Opstib, telah melakukan
penyalahgunaan wewenang, komersialisasi jabatan dan menumbuhkan
kebiasaan "pungli" di lingkungan pengadilan (TEMPO, 7
Februari).
Apa kesalahan Loudoe sendiri -- kecuali disebut terlibat
"kebiasaan di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat" --
semula memang tak jelas. Ada pejabat yang mengatakan ia menerima
uang dari Perkara Pluit. Ada pula yang menuduhnya menerima duit
dari perkara lain.
Ketidakjelasan itulah yang membuat Loudoe suatu hari berani
mendatangi dan meminta penjelasan Menteri Kehakiman Ali Said
Pertemuannya dengan Ali Said kemudian diumumkannya sebagai
pembicaraan antara "bapak dengan anaknya."
Pabrik Agar-agar
Namun, sang anak tiba-tiba ditahan Opstib, sehingga sang bapak
pun menskorsnya Alasannya Ali Said hanya menyebutkan ketentuan
penahanan menurut undang-undang agar tersangka tak lari,
mencegah terhapusnya alat-alat bukti, dan mencegah agar
tersangka tidak mengulangi perbuatannya.
Opstib kemudian menjelaskannya. segini persisnya: Ketika
bertugas di Surabaya, 1974, Loudoe pernah meminta uang Rp 14
juta dari 14 orang yang masing-masing mengaku pemilik tanah yang
dalam sitaan pengadilan. Pembayaran harus kontan dan tidak
berupa barang atau perhiasan.
Loudoe menerimanya melalui seorang perantara dalam bentuk cek.
Nyonya Loudoe yang kemudian menguangkannya. Uang tersebut --
begitu menurut Opstib -- sebagian digunakan Loudoe untuk
memperbaiki rumah dan selebihnya didepositokan di sebuah bank
pemerintah.
Adapun waktu itu yang diurus Loudoe adalah perkara manipulasi di
Bank Surabaya Putra (BSP). Bank tersebut pada mulanya menawarkan
bunga deposito yang bukan main tingginya: 7% sebulan. Sehingga
dengan mudah menyedot sekitar 600 nasabah -- banyak di antaranya
pejabat. Tapi, tiba-tiba BSI menyatakan dirinya bangkrut. Tentu
saja para nasabah menuntut.
Perkara BSP dipegang Loudoe - yang kemudian melakukan
penyitaan-penyitaan. Yang terkena antara lain tanah seluas 1,7
hektar di samping sebuah pabrik agar-agar. Tapi, pembeslahan
tersebut menimbulkan protes dari 14 orang, yang terdiri dari
pejabat dan pensiunan pegawai negeri. Tanah yang disita
pengadilan tersebut oleh BSP sebelumnya memang telah dijual
kepada 14 orang yang mengaku pemilik belakangan.
Loudoe bersedia mengembalikan tanah tersebut kepada pemiliknya,
kata Opstib kemudian, bila masing-masing mau memberinya uang Rp
1 juta. Permintaan tersebut dipenuhi. Dan Loudoe memang
mengembalikan tanah tersebut kepada pemiliknya. Bahkan diberi
catatan pula putusannya dapat dijalankan terlebih dulu, meski
perkara belum selesai karena masih ada banding maupun kasasi.
Dan perkara yang menyangkut BSP itulah, menurut Jaksa Agung
Ismail Saleh, yang terlebih dulu hendak dituduhkan kepada
Loudoe. Karena perkara yang satu itulah yang sudah siap dibawa
ke pengadilan. Tidak menunggu perkara yang diungkapkan Hakim
Heru Gunawan "Tidak perlu -- yang sudah siap harus diajukan
dulu ke pengadilan," kata Jaksa Agung, "agar masyarakat tidak
kehilangan momentumnya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini