Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBUTUHAN yang tinggi akan kertas berdampak serius bagi keberadaan hutan. Pasalnya, bahan baku kertas terbesar adalah kayu. Forest Watch Indonesia mencatat deforestasi selama 2013-2017 mencapai 1,47 juta hektare per tahun. Fakta itulah yang memicu keprihatinan dan mendorong Muhammad Ghozali, peneliti kimia di Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, membuat inovasi kertas dari bahan bukan kayu. “Juga ada gerakan besar untuk lebih ramah lingkungan. Ini benar-benar tanpa kayu sehingga bisa mengurangi penebangan hutan,” kata Ghozali soal inovasinya itu, Senin, 17 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ide itu, Ghozali menjelaskan, muncul setelah ada sebuah perusahaan yang menghubungi dan menawarinya limbah industri tapioka. Limbah itu terdiri atas dua jenis: onggokan padat dan onggokan cair. Ia mengetahui prinsip kerja sederhana pembuatan kertas dari kertas daur ulang: kertas didaur ulang, lalu ditambahi perekat. "Jadi limbah industri itu hanya saya campur zat aditif untuk mengatur kelenturan. Setelah itu, tinggal ditekan untuk jadi lembaran," ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proses pembuatan di laboratorium, dari menyiapkan bahan baku mentah hingga menjadi kertas, butuh waktu sekitar dua hari. Prosesnya cukup lama karena semuanya dikerjakan secara manual. Untuk menyiapkan bahan adonan bubur kertas, dari limbah industri dicampur aditif, cuma butuh beberapa jam saja. Setelah itu, bahan digiling secara manual untuk mengubah bubur menjadi lembaran. Pengeringan lembaran hingga menjadi kertas itu yang cukup lama. Kalau ingin cepat, lembaran bisa dimasukkan ke oven.
Dalam industri, sebagian proses ini bisa dilakukan dengan cepat memakai calender, yang bentuknya seperti rol. Jadi adonan bubur kertas dimasukkan ke calender, melewati dua rol, untuk digiling menjadi lebih padat dan lebih tipis, dan ada panas yang berfungsi untuk mengeringkannya. "Dalam uji coba saya, digilingnya secara manual. Kadang enggak bisa rata hasilnya," ucap Ghozali.
Ghozali mengaku cukup puas dengan hasil uji coba itu. Kualitasnya mendekati kertas yang ada di pasar. Kertas yang sudah jadi juga lentur dan kuat. Ia mengujinya dengan meremas kertas itu. Kertas bisa kembali rata seperti semula. Kertas yang fleksibel itu juga bisa dipakai untuk mencetak, menggambar, dan lainnya.
Ilustrasi/Tempo/Djunaedi
Kertas yang ia buat di laboratorium memang masih berwarna cokelat. "Itu sesuai dengan warna bahan dasarnya," tutur Ghozali. Soal warna itu masih bisa diperbaiki dengan cara dicuci. Ia menyarankan tidak memakai pemutih untuk warnanya, melainkan bahan yang lebih tahan lama, seperti limbah kelapa sawit. "Materialnya sudah ada. Belum dicobakan. Fokus saya di kertas ini agar segera bisa seperti kertas yang sekarang beredar," dia menambahkan.
Uji laboratorium sudah selesai. Kini yang menjadi tantangan adalah bagaimana mengembangkannya dalam skala industri. Dibutuhkan modal untuk membuat mesinnya. Ghozali yakin kertas nonkayu itu bisa lebih ekonomis jika dibandingkan dengan kertas saat ini yang banyak berasal dari kayu, tanaman, atau tumbuhan hutan. Proses untuk mendapatkan bahan kertas itu dalam jumlah besar juga panjang—melibatkan proses penebangan hutan, reboisasi, lalu penebangan lagi—meski ada juga yang berasal dari daur ulang kertas.
Bandingkan dengan bahan yang digunakan Ghozali dalam kertas ini. Kayu sama sekali tak diperlukan. Bahan juga tersedia cukup banyak di pasar. Berdasarkan informasi yang dimilikinya, dalam sehari bisa terdapat 50 ton limbah tapioka yang dihasilkan industri pangan. Ia menambahkan, bahan juga bisa dikembangkan dari limbah industri pangan lain. Namun tentu aditifnya akan berbeda, disesuaikan dengan bahan dasar itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo