BARANG yang paling menguras devisa dewasa ini, ternyata adalah bahan-bahan plastik. Komoditi ini sebenarnya sudah cukup banyak diproduksi di dalam negeri, sehingga sejak 1984 pemerintah merasa perlu mengendalikan impornya. Sejak itu, hanya persero pemerintah Mega Eltra, Pantja Niaga, dan Tjipta Niaga yang menjadi importir bahan baku plastik yang belum diproduksi. Ternyata, impor yang dikendalikan itu, secara luar biasa, malah menguras banyak devisa. Menurut laporan Bank Indonesia, di tahun 1984 nilai impor bahan plastik baru sekitar US$ 312 juta. Tahun lalu malah melonjak jadi US$ 656,8 juta atau naik 110% lebih dibandingkan sebelumnya. Kebocoran entah terjadi di mana. Yang terang, awal Agustus ini, Departemen Perdagangan mendadak menutup dua keran impor, dan hanya menunjuk Mega Eltra sebagai importir tunggal bahan baku plastik. "Mungkin kami dinilai kurang baik sehingga tidak boleh menangani impor lagi," komentar Direktur Utama PT Pantja Niaga, Djukardi Odang, sambil tertawa. Tapi, penutupan importir Pantja Niaga dan Tjipta Niaga membikin ratusan pabrik plastik resah. Bahkan, 8 Agustus lalu, empat hari setelah penunjukan Mega Eltra sebagai importir tunggal, Ketua Kompartemen Aneka Industri Kadin Indonesia, Hartono Wirjodiprodjo, melayangkan surat imbauan ke Ditjen Aneka Industri agar para produsen yang memakai bahan baku plastik diperbolehkan juga melakukan impor. Mereka mengeluh, karena dua pabrik PMA Jepang, produsen bahan baku plastik yang diberi proteksi pemerintah, terus meningkatkan harga produknya secara tidak masuk akal. Ada pula yang secara tidak terang-terangan menuding Mega Eltra ikut-ikutan menaikkan harga impor. Direktur Mega Eltra Dedi Krishna mengakui perusahaan melakukan pungutan yang dianggap tidak terlalu besar. "Bisa untung 1% saja sudah bagus," ujar Dedi, Senin lalu. Dedi kemudian memperlihatkan daftar harga impor bahan baku plastik jenis PE (polyethylene) dan PP (Polypropilenc) yang biasa digunakan pabrik-pabrik kantung plastik. Tiap bulan, ternyata, naik turun. Harga jenis PE tahun ini US$ 683-US$ 775 per ton atau Rp 800-Rp 880 per kg. Ditambah bea masuk dan PPN, jadi Rp 983-Rp 1.012. Oleh Mega Eltra, PE dijual dengan harga Rp 1.035 per kg. Jenis bahan baku plastik mahal seperti PVC yang banyak digunakan industri kabel dan kemasan makanan disebut Direktur Mega Eltra itu hanya memberikan laba sekitar Rp 25 dari harga impor Rp 1.700 per kg. Tapi konsumen PVC membeli dengan harga sampai Rp 2.300 per kg. "Masuk akal, karena harus lewat distributor," ujar Dedi dengan tenang. MEGA Eltra tentu saja tenang. Dengan mengantungi kuota impor PE, PP, Acetate, dan Acrylic sekitar 190.000 ton, serta sekitar 2.000 ton PVC untuk semester akhir 1986 ini, perusahaan pemerintah ini sudah bisa mengharapkan untung Rp 4,8 milyar -- dengan menggelar sebuah meja dan ongkang-ongkang. Sementara ini, pabrik pemakai bahan baku plastik, seperti produsen alat-alat rumah tangga Pioneer Plastic Ltd. atau pabrik kabel Sucaco, konon hanya bisa mengeluh diam-diam. "Kalau monopoli impor itu diberikan kepada pcrusahaan swasta, seperti terjadi pada impor kapas, mungkin kami berani bersuara. Itu 'kan perusahaan pemerintah," ujar sebuah sumber. Yang berani bersuara justru dari kalangan konsumen barang jadi plastik. PT Golden Mississippi, produsen minuman Aqua, sctiap bulan membutuhkan botol-botol plastik buatan PT Berlina yang menghabiskan 90 ton bahan baku biji plastik PVC. "Kami khawatir, pemasokan botol plastik tersendat. Sebab, impor biji plastik lewat Mega Eltra paling cepat tiba empat bulan setelah pembukaan LC," tutur Willy Sidharta dari PT Golden Mississippi. Setelah Mega Eltra diberi monopoli impor, menurut Willy, pabrik botol plastik mulai September akan menaikkan harga sekitar 10%. Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini