Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Lagu berjudul "Joko Tingkir Ngombe Dawet" saat ini tengah menjadi perbincangan. Lagu tersebut dipersoalkan karena dianggap kurang pantas lantaran sosok pemilik nama tersebut merupakan kakek buyut dari para ulama tanah Jawa. Dilihat dari segi bahasa, pakar Linguistik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Makyun Subuki mengatakan lagu ini sebetulnya tidak memiliki unsur negatif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal itu, kata dia, mengingat kata ngombe dawet atau minum dawet adalah hal yang tidak berarti buruk. "Pelecehan sih mungkin enggak, ya. Ngombe dawet itu kan bukan perkara negatif," ujar Makyun Subuki dikutip dari laman nu.or.id pada Jumat, 19 Agustus 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, bila dilihat dari segi kepantasan, Makyun melihat memang tidak pas. Pasalnya, kata dia, Joko Tingkir adalah ulama dan kakek buyutnya ulama-ulama Nahdlatul Ulama (NU). "Rasanya kurang elok dijadikan sampiran lirik lagu yang dipakai joget," ujar penulis buku Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa itu.
Karenanya, ia menegaskan bahwa bahasanya memang tidak masalah, tetapi setting bahasa tersebut yang bermasalah. "Jadi yang sebenarnya dinilai merendahkan itu bukan bahasanya, tapi setting bagaimana bahasa itu dipakai," jelas Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) ini.
Namun, lanjutnya, hal yang lebih menarik bukan soal lagu tersebut melecehkan atau tidak, melainkan latar di balik pilihan nama Joko Tingkir yang digunakan pada sampiran lirik itu. Makyun menyebut hal tersebut menjadi petunjuk bahwa Joko Tingkir tidak dikenal, apalagi sampai menyatu dalam kesadaran religius masyarakat.
"Ini kan menandakan bahwa mereka tidak kenal sosok Joko Tingkir secara dekat. Enggak menyatu dengan kesadaran religius mereka. Mungkin, ini berarti juga pelajaran sejarah Islam kita ada yang enggak beres," kata alumnus Pondok Pesantren Asshiddiqiyah, Kebon Jeruk, Jakarta Barat itu.
Sementara itu, Pengajar Sejarah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Johan Wahyudi mengatakan bahwa lagu tersebut sebetulnya tidak bermaksud untuk melecehkan. Sebab, pilihan diksi Joko Tingkir hanyalah bentuk sampiran. Inti yang diambil adalah di bait berikutnya.
Dalam kacamata seni untuk seni, kata dia, hal yang dipersoalkan sebetulnya bukanlah suatu masalah. "Di sini saya pakai sudut pandang Gus Dur ini. Jadi seni untuk seni ya. Kalau kesadaran sejarah bisa mispersepsi," katanya. Dia menengarai bisa jadi pembuat lirik memasukan nama Joko Tingkir untuk mengingatkan generasi milenial terhadap tokoh Joko Tingkir.
Menurutnya, membuat lagu tidak harus perlu kesadaran sejarah yang mendalam. Hal yang penting adalah liriknya sederhana dan mudah dinikmati pendengar. "Pokoknya liriknya simpel dan gampang dihafal," katanya. Oleh karena itu, Johan melihat lagu Joko Tingkir dan pembelajaran sejarah adalah dua hal yang berbeda. "Antara lagu Joko Tingkir dan pengajaran sejarah ini adalah dua hal yang berbeda," ucapnya.
Sebelumnya, penyanyi cilik Farel Prayoga asal Banyuwangi viral karena menyanyikan lagu berjudul "Ojo Dibandingke" di HUT ke-77 RI di Istana. Presiden Joko Widodo sempat meminta Farel Prayoga untuk menyanyikan lagu "Joko Tingkir Ngombe Dawet". Namun, permintaan lagu itu urung dibawakan oleh Farel.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.