Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Limbah Berbahaya untuk Beton

Abu terbang bisa dipergunakan untuk membuat beton bermutu tinggi. Limbah pembakaran batu bara itu juga bisa diproses menjadi batu.

12 September 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ABU terbang, bagi industri pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), adalah limbah batu bara yang tak berguna. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup menggolongkan abu terbang sebagai limbah B3 (bahan berbahaya beracun). Namun, limbah industri yang berbahaya itu justru berguna untuk meningkatkan mutu beton menjadi berkualitas tinggi. Adalah Dr.Ir. Dicky Rezadi Munaf, peneliti dari Laboratorium Struktur dan Bahan Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung, yang berhasil mendayagunakan abu terbang untuk meningkatkan kualitas beton. Penelitiannya tentang itu, Bagaimana Meningkatkan Kekuatan Beton dengan Menggunakan Abu Terbang yang Berasal dari Limbah Batu Bara, awal Agustus lalu berhasil memikat juri B.J. Habibie Award—penghargaan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang diselenggarakan Yayasan Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Karya Dicky, yang akhir tahun ini akan dipublikasikan dalam International Codes terbitan American Concrete Institute (ACI), menang untuk kategori ilmu rekayasa. Untuk penelitian itu, Dicky mendapat hadiah US$ 25 ribu. "Uang itu akan kami pergunakan untuk menciptakan iklim kondusif penelitian di ITB," kata lulusan Universitas Pittsburg, AS, itu. Saat pulang dari Pittsburg, tahun 1990, Dicky melihat AS tengah giat-giatnya menggenjot berbagai pembangunan fisik yang memerlukan banyak material beton. Teknologi beton di sana sudah sangat maju dibanding-kan dengan di Indonesia, yang dalam kegiatan membangun sarana fisik juga banyak menggunakan material beton. Hal itu membuat Dicky tergerak. Berbekal theory of mixture—perpaduan massa cair dan padat—yang dipelajarinya di Pittsburg, ia mencoba menelaah material beton, baik dari aspek mikro, meso, maupun makronya, untuk mengembangkan beton berkinerja tinggi. Aspek mikro, menurut Dicky, jarang diteliti peneliti Indonesia. Dari penelitian mikro, diketahui mekanisme yang terjadi dalam pembuatan beton. Pada beton, ditemukan daerah lemah di antara matriks atau campuran air, semen, dan pasir yang telah mengeras dengan batuan. Celah yang lemah itu terjadi karena ada sebagian air yang tidak bereaksi dengan semen. Supaya sempurna, ditambahkan material yang disebut silikan (Si02). Silikan ini antara lain terdapat dalam abu sekam dan abu terbang. "Yang diinginkan adalah material yang punya kadar silikan tinggi, minimal di atas 50 persen," ujar Dicky. Sebenarnya abu sekam mempunyai kadar Si02 yang lebih tinggi dari abu terbang. Namun, karena abu sekam dihasilkan rumah tangga, pengumpulannya menjadi lebih merepotkan dibandingkan dengan abu terbang, yang sekaligus sudah terkumpul di PLTU. Dicky memilih abu terbang yang berkadar silikan 50-65 persen. Ternyata abu terbang tidak hanya praktis didapat. Penambahan abu terbang sebanyak 15,7 persen berat semen pada adonan beton yang terdiri dari air, pasir, dan semen—yang mengandung unsur kapur dan silika—menghasilkan beton berkekuatan hingga 100 megapascal, atau kira-kira 1.000 kilogram per sentimeter persegi. Kekuatan itu diuji dengan menggunakan parameter mekanik berdasarkan American standard for testing and material dan standar nasional Indonesia. Beton normalnya hanya punya daya tekan 40 megapascal. Menurut ACI, yang disebut beton mutu tinggi adalah yang memiliki kekuatan 60 megapascal. Namun, untuk menghasilkan beton mutu tinggi, bukan sekadar dengan mengaduk-aduk bahan campurannya. "Prosedur mencampurnya juga suatu inovasi yang ditemukan. Jadi, enggak bisa, misalnya, air, semen, pasir, abu terbang, dimasukkan begitu saja. Teknik mencampurnya itu adalah bagian dari hasil penelitian kami," ujar Dicky, yang melakukan penelitian itu bersama tiga guru besar dari Teknik Sipil ITB sejak Mei 1990. Penelitian itu sendiri kini telah berkembang dengan berbagai dimensi. Antara lain beton polimer yang dikembangkan Prof. Juanda, dan beton ringan abu terbang oleh Prof. Sahari. Teknik mencampur adonan beton itu kurang lebih begini. Pertama, dimasukkan dulu sebagian kerikil, kemudian diikuti dengan pasir, semen—yang sudah dicampur dengan abu terbang—serta 50 persen air. Campuran itu diputar dengan kecepatan 30 putaran per menit. Sisa materialnya kemudian dimasukkan sembari meningkatkan putaran alat pencampur. Tidak bisa sembarangan. "Konsekuensi beton mutu tinggi memang kualitas sumber daya manusia pekerja lapangannya," ujar Dicky. Menurut Dr.Ing.Ir. Henki Wibowo Ashadi, dosen dan Kepala Laboratorium Bahan Fakultas Teknik Universitas Indonesia, beton mutu tinggi pada dasarnya memang membutuhkan teknik pengerjaan dengan presisi dan akurat. "Keahliannya bukan sekadar tukang pembangun rumah. Bergeser sedikit saja komposisinya, ia tidak akan menghasilkan beton mutu tinggi," kata pengamat beton itu. Henki mengakui, meski ada banyak penelitian tentang abu terbang, penelitian yang dilakukan Dicky adalah satu-satunya yang mendalam. Mungkin karena itu, penelitian ini sudah bisa diaplikasikan untuk bantalan rel kereta api, jembatan, dan beberapa ruas lintasan Cikampek-Jakarta dan Bandung. Menurut Prof. Moch. Sahari, kolega Dicky yang ikut terlibat dalam penelitian itu, konstruksi yang dihasilkan beton dengan abu terbang—yang harganya lebih murah dari semen—kekuatannya jauh lebih tinggi dari beton yang hanya menggunakan semen 100 persen. Abu terbang bahkan tidak hanya bisa mensubstitusi sebagian semen. Dari penelitian yang saat ini dikerjakan Sahari—dan akan dipatenkan—abu terbang ternyata bisa diproses menjadi batu. Caranya dengan mencampurkan abu terbang dengan suatu campuran kimia (yang dirahasiakan Sahari) dan air, lalu dipanaskan pada suhu lebih dari 1.000 derajat Celsius. Hasilnya adalah suatu gumpalan abu yang sangat keras menyerupai batu dan mengandung unsur yang sama dengan batu dalam campuran beton yang biasa dipergunakan. "Jika ini bisa disosialisasikan, diharapkan batu yang ada di alam tidak lagi diganggu," kata Sahari kepada Rinny Srihartini dari TEMPO. Irfan Budiman, Dwi Arjanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus