SALJU abadi di Kutub Selatan tiba-tiba berhenti pertengahan Juli lalu, dan cahaya matahari yang mampu menembus kabut tebal berubah kecokelatan. Tumbuhan dan plankton ditemukan mati terbakar. lara peneliti terkejut, apa yang dikhawatirkan seJak akhir tahun lalu ternyata terjadi. Oktober lalu, satelit cuaca Amerika Serikat menemukan langit di Kutub Selatan berlubang. Mulanya para ahli mengira terjadi kesalahan pemotretan. Namun, akhir Juli lalu, dipastikan "mata" satelit cuaca itu ternyata benar. Hingga kini belum bisa dipastikan apa yang telah terjadi. Sekitar 140 ahli dari berbagai bidang, yang diberangkatkan ke Antartika sejak awal Agustus lalu, kini sedang melakukan penelitian intensif. Para ahli dari berbagai negara itu berkumpul di pangkalan militer AS McMurdo Sound. Dari situ 33 balon udara raksasa akan diterbangkan untuk melacak lubang pada ketinggian 10-50 kilometer, yang besarnya mehputl hampir lima kali luas wilayah Indonesia itu. Lubang apa? Di awal 1970-an pernah menyebar isu di Eropa dan Amerika Serikat, Uni Soviet sedang mengembangkan sejenis seniata yang sangat berbahaya. Senjata itu, sejenis bom kimia yang diledakkan di sepanjang atmosfer bumi -- ditembakkan dari ruang angkasa di atas suatu tempat -- dan menghasilkan sebuah lubang langit. Lubang yang kemudian dijuluki "Jendela Brezhnev" itu tak lain terbakarnya ozone (03 -- oksigen dengan tiga atom). Gas ini terdapat di semua lapisan atmosfer bumi, tapi konsentrasinya yang terbesar terdapat pada ketinggian 10-50 kilometer. Ozone, adalah "perisai" bumi menghadapi sengatan sinar ultraviolet dari matahari. Karena reaksi dengan ozone ultraviolet yang merupakan getaran elektromagnetik menjadi lemah ketika mencapai bumi -- dan jadi bermanfaat. Jendela Brezhnev membuat ultraviolet menerobos tanpa hambatan dan mencapai bumi dalam intensitas sangat tinggi. Akibatnya, tanah di bawah lubang itu terbakar sedikit demi sedikit -- mungkin tanpa disadari -- khususnya akibat radiasi. Toh tak pernah ada bukti Uni Soviet membuat senjata kimia macam itu. Dan isu itu, agaknya, sejenis histeria saja yang berkaitan dengan isu lain: menipisnya ozone pada lapisan udara bumi yang terdekat. Di awal tahun 1970-an para ahli ekologi mengemukakan terjadi penipisan ozone akibat reaksi-reaksi tak terkontrol dari gas yang dikeluarkan jet supersonik, juga gas chlorine dan bromine dari berbagai industri. Chlorine dan bromine, pada kenyataannya dibatasi penggunaannya di AS pada 1978, di Eropa 1980. Penipisan ozone, yang diperkirakan beberapa persen saja, di tahun 1970-an itu menurut para ahli menaikkan sedikit intensitas ultraviolet yang mencapai bumi. Peningkatan sedikit saja, menurut para ekolog lagi, sudah cukup berbahaya, karena ultravlolet mampu menembus sampai ke sel-sel jaringan tubuh manusia. Dan, di dalam sel-sel, reaksi kimia menimbulkan panas yang membakar jaringan. Kelebihan sedikit ultraviolet pada manusia diketahui mengakibatkan kanker kulit. Pada tumbuhan dan jasad renik mengakibatkan kematian dalam 10 menit. Lubang langit di Kutub Selatan tak lain dari "Jendela Brezhnev" raksasa. Peningkatan intensitas ultraviolet tampak besar, hingga cahaya matahari telah berubah kecokelatan. Lubang itu bisa dipastikan karena terbakarnya ozone, setelah para ahli dengan susah payah menganalisa kembali pemetaan lewat satelit sejak 1979 setelah ragu melihat hasil pemotretan Oktober 1985. Hasil analisa menunjukkan, sejak 1979 terjadi penurunan konsentrasi ozone, tepatnya pada lingkaran selatan yang mencapai sebagian Afrika, Australia, dan Amerika Selatan. Sejak 1983 peta menipisnya ozone menjadi semakin jelas, terkonsentrasi dekat Kutub Selatan. Pada peta 1985, terlihat lubang menganga di atmosfer, dan konsentrasi ozone diperkirakan anjlok paling tidak 40% di kawasan itu. Lubang ozone, yang terlihat pada peta satelit itu, tepatnya terletak di lapisan stratosfer pada atmosfer bumi, karena pada lapisan ini -- 10 - 50 kilometer dari permukaan bumi -- konsentrasinya tercatat paling besar. Sebenarnya, ozone terdapat pula pada lapisan troposfer, lapisan paling bawah atmosfer sampai pada ketinggian 6 kilometer, dan juga di lapisan mesosfer pada ketinggian 60-80 kilometer. Namun, di troposfer dan mesosfer, baik konsentrasi maupun jumlahnya terhitung sangat kecil bila dibandingkan gas-gas lain, yang pada atmosfer bumi sangat banyak ragamnya. Kedudukan gas-gas pada atmosfer bumi sulit dipastikan karena bergerak akibat arus angin yang pada ketinggian di atas 6 kilometer punya kecepatan seperti jet. Selain bergerak mendatar, juga melakukan kompensasi vertikal. Sejumlah gas tidak bereaksi satu dengan lainnya karena besarnya ruang. Juga tak mudah bereaksi, kecuali berubah menjadi ion-ion di ionosfer. Namun, ozone termasuk gas yang mudah bereaksi, terbakar atau berubah menjadi gas lain. harena sifat gampang bereaksi itu, sejumlah ahli masih percaya, lubang yang terjadi di kutub Selatan itu akibat reaksi ozone dengan sejumlah gas buangan industri. Selain chlorine dan bromine, dicurigai pula gas buangan fluorocarbon, juga dari industri. Gas-gas industri ini, seperti gas-gas alam dibawa arus angin sampai ke lapisan-lapisan di atas troposfer. Dan, akhirnya terkonsentrasi di kawasan paling dingin. Bila teori ini benar, para ahli mengkhawatirkan dalam waktu dekat lubang ozone juga kini muncul di Kutub Utara, yang suhunya agak lebih tinggi 15"-20" Celsius. Sesu dua hawasan ini berlubang, reaksi pembakaran ozone akan berlanjut dan lubang pun akan menjadi semakin besar. LALU apa akibatnya? "Seperti menunggu dadu berputar," ujar Michael B. McElroy, ahli fisika planet yang terlibat dalam penelitian. Menurut ahli itu, akibat besar sulit dibayangkan, karena akibat kecil-kecil yang terlihat kini, misalnya penipisan ozone di troposfer, tak bisa disamakan. "Ini sebuah gejala yang belum pernah terjadi sebelumnya," ujar Susan Solomon, ahli aeronomi yang memimpin ekspedisi Amerika Serikat ke Antartika. Menurut Susan, penelitian susunan kimia di atmosfer yang akan dilakukannya di Kutub Selatan merupakan tantangan mahasulit. Pendataan yang dilakukan dengan spektrometer di beberapa bagian terpaksa meraba tanpa rumusan yang jelas. Sebab, munurut aeronom itu, proporsi hilangnya ozone yang kini terjadi tak pernah terbayangkan sebelumnya, teoretis sekalipun. Toh ada saja ahli yang optimistis. Dr. Jerry Mahlman, seorang ahli geofisika dari Universitas Princeton, New Jersey, AS, berpendapat terbakarnya ozone di Antartika itu sebagai peristiwa alam biasa saja. "Saya berani taruhan, dalam waktu dekat lubang ozone itu akan kembali tertutup," katanya. Menurut Mahlman, di masa lalu, peristiwa itu mestinya pernah terjadi, tapi karena keterbatasan peralatan, khususnya kamera satelit, kejadian itu tak terdeteksi. Moga-moga saja, pendapat Mahlman yang benar. Sebab, bila lubang langit itu membesar juga, inilah manifestasi pencemaran udara paling besar dan mungkin paling akhir. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini