Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Surya Manggala dan Citra Kartini, harimau Sumatera yang lahir pada 8 Desember 2018 di Suaka Satwa Harimau Sumatera Barumun.
Induk kedua harimau itu, Gadis dan Monang, adalah korban konflik dengan penduduk.
Surya dan Citra menjadi harimau Sumatera pertama yang lahir di suaka satwa yang dilepasliarkan di Taman Nasional Kerinci Seblat.
DARI layar gawai, Teguh Ismail memantau pergerakan Surya Manggala dan Citra Kartini. Setiap enam jam, Kepala Bidang Wilayah I Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat itu menerima laporan pergerakan kedua harimau Sumatera tersebut. Surya Manggala dan Citra Kartini, yang berumur tiga setengah tahun, lahir di Suaka Harimau Sumatera di Barumun Nagari wildlife Sanctuary di Desa Batu Nanggar, Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara. Mereka dilepasliarkan di zona inti Taman Nasional Kerinci Seblat pada Selasa dan Rabu, 7 dan 8 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalung sistem penanda posisi global (GPS collar) yang dipasang di leher Surya dan Citra mengirimkan titik koordinat lokasi ke aplikasi di telepon seluler pintar Teguh. Hanya dua orang yang memiliki akun aplikasi pemantau harimau tersebut, yakni Teguh dan petugas di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Utara. “Kondisi terakhir, kedua harimau sudah bergerak di sekitar home range-nya (daerah jelajah). Salah satunya bergerak masih sekitar 2 kilometer dari tempat pelepasan,” kata Teguh pada Sabtu, 11 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemantauan terhadap kedua harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) itu diperlukan untuk mengetahui keberadaan mereka setelah dilepasliarkan. Data hasil pemantauan sangat penting untuk evaluasi dan pengelolaan harimau di habitat alami. “Kita belum tahu bakal berhasil atau tidak. Ini pertama kalinya harimau Sumatera yang lahir di suaka satwa dilepasliarkan,” tutur Teguh. Surya (jantan) dan Citra (betina) lahir dari induk bernama Gadis pada 8 Desember 2018.
Biasanya, kata Teguh, yang dilepasliarkan di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) adalah harimau yang mengalami konflik dengan manusia dan telah direhabilitasi. Karena itu, pemantauan melalui GPS collar sangat penting untuk mengetahui apakah harimau yang lahir di suaka itu bisa makan dan menjelajahi daerah tinggal mereka. “Kita tidak mau mereka ternyata belum bisa survive di alam, atau sampai keluar ke permukiman dan berkonflik dengan penduduk,” ucapnya.
Dua harimau tersebut dilepasliarkan di titik berbeda di zona inti TNKS yang lokasinya tidak disebutkan. Teguh mengatakan pemilihan lokasi pelepasliaran didasari kajian cepat TNKS yang bekerja sama dengan organisasi nirlaba Save the Indonesia’s Nature and Threatened Species atau Sintas Indonesia dengan perangkat lunak Maximum Entropy untuk memprediksi lokasi pelepasliaran.
Selain itu, Teguh menambahkan, pemilihan lokasi didasari hasil survei lapangan tim TNKS, Fauna & Flora International (FFI), serta PT Agincourt Resources yang dilakukan untuk mengecek kondisi dan kesesuaian lokasi. “Kami sengaja memilih lokasi pelepasan di zona inti kawasan TNKS supaya jauh dari permukiman masyarakat agar tidak terjadi konflik. Lokasi yang dipilih itu merupakan habitat yang ideal serta memiliki pakan yang cukup,” ujar Teguh.
Survei okupansi yang dilakukan TNKS bersama FFI Indonesia-Programme menggunakan kamera penjebak pada 2005-2021 berhasil mengidentifikasi 93 individu harimau Sumatera di kawasan TNKS. Pada 2021 dan 2022, teridentifikasi dua harimau lain yang dilepasliarkan di kawasan taman nasional itu. Dengan tambahan Surya dan Citra, jumlah harimau Sumatera yang teridentifikasi di TNKS menjadi 97 individu.
Menurut buku Mengenal Harimau Taman Nasional Kerinci Seblat yang disusun dan diterbitkan oleh Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat pada 2020, TNKS ditetapkan sebagai salah satu lanskap konservasi harimau karena lebih dari 80 persen kawasan hutannya merupakan habitat harimau Sumatera. TNKS memiliki luas lebih-kurang 1,389 juta hektare yang terdiri atas zona inti seluas 738.728 hektare (ha), zona rimba (489.800 ha), zona pemanfaatan (30.994 ha), zona rehabilitasi (105.401 ha), zona tradisional (12.810 ha), dan zona khusus (11.775 ha).
Dalam buku itu disebutkan, berdasarkan hasil survei sampai 2019, sebanyak 80 harimau yang terdiri atas 41 jantan, 30 betina, dan 9 yang tak diketahui jenis kelaminnya telah teridentifikasi dan diberi identitas. Di Sumatera, diperkirakan masih ada 600 individu harimau Sumatera. BKSDA Jambi memperkirakan ada 183 harimau di wilayah Jambi dengan sebaran 150 ekor di TNKS, 25 di Taman Nasional Berbak dan Sembilang, serta 8 di lahan PT Restorasi Ekosistem Indonesia. Sedangkan harimau di Taman Nasional Bukit Tigapuluh belum terdata.
Pelepasliaran harimau Surya Manggala dan Citra Kartini di kawasan TNKS menempuh jalan yang cukup panjang. Kepala Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah III Padang Sidempuan, Gunawan Alza, yang ikut mengawal keberangkatan satwa langka itu, menyebutkan kedua harimau dibawa melalui jalur darat sejauh 636 kilometer selama 24 jam dari Suaka Satwa Harimau Barumun menuju Bandar Udara Depati Parbo di Kabupaten Kerinci, Jambi. Perjalanan melalui Kota Padangsidimpuan, Penyambungan, Bukittinggi, Solok Surian, dan Sungai Penuh.
Rombongan pemindahan kucing besar itu terdiri atas 30 orang dengan 11 mobil. Harimau ditempatkan di kandang masing-masing. Bagian atas kandang ditutup daun-daun untuk mengurangi panas. “Dalam perjalanan siang, tiap empat jam berhenti untuk mengecek kondisi kedua harimau, lalu disiram air, kandangnya juga, agar tidak panas,” kata Gunawan. “Mereka tetap sehat dalam perjalanan, diawasi dua dokter hewan.”
Di Sungai Penuh, Kerinci, kedua harimau beristirahat satu malam di kantor Balai Besar TNKS. Esok harinya, mereka diberangkatkan ke Bandara Depati Parbo untuk diterbangkan dengan helikopter ke lokasi pelepasliaran. Lokasi pelepasliaran di zona inti TNKS itu hanya berjarak 20 menit dari Bandara Depati Parbo dengan helikopter.
Pada Selasa, 7 Juni lalu, pukul 10.30 WIB, pelepasliaran dimulai dari Bandara Depati Parbo. Harimau pertama yang dilepasliarkan adalah Surya Manggala yang diangkut dengan helikopter menggunakan metode longline—kandang digantung sejauh 60 meter dari badan helikopter—menuju lokasi pertama. “Awalnya tiga petugas pelepasan dibawa ke lokasi, kemudian helikopter balik untuk mengangkut harimau ke lokasi tersebut,” tutur Gunawan. “Sudah disediakan helipad untuk pendaratan helikopter yang berjarak sekitar 100 meter dari titik pelepasan.”
Lalu, Gunawan melanjutkan, petugas yang berada di belakang kandang melepaskan harimau dengan menarik tali menggunakan katrol untuk membuka kandang yang posisinya menghadap hutan. “Dari rekaman video, harimau Surya tidak terlalu lama untuk keluar dari kandang. Dia melihat dulu, duduk mengobservasi, kemudian keluar sambil melihat kiri-kanan dan ke belakang, lalu jalan pelan masuk ke hutan. Tak sampai lima menit langsung ke hutan,” ucapnya.
Saat petugas hendak melepaskan Citra Kartini, tiba-tiba cuaca berubah tidak mendukung. Siang itu, lokasi pelepasliaran menjadi berkabut, lalu turun hujan. Akhirnya, tim memutuskan Citra dilepasliarkan esok harinya, Rabu, 8 Juni. “Akhirnya, pada siang hari, harimau Citra dilepasliarkan di zona inti TNKS. Lokasi pelepasan Citra berjarak sekitar 15 kilometer dari titik pelepasan Surya untuk menghindari kawin kerabat yang dapat menurunkan kualitas genetik keturunannya.”
Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae)
Status konservasi International Union for Conservation of Nature: kritis (critically endangered)
Habitat: berbagai tipe hutan dengan ketinggian 0-3.000 meter di atas permukaan laut
Populasi: 600 individu di hutan Sumatera
Wilayah: 20 kilometer persegi per individu
Reproduksi: 2-3 anak sekali hamil; masa kehamilan 103 hari
Kecepatan lari: ~65 kilometer per jam
SUMATERA
Sumatera Utara
Suaka Satwa Harimau Barumun
Sumatera Barat
Jambi
Taman Nasional Kerinci Seblat
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo