Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DOSEN Institut Teknologi Bandung, Mardiyati, menemukan cara mengolah limbah botol plastik air kemasan menjadi filamen atau bahan cetak obyek tiga dimensi (3D printing). Harganya lebih murah dibanding filamen impor, tapi cetakan tetap berkualitas.
Tutup dan badan botol adalah limbah plastik yang diambil untuk dijadikan filamen cetak. Peneliti dari Kelompok Keahlian Ilmu dan Teknik Material ITB itu mengolahnya secara terpisah karena jenis plastik dua bagian itu berbeda. Tutup botol berbahan dasar polipropilena atau high-density polyethylene (HDPE). Sedangkan badan botol terbuat dari polyethylene terephthalate (PET).
Ukuran filamen dari limbah botol plastik ini dirancang mengikuti produk yang sudah ada di pasar dengan diameter hingga 1,75 milimeter. Filamen olahan dari tutup botol berwujud seperti kawat. Warnanya biru, sama dengan ketika masih berbentuk tutup botol. Adapun filamen dari badan botol berukuran lebih kecil seperti benang nilon dan berwarna putih keruh.
Mardiyati dan timnya sedang mengajukan permohonan paten atas filamen dari badan botol. Akan halnya filamen dari tutup botol, “Sudah dipatenkan,” kata peneliti 42 tahun itu di ruang kerjanya, Jumat dua pekan lalu.
Mardiyati dan koleganya di Green Poly-mer Laboratory merintis riset filamen berbahan limbah plastik pada 2016. Sedang hangatnya topik cetak tiga dimensi di dunia menjadi pertimbangan mereka dalam mengembangkan filamen. Menurut dia, hampir semua universitas top dunia menanamkan investasi untuk riset additive -manufacturing alias cetak obyek 3D.
Fenomena cetak tiga dimensi diperkirakan meledak pada 2025. Perubahan tren itu bakal mendongkrak permintaan filamen cetak. Masalahnya, kebutuhan filamen di pasar Indonesia dipenuhi lewat pasokan impor. Bahan cetak yang dibeli dari Cina itu berbahan dasar polylactic acid dan acrylonitrile butadiene styrene. “Harganya paling murah Rp 250 ribu, dan yang standar Rp 350 ribu per kilogram,” ucap Mardiyati.
Menurut Mardiyati, harga filamen dari bahan plastik bekas bisa lebih murah tapi dengan kualitas cetakan tidak kalah dibanding hasil filamen impor. Dia sudah membandingkan beberapa cetakan yang dihasilkan filamen impor dengan cetakan dari olahan limbah plastik. “Untuk mencetak obyek purwarupa sudah bagus,” tuturnya.
Mardiyati dan timnya juga merakit mesin sendiri untuk membuat serta menguji coba filamen di laboratorium. Mesin pembuat filamen alias extruder dibuat dengan rujukan dari situs Preciousplastic.com, yang terbuka untuk umum. Pengelola situs itu, Mardiyati menjelaskan, juga melayani tanya-jawab tentang aneka komponen alternatif sehingga harga mesin lebih murah. “Biaya extruder yang dibikin sendiri Rp 5-6 juta. Cara kerjanya sama dengan yang puluhan juta.”
Inovasi ini bisa menjadi salah satu solusi mendaur ulang limbah plastik, yang merupakan masalah besar di Indonesia. Siklus daur ulang pun tidak terputus meski limbah plastik sudah diolah menjadi filamen. Cetakan tiga dimensi yang rusak atau tidak terpakai masih bisa diolah kembali menjadi filamen. Mardiyati menerangkan, prinsip daur ulang barang cetakan seperti lilin. Lelehan lilin yang mengeras bisa dipanaskan lagi untuk dibentuk menjadi lilin baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo